Mengembalikan Denyut Nadi Kehidupan Bangunan Kuno di Rembang
Pelestarian bangunan tua di Rembang, dilakukan melalui restorasi agar bangunan yang mati suri itu kembali berdenyut.
Di Rembang, Jawa Tengah, beberapa bangunan berusia ratusan tahun yang terbengkalai disulap menjadi bangunan-bangunan yang indah dan terawat. Denyut aktivitas di dalamnya yang pernah mati selama bertahun-tahun kembali dihidupkan dengan cara direstorasi. Sejumlah orang bahkan tak segan merogoh kocek mereka sendiri untuk restorasi demi kelestarian bangunan tua itu.
Salah satu yang dikembalikan denyut nadinya adalah sebuah bangunan di Jalan Airlangga, Desa Sumberjo, Kecamatan Rembang. Bangunan berusia lebih dari 200 tahun itu direstorasi oleh Udaya Halim, pendiri Museum Benteng Heritage, selama lima tahun terakhir.
Sebelumnya, bangunan tua yang merupakan kepunyaan dari kerabat Udaya, yakni Bhante Sri Mahathera Pannavaro, itu terbengkalai. Selama bertahun-tahun, bangunan itu menjadi rumah bagi ribuan kelelawar. Sejarawan asal Inggris, Peter Carey, yang pernah datang ke tempat itu pada tahun 2018 menyebut, bangunan itu dulunya gelap, pengap, dan bau. Kini, bangunan itu dikatakan Peter seperti telah disihir menjadi bangunan yang indah, terang, dan tampak hidup.
Baca juga : Sejarah Persaudaraan Tionghoa-Jawa Diabadikan Jadi Museum Rembang
Udaya mengatakan, restorasi itu dilakukan untuk mengembalikan masa kejayaan bangunan tua. Sebuah masa ketika bangunan itu menjadi kebanggaan bagi masyarakat di sekitarnya. Hasil restorasi bangunan itu pun telah diresmikan pada Sabtu (11/11/2023). Kendati demikian, hal itu bukanlah akhir dari proses restorasi.
”Selanjutnya, (bangunan) ini akan saya jadikan Museum Liem Heritage. (Bangunan ini merupakan) Saksi bisu sejarah persaudaraan serta perjuangan masyarakat Jawa bersama masyarakat Tionghoa melawan penjajah Belanda,” ujar Udaya, Sabtu.
Udaya menuturkan, pada 11 Oktober 1740, Benteng Belanda yang terletak di kawasan pecinan Tangerang diserang oleh masyarakat Tionghoa. Serangan itu merupakan bentuk balasan atas kekejaman Belanda yang telah membantai lebih dari 10.000 warga Tionghoa di Batavia, sehari sebelumnya. Dalam peristiwa itu, masyarakat Tionghoa kalah karena terbatasnya senjata ataupun personel.
Mereka lantas lari menyelamatkan diri ke wilayah-wilayah di sepanjang pesisir utara Jawa, mulai dari Banten hingga Jawa Timur. Di kawasan-kawasan itu, terutama di Rembang, banyak orang Jawa yang membantu masyarakat Tionghoa memerangi Belanda. Peristiwa perjuangan dan persaudaraan itu diharapkan bisa dikenang sewaktu-waktu oleh orang-orang yang datang ke Museum Liem Heritage. Hal itu juga sekaligus menjadi perekat di tengah aneka perbedaan yang ada.
Restorasi itu dilakukan Udaya menggunakan uang pribadinya. Karena itu, prosesnya bergantung pada kondisi perekonomian Udaya.
Sekitar 13 kilometer dari bangunan yang direstorasi Udaya di kawasan Sumberjo, ada bangunan lain di Desa Sumbergirang, Kecamatan Lasem, yang juga direstorasi. Bangunan berusia ratusan tahun itu direstorasi dengan uang pribadi keluarga Gizella Gandapurnama (22), warga setempat. Keluarga Gizella membeli bangunan itu sekitar tiga tahun lalu. Namun, restorasi baru dilakukan tahun lalu.
Restorasi yang dilakukan oleh keluarga Gizella tergolong minim. Sebisa mungkin, mereka ingin mempertahankan keaslian bangunan. Mulai dari lantai, pintu, hingga lampu-lampu yang ada di bangunan itu masih asli.
”Saya pribadi senang dengan hal kuno. (Saya ingin) Mengapresiasi apa yang sudah dibuat orang-orang sebelum kita. (Bangunan) Itu dulu pernah jadi tempat tinggal mereka, tempat mereka bersembahyang, dan lain-lain. Sangat sayang rasanya kalau dihancurkan,” ujar Gizella, Senin (13/11/2023).
