Wakil Ketua PN Batam: Tidak Ada Intervensi di Sidang Rempang
Wakil Ketua PN Batam Bambang Trikoro berharap perkara yang menyangkut 30 demonstran Rempang dapat diselesaikan dengan mekanisme ”restorative justice”.
Oleh
PANDU WIYOGA
·3 menit baca
BATAM, KOMPAS — Pengadilan Negeri Batam menegaskan tidak ada intervensi dalam sidang praperadilan 30 demonstran Rempang, Kota Batam. Pengadilan meminta pengamanan ketat saat sidang pembacaan putusan karena khawatir terjadi kericuhan.
Wakil Ketua Pengadilan Negeri (PN) Batam Bambang Trikoro, Selasa (7/11/2023), mengatakan, inti putusan tiga hakim tunggal adalah menolak permohonan praperadilan untuk seluruhnya. Sidang pembacaan putusan itu diselenggarakan pada 6 November 2023.
”Dalam praperadilan, hakim sama sekali tidak menilai pokok perkara. Jangan berasumsi bahwa praperadilan akan menentukan putusan akhir. Tidak ada intervensi apa pun,” kata Bambang.
Permohonan praperadilan diajukan oleh Tim Advokasi Solidaritas Nasional untuk Rempang untuk menguji penetapan 30 warga menjadi tersangka dalam kericuhan 11 September 2023. Pihak termohon adalah Polresta Barelang dan Polda Kepri.
Salah satu anggota Tim Advokasi Solidaritas Nasional untuk Rempang, Mangara Sijabat, mengatakan, pihaknya menghormati putusan hakim. Mereka akan tetap mendampingi warga untuk menghadapi proses hukum selanjutnya.
”Kami menilai lonceng keadilan di PN Batam telah mati. Biarlah masyarakat ikut menilai apakah putusan hakim telah memenuhi rasa keadilan dan sesuai dengan teori hukum,” ujar Mangara yang juga merupakan Direktur Lembaga Bantuan Hukum Mawar Saron Batam pada 6 November.
Mereka ditetapkan polisi menjadi tersangka perusakan kantor BP Batam dan melawan petugas.
Sebanyak 30 demonstran Rempang itu ditangkap polisi seusai demonstrasi ricuh pada 11 September 2023. Mereka ditetapkan polisi menjadi tersangka perusakan kantor BP Batam dan melawan petugas.
Bambang mengatakan, PN Batam kini tengah menunggu pelimpahan berkas perkara dari Kejaksaan Negeri Batam. Meski demikian, ia berharap perkara yang menyangkut 30 demonstran itu dapat diselesaikan dengan mekanisme keadilan restoratif (restorative justice).
”Siapa yang dirugikan (dalam kericuhan tanggal 11 September). Kalau itu pemerintah daerah, diwakili oleh siapa. Kalau di situ sudah terjadi kesepakatan, penghukuman tidak ada artinya lagi,” ujar Bambang.
Pengamanan sidang
Sidang pembacaan putusan praperadilan dijaga oleh 90 personel polisi. Terkait dengan hal itu, Bambang mengakui, ada kekhawatiran kericuhan yang terjadi pada 11 September lalu terulang di PN Batam.
Sebelum pembacaan putusan dimulai, sempat terjadi adu argumen antara warga dan polisi. Warga marah saat polisi menyuruh orang-orang yang bukan keluarga inti keluar dari gedung PN Batam. Padahal, sidang dinyatakan terbuka.
”Prosedur pengamanan oleh polisi tidak bisa kami intervensi. Kalau (ada warga) yang disuruh pulang, itu kewenangan dari polisi, kami tidak tahu,” kata Bambang.
Selain itu, 11 papan bunga berisi pesan harapan untuk mendapat keadilan yang dipasang warga di depan gedung PN Batam juga hilang dicuri. Nilai kerugian akibat kejadian itu ditaksir Rp 22 juta.
”Kami tidak tahu kalau tadi dinyatakan ada (papan bunga) yang hilang. CCTV (kamera pemantau) aktif dan akan dibuka kalau ada yang lapor,” ujar Bambang.