Medan, dari Gwangju, Ceret, hingga Jalan Terpanjang di Indonesia
Nama ruas jalan di Kota Medan unik. Ada nama kota mulai Jalan Palangkaraya hingga Gwangju. Ada yang mengangkat nama perabot dapur, seperti Jalan Panci dan Kuali. Nama itu menunjukkan Medan sebagai kota terbuka.
Oleh
NIKSON SINAGA
·6 menit baca
Nama-nama jalan di Kota Medan menunjukkan pluralitas kota. Nama-nama kota dalam negeri dan luar negeri digunakan yang menunjukkan Medan sebagai kota terbuka, seperti Jalan Palangkaraya, Surabaya, hingga Gwangju. Ada pula kawasan yang mengangkat nama perabot dapur, seperti Jalan Panci hingga Jalan Sendok.
Sama seperti di kota lain, nama pahlawan disematkan di sejumlah ruas jalan penting. Jalan Letjen Jamin Ginting bahkan sudah dinobatkan sebagai jalan terpanjang di Indonesia oleh Museum Rekor-Dunia Indonesia dengan panjang 71,03 kilometer menembus Medan, Deli Serdang, hingga Kabupaten Karo.
Namun, beberapa ruas jalan sangat pendek. ”Jalan Pos itu sepertinya jalan terpendek dan hanya digunakan untuk alamat kantor pos, yaitu Jalan Pos Nomor 1,” kata Koordinator Komunitas Taman Medan, Miduk Hutabarat, Kamis (15/6/2023).
Jalan Pos sendiri hanya jalan diagonal di sudut Kantor Pos Besar Medan. Panjangnya sekitar 20 meter. Jalan itu terbentuk di pertigaan antara Jalan Bukit Barisan dan Jalan Balai Kota. Tugu Titik Nol Kota Medan—yang sudah dibongkar Pemkot Medan—di pertigaan itu membentuk huruf Y. Sudut di depan kantor pos lalu ditabalkan menjadi Jalan Pos.
Medan memang bisa disebut sebagai kota dengan ruas-ruas jalan yang unik. Nama-nama jalan unik lainnya digunakan di kawasan Jalan Ayahanda. Nama-nama jalan di sisi barat Jalan Ayahanda menggunakan nama-nama alat tulis, mulai dari Jalan Mistar, Jangka, Kertas, Batu Tulis, Buku, Notes, Sampul, Agenda, hingga Tinta.
Sementara jalan-jalan di sisi timur Ayahanda menggunakan nama-nama perabot dapur mulai dari Jalan Panci, Rantang, Ceret, Sendok, Garpu, Cangkir, Gelas, Belanga, Periuk, hingga Kuali. Di kawasan Padang Bulan, ada pula nama-nama alat musik, seperti Jalan Terompet, Marakas, Rabab, Gendang, Harmonika, Seruling, hingga Gitar.
Nama-nama kota di Indonesia juga digunakan di jantung kota mulai dari Jalan Cirebon, Bandung, Semarang, Surakarta, hingga Palangkaraya. Di kawasan Kesawan ada pula Jalan Gwangju. Di jalan itu juga didirikan prasasti yang ditandatangani Wali Kota Medan Abdillah dan Wali Kota Gwangju, Korea Selatan, Park Kwang Tae, pada 2005.
Nama pahlawan
Sama seperti di kota-kota lain, nama-nama pahlawan juga menjadi tema di sejumlah ruas jalan penting di Medan. Nama Pahlawan Revolusi digunakan di kawasan inti. Nama Jenderal Ahmad Yani disematkan untuk jalan utama mulai dari Jalan Palang Merah hingga Lapangan Merdeka.
Jalan Letjen Jamin Ginting bahkan sudah dinobatkan sebagai jalan terpanjang di Indonesia oleh Museum Rekor-Dunia Indonesia dengan panjang 71,03 kilometer menembus Medan, Deli Serdang, hingga Kabupaten Karo.
Sementara itu, ada tiga nama pahlawan revolusi yang disematkan di jalan yang saling terhubung mulai dari Jalan Letjen Siswondo Parman (sering disebut Jalan S Parman), Jalan Jenderal Sudirman, hingga Jalan Letjen Raden Suprapto. Jika tidak dipisahkan Jalan Pemuda, seharusnya tiga ruas jalan itu melingkar hingga Jalan Jenderal Ahmad Yani. Sementara Jalan Mayjen DI Panjaitan agak terpisah dari ruas jalan itu.
Nama pahlawan lainnya juga digunakan jalan-jalan besar, seperti Jalan Sisingamangaraja XII, Jenderal Gatot Subroto, dan Adam Malik.
Meskipun Medan telah menyematkan nama pahlawan dan tokoh berjasa, nama pahlawan dan tokoh penting masih banyak yang belum mendapat tempat di Medan. Bahkan, Jalan Soekarno-Hatta yang sudah diusulkan sejak lama belum mendapat tempat di Medan.