Restorasi bangunan yang diperkirakan sudah ada sejak sebelum 1921 itu rampung pada Agustus 2023. Setelah berembuk, keluarga Gizella sepakat untuk memanfaatkan bangunan itu sebagai restoran dengan nuansa China kuno. Hal itu karena di Lasem belum banyak restoran. Dengan cara itu juga, mereka bisa memberdayakan masyarakat sekitar. Kini, ada 13 orang yang bekerja di restoran bernama Dapur Lasem tersebut. Mayoritas pekerjanya merupakan warga sekitar.
Peristiwa perjuangan dan persaudaraan itu diharapkan bisa dikenang sewaktu-waktu oleh orang-orang yang datang ke Museum Liem Heritage.
Dua bangunan itu hanya sebagian dari beberapa bangunan tua di Rembang yang direstorasi. Menurut peneliti pecinan Nusantara dari Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia, Agni Malagina, ada satu rumah tua di Desa Karangturi yang selama dua tahun terakhir juga direstorasi. Rumah itu dulunya kusam, tidak terawat, dan bocor di sana sini. Seusai direstorasi, bangunan itu jadi kelihatan seperti bangunan baru.
Agni menambahkan, ada satu rumah batik kuno yang turut direstorasi, yakni Rumah Batik Nyah Kiok. Restorasi itu dilakukan sesuai dengan bentuk asli bangunan. Kendati demikian, ada perubahan yang cukup mencolok, yakni penggantian elemen kayu yang rusak dengan baja ringan.
Minim edukasi
Menurut Agni, restorasi yang dilakukan pada bangunan-bangunan kuno oleh masyarakat biasanya memiliki kelemahan. Rata-rata, restorasi dilakukan tidak sesuai dengan kaidah-kaidah konservasi. Kondisi itu terjadi karena minimnya edukasi mengenai konservasi kepada masyarakat. Di Rembang juga tidak ada ahli konservasi. Ahli konservasi sangat terbatas jumlahnya dan hanya ada di kota-kota besar, seperti Jakarta, Surabaya, dan Semarang.
”Selain itu, bahan-bahan yang dipakai dalam proses restorasi itu juga tidak memadai, misal lapis dinding atau acian semen yang dipakai tidak terbuat dari mineral khusus untuk bangunan kuno,” ucap Agni yang juga perwakilan dari Yayasan Lasem Heritage.
Kendati demikian, upaya-upaya masyarakat melakukan restorasi bangunan kuno menggunakan dana pribadi itu dinilai Agni perlu diapresiasi. Apa yang mereka lakukan sudah merupakan bagian dari upaya pelestarian. Sejumlah orang yang ditanyai Agni mengatakan, mereka melakukan restorasi karena ingin agar bangunan itu tidak rusak. Sebab, bangunan itu juga merupakan tempat menyimpan memori.
Tak hanya merestorasi bangunan, sebagian masyarakat di Rembang juga melestarikan bangunan kuno dengan cara lain, yakni rutin membersihkan bangunan, mencabuti rumput atau ilalang, dan mengecat bangunan. ”Di Lasem, yang dilindungi tidak hanya bangunan, tapi juga ada struktur, benda, situs, hingga kawasan,” katanya.
Upaya pelestarian bangunan yang dilakukan secara mandiri oleh masyarakat dinilai Agni perlu diformalkan. Dengan begitu, negara bisa terlibat atau setidaknya membantu. Bantuan dalam upaya pelestarian cukup beragam, bisa dengan dengan memberikan insentif pajak dan listrik atau memberikan kemudahan dalam pengurusan sertifikat ataupun hak guna bangunan.
Sementara itu, Wakil Bupati Rembang Mochamad Hanies Cholil Barro merasa mendapatkan ”tamparan sayang” dari masyarakat yang melakukan upaya-upaya pelestarian. Ke depan, Hanies bertekad, pihaknya akan lebih aktif dalam upaya pelestarian. Berbagai dukungan juga akan dilakukan, misalnya dengan membantu publikasi dan promosi.
Baca juga : Menata Lasem, ”Tiongkok Kecil” yang Terus Berubah
”Kami tentu akan mendukung dan mencari cara bagaimana kami mengembangkan. Selain itu juga membantu mencari, mungkin ada cagar budaya lain yang perlu direvitalisasi,” katanya.
Hanies meminta masyarakat yang berencana melakukan restorasi ataupun revitalisasi berkoordinasi dengan Pemerintah Kabupaten Rembang sehingga upaya pelestarian yang dilakukan bisa lebih optimal.