Ruang Sosial Orang Medan dalam Segelas Teh Susu Telur
Warung teh susu telur bukan sekadar tempat minum dan makan, melainkan ruang sosial bagi warga Medan yang beragam. Semua boleh ”ahli” bicara, yang penting tak ada obrolan rahasia di antara kita.
Di tengah menjamurnya kafe-kafe modern, warung teh susu telur alias TST tetap eksis di Kota Medan. Menjadi ruang interaksi sosial bagi masyarakat urban Kota Medan yang sangat beragam.
Sepulang kerja, bertemu teman, nongkrong ataupun nonton, paling cocok di warung TST. Kenikmatan minuman bergizi itu tak sekadar melepas lelah, tetapi merekatkan warganya.
Malam semakin larut di Warung TST Pak Haji di Jalan Puri, Medan, Sumatera Utara, Jumat (3/11/2023). Namun, pengunjungnya semakin banyak saja. Lebih dari 100 kursi di ruangan berukuran sekitar 8 meter x 12 meter itu hampir terisi penuh. Kipas-kipas besar di plafon warung mengusir gerah malam itu.
”TST empat gelas, Bang,” kata pengunjung yang baru tiba. Beberapa saat kemudian, minuman TST meluncur ke atas meja. Minuman dalam gelas tampak tiga lapisan, mulai dari susu, teh, dan telur. Cepat-cepat minuman diaduk dan diseruput.
Tegukan pertama TST langsung membawa orang-orang ke berbagai topik pembicaraan. Berbagai topik terangkat silih berganti. Orang-orang berbicara dengan suara keras-keras meskipun jarak antarmeja sebenarnya terbilang rapat. Saking dekat, orang di meja sebelah pun dapat mendengar dengan jelas apa yang dibicarakan. Pembicaraan apa pun nyaris takkan menjadi rahasia di warung TST.
Baca juga: Cakap Anak Medan Bukan ”Kaleng-kaleng”
Topik paling hangat malam itu adalah soal kontestasi Pemilihan Presiden 2024. Oborolan tentang calon presiden dengan cepat menjalar dari satu meja ke meja lain. Kebetulan, salah satu calon presiden sedang berkunjung ke Sumut hari itu.
Ketiga pasangan calon dikuliti satu per satu di hadapan gelas-gelas TST. Para pendukung tak boleh baper. Warung TST menyatukan masyarakat yang berbeda pilihan politik. Topik-topik lain juga dibahas, mulai dari jalanan kota yang kian macet, banjir yang semakin sering, hingga gosip kehidupan artis dan pejabat.
Ada pula para sales kendaraan bermotor yang bercerita tentang jualannya. Di meja lain, anak-anak muda asyik main game online atau sekadar melihat-lihat media sosial. Di momen-momen tertentu, warung TST kadang jadi tempat berdiskusi para aktivis hingga tempat menyiapkan aksi unjuk rasa.
Warung TST memang menyatukan masyarakat urban Kota Medan yang sangat majemuk baik dari sisi agama, suku, ekonomi, ataupun pandangan politik. Warung TST Pak Haji yang khas Minangkabau dikunjungi berbagai suku pula. Tak hanya orang Minang, tetapi juga Melayu, Batak, Jawa, India Tamil, hingga Tionghoa. Karena beragam tamunya, kedai menyuguhkan menu beragam juga. Mulai dari sate padang, mi Aceh, hingga roti cane khas India.
Nizar Aldi (26), karyawan swasta di Kota Medan, hampir setiap hari minum TST. Warung TST Pak Haji menjadi salah satu langganannya. Saat pulang kerja, dia singgah untuk melepas lelah. Kadang, dia juga bekerja dari warung TST. ”Segelas TST membuat badan lebih segar dan enak tidur,” kata Nizar.
Kalau sedang kerja berat atau harus bergadang, Nizar biasanya memesan TST dengan dua atau tiga telur. Kadang yang dipesan adalah telur setengah matang. Di Medan, mengonsumsi makanan bergizi untuk melepas lelah atau asupan makanan untuk bekerja ekstra disebut puding.
