Gunung Ile Lewotolok di Kabupaten Lembata, Nusa Tenggara Timur, erupsi. Masyarakat sekitar dan wisatawan diimbau tidak beraktivitas dalam radius 2 kilometer dari gunung.
Oleh
KORNELIS KEWA AMA
·3 menit baca
LEWOLEBA, KOMPAS — Gunung Ile Lewotolok di Lembata, Nusa Tenggara Timur, kembali erupsi, Selasa (14/11/2023) pukul 05.27 Wita. Masyarakat di sekitar gunung diminta menggunakan masker agar terhindar dari abu vulkanik yang bisa menyebabkan ISPA.
”Saat ini Gunung Ile Lewotolok berada pada status Level II atau Waspada,” kata Stanislaus Ara Kia, Kepala Pos Pemantau Gunung Ile Lewotolok, Lembata.
Masyarakat di sekitar gunung, lanjutnya, ataupun pengunjung, seperti pendaki dan wisatawan, diimbau agar tidak melakukan aktivitas dekat gunung, khususnya pada wilayah radius 2 kilometer dari pusat aktivitas gunung. Masyarakat juga diminta menggunakan masker demi terhindar dari gangguan pernapasan.
menyebut kolom abu yang teramati berwarna kelabu hingga hitam
setinggi 400 meter di atas puncak gunung.
Kolom abu itu berintensitas tebal dan condong mengarah ke barat laut. Erupsi tersebut terekam di seismogram dengan amplitudo maksimum 24.5 mm dan durasi lebih kurang 1 menit 35 detik.
Pada pengamatan sehari sebelumnya, Senin (13/11/2023), terjadi 90 kali erupsi dari pukul 00.00 Wita hingga pukul 24.00 Wita. Tampilan gunung jelas. Asap kawah bertekanan lemah hingga sedang, berwarna putih dan kelabu, dengan intensitas sedang hingga tebal. Ketinggian asap 100-500 meter di atas puncak kawah.
Ia mengimbau agar masyarakat tiga desa, yakni Lamawolo, Lamatokan, dan Jontana, selalu waspada. Potensi ancaman bahaya dari guguran atau longsoran lava dan awan panas dari arah timur puncak atau kawah gunung masih ada.
Masyarakat yang bermukim di sekitar lembah atau bantaran sungai yang berhulu di puncak gunung agar waspada akan potensi ancaman bahaya lahar, terutama saat musim hujan yang segera tiba.
Kepala Desa Lamawara di Kecamatan Ile Ape, yang berada di radius sekitar 4 km dari kaki gunung, Pato mengatakan, erupsi gunung itu kerap terjadi sejak letusan besar pada 29 November 2020. Sejak Juni-Juli tahun 2023 ini, erupsi makin sering. Ada belasan kali. Efek letusan itu menimbulkan hujan abu vulkanik.
Meski demikian, lebih dari 500 warga Desa Lamawara tetap beraktivitas seperti biasa. Masyarakat seakan terbiasa dengan kondisi itu meski desa itu masuk zona merah.
”Petugas dari puskesmas datang mengimbau warga agar mengenakan masker setiap hari saat beraktivitas di luar rumah. Mereka bersama aparatur desa membagikan masker. Sebagai aparatur desa, kami terus mengingatkan warga agar selalu waspada,” kata Pato.
Terkait persiapan petani menyambut musim hujan tahun ini, ia mengatakan, masyarakat sudah bergeser mengolah lahan pertanian ke arah tanjung yang berjarak sekitar 7 km dari kaki gunung. Hampir semua petani dari desa yang berada dekat kaki Gunung Ile Lewotolok memindahkan tanaman garapannya.
Petani Desa Lamawara yang masih bertahan mengolah lahan di bawah kaki gunung itu tersisa enam orang. Lokasi lahan tanam mereka berjarak pada radius sekitar 3 km. ”Itu sudah jarak aman. Dulu, mereka merambat sampai lereng gunung,” kata Pato.
Ia mengkhawatirkan musim hujan tahun ini. Apabila terjadi hujan badai, dapat dipastikan terjadi longsor. Batu-batuan dari gunung bakal berjatuhan ke kaki gunung, apalagi disertai erupsi. Material yang berjatuhan dikhawatirkan membawa bencana besar bagi masyarakat sekitar.
Dedy Making (25), warga Desa Bungamuda, Kecamatan Ile Ape, mengatakan, dampak dari abu vulkanik semakin dirasakan warga. Salah satunya air di sumur cepat kotor dengan abu. Sumur harus selalu ditutup. Bahkan, sebagian warga tak bisa memanfaatkan air yang telah tercemar abu.
”Kami harus beli air dari Lewoleba berjarak sekitar 25 km dari desa. Harga air mobil tangki itu Rp 200.000-Rp 500.000. Ini tergantung jarak tempuh dan kondisi jalan menuju tujuan,” kata Dedy.