Ikan Raksasa yang Bertumbangan di Pantai Selatan Jawa
Hiu paus atau hiu tutul akhir-akhir ini makin kerap ditemukan terdampar di pesisir, terutama di pantai selatan Jawa. Fenomena apa yang memicu hal ini?
Oleh
MOHAMAD FINAL DAENG
·4 menit baca
Warga pesisir Pantai Garongan, Kabupaten Kulon Progo, Daerah Istimewa Yogyakarta, Rabu (8/11/2023) malam, dikejutkan dengan kemunculan seekor hiu paus yang teronggok di pasir pantai desa mereka. Tubuh ikan raksasa itu terkulai, tak bergerak dipukul-pukul ombak pesisir.
”Saat ini masih dalam proses evakuasi, ditarik dengan tiga unit jip ke lokasi yang aman, kemudian dikubur. Tim agak kesulitan karena tubuhnya berat dan medan pasir,” ujar Koordinator Satlinmas Rescue Wilayah Kulon Progo Aris Widiatmoko, Kamis (9/11/2023) pagi.
Hiu paus (Rhincodon typus) adalah spesies ikan terbesar dunia. Ukuran dewasanya bisa mencapai panjang 18 meter dengan berat hitungan ton. Satwa raksasa ini hidup di perairan tropis di seluruh dunia, termasuk di Samudra Hindia, yang sebagiannya masuk perairan selatan Pulau Jawa.
Hiu paus yang terdampar di Pantai Garongan itu bukanlah yang pertama. Sebelumnya, pada 27 Oktober 2023, sekitar 5 kilometer arah timur Pantai Garongan, tepatnya di Pantai Trisik, Kulon Progo, ikan yang sama ditemukan terdampar.
Namun, Aris mengatakan, hiu paus yang terdampar di Pantai Garongan lebih besar ukurannya, yakni panjang sekitar 7 meter dengan bobot lebih dari 1 ton. Adapun yang ditemukan di Pantai Trisik panjangnya sekitar 5 meter dengan berat 1 ton.
Selain di Kulon Progo, sebelumnya ditemukan kasus serupa di daerah tetangga, yakni di Kabupaten Purworejo dan Kabupaten Kebumen, Jawa Tengah. Satu ekor ditemukan di pantai Purworejo pada 7 September 2023 dan dua ekor di pantai Kebumen pada 31 Oktober 2023.
Artinya, dalam kurun waktu dua bulan, lima ekor satwa yang terancam punah itu mati terdampar. Berdasarkan daftar Persatuan Internasional untuk Konservasi Alam (IUCN), hiu paus sejak tahun 2016 dimasukkan dalam status satwa terancam punah. Di Indonesia, hiu paus juga masuk sebagai satwa dilindungi penuh sejak tahun 2013.
Lantas, apa yang menyebabkan ikan raksasa tersebut mendekat ke pesisir dan akhirnya terdampar, lalu mati?
Peneliti Madya Pusat Riset Oseanografi Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Fahmi, yang juga Regional Vice-Chair Asia dari Kelompok Spesialis Hiu IUCN, menjelaskan, penyebab hiu paus terdampar berbeda dengan terdamparnya paus yang biasanya karena sakit. ”Faktor utama keterdamparan hiu paus adalah faktor makanan dan aktivitas nelayan,” ucapnya.
Fahmi memaparkan, saat ini di perairan selatan Jawa merupakan musim ikan pelagis kecil, cumi, dan udang. Meningkatnya keberadaan ikan-ikan kecil di perairan tersebut otomatis mengundang kedatangan hiu paus untuk mencari makan. Pada saat bersamaan, keberadaan ikan-ikan itu juga menarik nelayan datang, baik dengan menggunakan jaring insang maupun mengoperasikan jaring pantai.
Akhirnya, mereka kelelahan dan terdampar di pantai.
Hiu paus tersebut, biasanya yang belum dewasa, kadang mengikuti jaring nelayan yang berisi banyak ikan hasil tangkapan sampai ke pinggir pantai atau ke tempat dangkal. ”Bahkan, tak jarang ada yang masuk ke dalam jaring nelayan,” ujar Fahmi.
Untuk hiu paus yang mengikuti jaring nelayan hingga ke pinggir, kadang mereka terjebak di dekat pantai yang dangkal. Mereka tidak sanggup kembali ke laut lepas karena kuatnya arus yang mengarah ke pantai ataupun karena kondisi dasar laut yang tidak memungkinkan mereka kembali ke laut. ”Akhirnya, mereka kelelahan dan terdampar di pantai,” kata Fahmi.
Status terancam punah
Kejadian lainnya, lanjut dia, adalah hiu paus masuk ke dalam jaring dan nelayan tidak sanggup mengeluarkannya di tengah laut. Hal ini bisa jadi karena kondisi perairan yang tidak memungkinkan bagi nelayan untuk melepaskan ikan tersebut di tengah laut.
Kemungkinan kedua, ujar Fahmi, ada kekhawatiran dari nelayan apabila harus merusak jaringnya untuk melepaskan satwa tersebut. Hal itu dapat mengakibatkan kerugian dan hasil tangkapan nelayan juga ikut lepas.
Kondisi itu membuat tidak jarang nelayan membawa dulu hiu paus yang tersangkut atau masuk jaring tersebut ke pinggir pantai, baru melepaskannya. Hal ini menyebabkan hiu paus sudah dalam kondisi lemas dan tidak sanggup lagi berenang ke laut lepas karena terjebak di perairan dangkal. Akhirnya, mereka terdampar dan mati.
Secara terpisah, dosen Ilmu Kelautan Universitas Mataram, Mahardika Himawan, mengatakan, selain faktor mengejar makanan dan aktivitas nelayan, kematian hiu paus bisa juga disebabkan oleh benturan keras karena tertabrak kapal di tengah laut. Kasus itu pernah terjadi tahun 2016 di perairan Jayapura, Papua.
Kasus-kasus kematian hiu paus seperti itu yang salah satunya mendorong IUCN menempatkan satwa tersebut dalam status terancam punah (endangered). ”Karena itu, kejadian hiu paus yang terdampar, meski satu, harus menjadi perhatian, apalagi lima dalam lokasi yang berdekatan,” kata dosen spesialis bioekologi megafauna laut itu.
Namun, menurut Mahardika, di Indonesia masih sangat jarang upaya nekropsi (otopsi bangkai hewan) dalam kasus kematian hiu paus. Salah satu kendalanya adalah bangkai hiu paus cepat membusuk setelah kematian. ”Padahal, nekropsi bisa menjelaskan penyebab kematian sehingga bisa dicegah ke depan,” ujarnya.
Hal ini menjadi penting karena hiu paus berperan sebagai filter feeder atau pembersih lautan. Hiu paus memakan plankton sehingga organisme itu tidak tumbuh subur di laut. Plankton yang terlalu subur dapat menyebabkan ledakan populasi alga yang ujungnya bisa mengganggu kehidupan biota laut lainnya.
”Hiu paus juga merupakan ikan indikator kondisi perairan. Kalau ada hiu paus, berarti perairan itu sehat dan bersih. Artinya, potensi perikanan yang lain juga baik,” ucap Mahardika.