”Kalau sudah lelah seharian, enaknya puding dulu biar tenaga kembali dan tidur juga lelap. Di warung TST juga bisa ketemu dan kombur (mengobrol) sama kawan-kawan,” kata Nizar.
Sebagai solusi perut masyarakat urban, warung TST cukup mudah dijumpai di hampir semua sudut kota. Kedai-kedai kopi, kafe, bahkan rumah makan pada umumnya juga menyediakan menu TST.
Kedai PMTOH di Jalan Gajah Mada menjadi salah satu kedai kopi yang menyediakan TST. Meski hari masih sore, Selasa (7/11), kedai sudah dipenuhi pengunjung. Ada pegawai negeri sipil, karyawan swasta, dan pengusaha. Ada pula komunitas hobi mainan miniatur mobil yang sedang sibuk memamerkan koleksinya masing-masing.
Baca juga: Medan, Kota Perkebunan yang Bersalin Rupa
Di meja lain, Tonggo Pardede dan Eliezer Lumbantobing sedang membahas proposal pengolahan ikan red devil menjadi pupuk organik di kawasan Danau Toba. ”Ikan red devil adalah ikan invasif yang menyerang populasi ikan asli Danau Toba. Nelayan terpuruk karena populasi ikan tangkap menurun setelah kemunculan ikan red devil beberapa tahun ini,” kata Tonggo kepada rekan-rekannya.
Mereka tengah menyiapkan proposal untuk menekan populasi ikan itu. Jika digunakan sebagai bahan baku pupuk, nelayan akan menangkapnya karena ada nilai ekonominya. Populasinya pun bisa ditekan. Begitulah ide dan solusi bisa muncul dari interaksi sosial di kedai-kedai.
Karakter terbuka
Pengajar Atropologi di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara, Fikarwin Zuska, mengatakan, warung TST, sebagaimana juga kedai-kedai kopi, membentuk kebudayaan masyarakat urban di Medan. Keduanya menjadi ruang interaksi sosial masyarakat kota dan mencerminkan karakter masyarakatnya yang terbuka kepada siapa pun.
”Ruang interaksi sosial itu menunjukkan kalau di Kota Medan, manusianya sangat terbuka. Warganya yang berasal dari berbagai suku dapat menyatu di kedai-kedai. Semua bisa mengembangkan dan mengerjakan apa saja,” kata Fikarwin.
Infrastruktur sosial, seperti warung TST, kedai kopi, dan juga kafe, pada akhirnya membentuk kultur masyarakat urban di Medan. Kedai-kedai itu menjadi tempat mengobrol, berdiskusi, dan belakangan menjadi tempat menerima tamu. Saat ini masyarakat kota tidak lagi menerima tamu di rumah karena rumah sudah sangat minimalis.
”Kedai kopi atau warung TST bukan sekadar tempat minum, tetapi menjadi ruang sosial untuk melepas lelah dan mengobrol dengan teman. Di kedai, semua ’ahli’ ada. Mulai dari ’ahli’ politik, lingkungan, ekonomi, dan ahli sosial,” kata Fikarwin sambil tertawa.
Fikarwin menjelaskan, ruang sosial yang terbuka ini membentuk kohesi sosial yang kuat di tengah masyarakat Kota Medan. Saat hampir semua kota-kota besar diterpa gelombang politik identitas beberapa tahun lalu, Kota Medan hampir tak terpengaruh.
Daya lenting Kota Medan sangat kuat untuk menghadapi berbagai isu gesekan sosial. Ajakan intoleransi sangat cepat lenyap dan tidak berkembang di Medan. Warga Medan juga sangat terbuka kepada semua kelompok dari sejumlah daerah. ”Medan itu surganya orang daerah,” ujar seorang pengunjung yang sedang membicarakan peluang bisnis.
Lihat juga: Medan, dari Gwangju, Ceret, hingga Jalan Terpanjang di Indonesia
Tengah malam sudah terlewati di Warung TST Pak Haji. Namun, tiga mesin mixer tak henti-henti mengaduk telur di dalam gelas. Setelah telur mengembang, Imran, sang peracik TST, menuangkan susu kental manis, lalu menambahkan teh pekat dari saringan teh tarik yang besar. Dari segelas TST itu, ruang interaksi sosial masyarakat terbentuk di Medan.