Ironi Pekerja Migran Ilegal NTT yang Pulang dalam Peti Mati
Sejak Januari-November 2023, 118 pekerja migran ilegal asal NTT meninggal di luar negeri. Sebanyak 98 persen di antaranya pergi tanpa prosedur. Sebagian besar korban berpendidikan rendah.
Oleh
KORNELIS KEWA AMA
·4 menit baca
Satu per satu pekerja migran ilegal asal Nusa Tenggara Timur pulang tinggal nama. Pergi tanpa dokumen akibat minim literasi dan terdesak kebutuhan ekonomi, mereka disambut keluarga dalam peti mati.
Kisah pekerja migran ilegal yang pulang dalam peti mati menjadi ironi tidak berkesudahan dari daerah timur negeri ini. Badan Perlindungan Pekerja Migran Indonesia NTT mencatat, Januari- 9 November 2023, 128 pekerja meninggal di luar negeri. Dengan tambahan tiga jenazah yang pulang hari ini, total ada 131 pekerja meninggal di luar negeri. Sebanyak 98 persen di antaranya pergi tanpa prosedur.
Kompas mencatat, setiap bulan selalu saja ada warga NTT yang pulang tak lagi bernyawa. Jumlahnya rentan bertambah.
Pada Kamis (9/11/2023) pagi, misalnya, ada satu peti jenazah datang dari Malaysia di Bandara El Tari, Kupang. Di dalamnya terbaring jenazah Yanto Benggu (45), warga Desa Oetefu, Kabupaten Rote Ndao.
Jenazah korban yang sebelumnya bekerja pada Boh Ming Agrofarm Sdn Bhd di Sibu, Sarawak, Malaysia, itu langsung dibawa melalui laut ke rumah duka di Rote Ndao.
Selain jenazah Yanto, ada satu peti lain yang tengah dalam perjalanan. Dalam peti itu, ada jenazah Jhon Ferivandes (56), warga Desa Lewohala, Kecamatan Ile Mandiri, Flores Timur, yang meninggal di Kinabalu, Malaysia.
Bekerja sejak 2010 dan belum pernah pulang kampung, Jhon disebut meninggal karena sakit. Peti jenazah diperkirakan tiba di Bandara El Tari pada Jumat (10/11/2023).
”Mereka yang meninggal rata-rata berpendidikan di bawah SMP. Bahkan, sebagian hanya sekolah sampai kelas IV SD,” kata Ketua Dewan Pembina Pelayanan Advokasi untuk Keadilan dan Perdamaian (Padma) Indonesia Gabriel Goa, di Kupang, Kamis (9/10/2023). Padma kerap mendampingi pekerja migran dan keluarganya.
Martinus Benggu (56), kerabat Yanto Benggu, mengatakan, keluarga tidak bisa datang menjemput jenazah di Kupang. Mereka kesulitan biaya.
Yanto disebut sebagai warga miskin NTT yang berangkat secara ilegal ke Malaysia Timur sejak 2011. Menurut kabar dari Konsulat Jenderal RI di Kuching, Malaysia, Yanto meninggal akibat kecelakaan lalu lintas.
”Semua anggota keluarga dan kerabat sudah menunggu di Pelabuhan Feri Pantai Baru Rote Ndao. Perjalanan jenazah dari Kupang ke Rote Ndao sekitar empat jam,” kata Martinus.
Martinus mengatakan, awalnya Yanto nekat ke Malaysia karena butuh uang untuk membangun rumah dan membiayai pendidikan anak yang hendak masuk ke perguruan tinggi. Sejak 2011-2018, Yanto sempat mengirim uang untuk membangun rumah yang hingga kini belum rampung. Namun, 2018-2023, dia tidak pernah lagi mengirimkan uang ke kampung halaman.
”Kini, karena berangkat ilegal, keluarga tidak menerima santunan kematian,” katanya.
Siprianus Madung (65), pekerja ilegal asal Flores Timur yang kini bekerja di Keke, Malaysia, saat dihubungi mengatakan, banyak pekerja asal NTT tidak peduli kesehatan dan keselamatan. Hal itu umumnya muncul dari pekerja migran yang sudah lama merantau.
”Yang baru tiba biasanya menghindari keramaian dan bekerja sungguh-sungguh agar tidak terpantau aparat. Namun, yang bekerja lebih dari dua tahun biasanya sudah tidak peduli kampung halaman dan diri sendiri. Mulai kenal beberapa anggota polisi dan keimigrasian. Akibatnya, mereka paham cara menghindar atau menyelamatkan diri dari penangkapan,” kata Siprianus.
Saat paham banyak celah, tidak heran apabila pekerja migran mulai bergaya hidup tidak sehat. Akibatnya, mereka mudah terserang penyakit. Apalagi, mereka yang berangkat secara ilegal tidak bisa berobat ke rumah sakit.
Gabriel Goa mengatakan, kematian para pekerja seharusnya bisa dicegah oleh Pemprov NTT. Salah satu caranya, bekerja sama dengan daerah lain untuk berbagi lapangan pekerjaan.
Selain itu, pemerintah bisa membangun balai latihan kerja (BLK) di 22 kabupaten/kota hingga sistem layanan terpadu satu atap. Tujuannya, mengurus keberangkatan calon PMI.
”Sampai hari ini, hanya ada satu BLK Pemprov NTT di Kota Kupang dan dua BLK lain milik swasta,” kata Gabriel.
Kepala Bidang Ketenagakerjaan di Dinas Koperasi, Tenaga Kerja, dan Transmigrasi NTT Thomas Hoda mengatakan, pembangunan BLK itu kewenangan pemerintah kabupaten/kota.
”Tidak mudah mengirim calon tenaga kerja ke provinsi lain. Mereka juga sedang kesulitan lowongan kerja,” kata Thomas.
Saat solusi belum juga hadir, kisah duka warga NTT yang pergi, tetapi tak kembali bakal terus tersaji. Awalnya berharap sejahtera, mereka pulang tinggal nama.