”Jalan Soekarno-Hatta diusulkan untuk dibuat mengelilingi tiga sisi Lapangan Merdeka Medan menggantikan nama Jalan Pulau Pinang, Jalan Balai Kota, dan Jalan Bukit Barisan. Jalan Soekarno-Hatta juga dapat memanjang hingga tembus ke Jalan Palang Merah menggantikan sebagian nama Jalan Kereta Api,” kata Miduk.
Sebagian Jalan Kereta Api tentu perlu dipertahankan karena memiliki sejarah. Sejak awal didirikan, jalan di depan Stasiun Besar Medan itu sudah memakai Jalan Kereta Api.
Jalan Palang Merah juga diusulkan untuk diganti menjadi Jalan Teuku Muhammad Hasan, nama Gubernur Sumatera pertama. Tokoh Aceh itu adalah orang yang pertama membacakan Proklamasi Kemerdekaan RI di Sumatera, tepatnya di Lapangan Merdeka, Medan.
”Jika usulan penamaan jalan itu diterima, kawasan ini tersambung dalam satu tema kemerdekaan mulai dari Lapangan Merdeka, Jalan Soekarno-Hatta, hingga Jalan Teuku M Hasan,” kata Miduk.
Miduk mengatakan, Jalan Soekarno-Hatta juga sempat diusulkan untuk menggantikan Jalan Gagak Hitam/Ringroad saat ini. Namun, menurut Miduk, tidak etis menempatkan nama Proklamator Bangsa di pinggir kota dan daerahnya kurang strategis. Jalan itu juga tersambung dengan nama-nama lain, seperti Jalan Ngumban Surbakti dan Jalan Kapten Sumarsono.
Nama Gubernur Sumut pertama, yakni Sutan Muhammad Amin Nasution, juga perlu diberi tempat. Pahlawan nasional yang akrab dipanggil SM Amin itu justru digunakan sebagai nama jalan di Kota Pekanbaru, Riau. Di Sumut, nama SM Amin pernah diusulkan sebagai nama jalan utama ke Bandara Kualanamu. Namun, Pemerintah Kabupaten Deli Serdang memilih nama Jalan Sultan Serdang.
Menurut Miduk, penamaan jalan di Kota Medan sudah berulang kali diganti mulai dari masa pemerintahan Hindia Belanda, awal kemerdekaan, hingga saat ini. Nama-nama jalan di inti kota menggunakan nama kota-kota di dalam negeri sejak kemerdekaan dan terjadi nasionalisasi.
Namun, belakangan, penamaan jalan di permukiman baru semakin tidak teratur dan tidak mempunyai tema-tema tertentu. Di daerah perumahan-perumahan baru nama jalan dibuat sembarangan tanpa tema dan sejarah. Hal itu, antara lain, terjadi di daerah Medan Johor, Medan Labuhan, hingga Medan Utara.
Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Pemerintah Kota Medan Laksamana Putra Siregar mengatakan, Pemerintah Kota Medan mengutamakan penamaan jalan yang mempunyai sejarah. Pemerintah juga selalu membuka pengusulan nama jalan dari masyarakat. ”Ada syarat dan proses dalam penobatan nama tertentu untuk nama jalan,” kata Putra.
Putra menyebut, mereka sedang mengkaji penggunaan nama-nama pahlawan atau tokoh yang berjasa di Sumatera Utara. Pemkot sedang mengkaji beberapa nama dan menerima usulan juga dari masyarakat.
Selain nama pahlawan, kata Putra, nama-nama kota dari berbagai daerah di Indonesia hingga di luar negeri juga digunakan di Medan karena Medan merupakan kota yang terbuka bagi siapa saja. Nama kota luar negeri seperti Jalan Gwangju juga digunakan di kawasan Kesawan sebagai bentuk persahabatan antara dua kota. Gwangju merupakan nama salah satu kota di Korea Selatan.
Putra menyebut, satu kawasan dinamai dengan tema tertentu agar mudah diingat. Begitu disebut nama alat tulis, orang akan ingat kalau itu berada di kawasan Jalan Ayahanda. ”Itu mengambil tema tertentu agar mudah diingat. Ada kawasan yang menggunakan nama burung, bunga, hingga sungai,” kata Putra.
Wong Yaw Long (71), warga Jalan Gwangju, mengatakan, sejak ia tinggal di daerah Kesawan itu, sudah berulang kali nama jalan diganti. Jalan Jenderal Ahmad Yani digunakan untuk menggantikan nama Jalan Kesawan. Jalan-jalan yang terhubung ke Jalan Ahmad Yani itu juga berganti nama menjadi Jalan Ahmad Yani I, II, dan III.
”Jalan Gwangju diresmikan pada 2005. Sebelumnya pernah diberi nama Jalan Tepekong, Jalan Swarna, hingga Jalan Ahmad Yani V,” kata Long.
Nama-nama ruas jalan di Medan pun terus berubah dan berkembang dengan keunikannya masing-masing. Nama itu sekaligus menandakan Medan sebagai sebuah kota plural yang terbuka bagi siapa pun…