KKP Klaim Harga Acuan Ikan untuk PNBP di Bitung Cukup Adil
KKP nyatakan besaran PNBP sudah berkeadilan meski dikeluhkan nelayan Sulut. KKP beralasan telah memperhitungkan harga acuan ikan yang telah memasukkan biaya operasional nelayan melaut ke dalamnya.
Oleh
KRISTIAN OKA PRASETYADI
·5 menit baca
MANADO, KOMPAS — Kementerian Kelautan dan Perikanan atau KKP menyatakan besaran penerimaan negara bukan pajak atau PNBP sudah berkeadilan meski dikeluhkan para nelayan di Sulawesi Utara. KKP memastikan Bitung dapat menjadi pendaratan tangkapan dari dua zona penangkapan ikan terukur.
Direktur Perizinan dan Kenelayanan KKP Ukon Ahmad Furkon mengatakan, besaran PNBP yang harus dibayarkan nelayan pascapenangkapan didasarkan harga acuan ikan (HAI). Itu sesuai dengan Keputusan Menteri KP Nomor 140 Tahun 2023. Tiap jenis ikan diberi harga acuan berbeda di tiap pelabuhan.
”Harga yang tercantum dalam regulasi tersebut dihimpun dari rata-rata setiap jenis ikan di setiap pelabuhan perikanan di seluruh Indonesia. Dalam penyusunannya telah dilakukan konsultasi publik,” ujar Ukon melalui pernyataan tertulis pada Selasa (7/11/2023).
Dalam menetapkan HAI, KKP juga telah memperhitungkan harga pokok produksi atau biaya operasional yang dikeluarkan nelayan setiap kali melaut. ”Jadi, nilainya jauh lebih rendah ketimbang harga jual ikan di pasaran,” ujar Ukon.
Di Pelabuhan Perikanan Samudera (PPS) Bitung, lokasi pendaratan ikan utama Sulut, ikan cakalang mendominasi hasil tangkapan selama semester I-2023, yakni 35,3 persen dari total 21.100 ton. Tuna sirip kuning atau madidihang berada di posisi kedua dengan proporsi 29,9 persen.
HAI yang ditetapkan untuk cakalang di PPS Bitung adalah Rp 15.000 per kg, sedangkan madidihang Rp 17.700 per kg. Nelayan dengan kapal berbobot di bawah 60 gros ton (GT) wajib membayar PNBP sebesar 5 persen dari harga acuan tersebut, sedangkan yang di atas 60 GT dikenakan 10 persen.
Julius Hengkengbala, Ketua Gerakan Nelayan Perkasa Indonesia (GNPI) yang berbasis di Bitung, menyebut biaya ini terlalu besar untuk nelayan. Sebab, unit pengolahan ikan (UPI) di Bitung hanya memberi harga Rp 19.000-Rp 20.000 per kg untuk semua jenis ikan asalkan berkualitas ekspor.
Ikan kualitas konsumsi lokal diberi harga Rp 7.000-Rp 17.000 per kg, sedangkan yang sudah tergolong ”ikan gatal” akibat kandungan histamin tinggi hanya Rp 1.500-Rp 2.000 per kg di pabrik pakan ternak. Menurut Julius, kualitas ikan rentan menurun kalau ditumpuk di palka selama masa melaut, apalagi ikan-ikan yang berada di dasar tumpukan.
”Bayangin, ikan harganya Rp 2.000 (per kg), KKP kasih pajak (PNBP) dengan harga Rp 15.000. Dikali 10 persen, berarti Rp 1.500. Nelayan dapatnya cuma Rp 500. Kalau harga (di pabrik) cuma Rp 1.500, ya, diambil semua sama mereka (KKP),” kata Julius.
Ronny Sompotan, anggota GNPI, menyebut nelayan dapat menghabiskan Rp 100 juta sekali melaut. Itu pun belum tentu pulang dengan tangkapan mengingat sifat ikan pelagis, seperti cakalang dan tuna, yang bermigrasi. Meski demikian, secara umum GNPI tak menentang PNBP, terutama setelah sistemnya diubah dari pembayaran praproduksi menjadi pascaproduksi.
Perubahan ini adalah satu dari sekian langkah awal menuju pemberlakuan skema penangkapan ikan terukur (PIT), paling cepat 1 Januari 2024. Ukon mengatakan, KKP berupaya mewujudkan tata kelola yang baik agar sumber daya kelautan dan perikanan bisa berkelanjutan dan memberi manfaat optimal bagi seluruh masyarakat.
Hal ini diwujudkan dalam pembagian laut Indonesia menjadi enam zona penangkapan ikan. Masing-masing zona diberi kuota tangkapan per tahun. Tangkapan harus didaratkan di pelabuhan perikanan yang telah ditetapkan pada masing-masing zona. Menurut Ukon, konsep ini bukan hal baru.
”Pada 2016, misalnya, KKP pernah menyusun dokumen Arsitektur Kebijakan Perikanan Tangkap Nasional. Salah satu strategi utamanya adalah penegasan rezim limited entry (akses terbatas) yang esensinya sama dengan PIT,” kata Ukon mengenai skema yang ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2023 itu.
Soal ini, para nelayan dan pengusaha di sektor perikanan tangkap khawatir akan keberlanjutan pasokan ikan. Sebab, sebagian dari 935 kapal yang berbasis di Bitung melaut di Wilayah Pengelolaan Perikanan (WPP) 716 (sisi utara Sulawesi) dan 715 (sisi timur Sulawesi).
Dua WPP tersebut terpisah menjadi Zona 02 dan 03. Bitung yang berada di WPP 716 ditempatkan di Zona 02 sehingga pasokan dari WPP 715 yang terletak di Zona 03 seharusnya didaratkan di salah satu dari delapan pelabuhan di Maluku dan Sulawesi Tenggara.
Sekarang kami kasih juga kesempatan kapal angkut untuk beraktivitas lagi.
Kendati demikian, Pelaksana Tugas Direktur Jenderal Perikanan Tangkap KKP Agus Suherman menegaskan, Bitung dapat menjadi lokasi pendaratan tangkapan dari kedua zona tersebut. Ini ia sebut sebagai bagian dari relaksasi regulasi perikanan selama setahun terakhir demi meningkatkan produksi pasokan bahan baku industri perikanan.
”Sekarang kami kasih juga kesempatan kapal angkut untuk beraktivitas lagi. Bitung ada (melayani) dua zona, yaitu Zona 02 dan 03. Jadi bahan bakunya bisa langsung landing (didaratkan) di sini,” kata Agus.
Uji coba PIT di PPS Bitung sudah mulai membuahkan hasil dengan produksi sebesar 300 ton tangkapan per hari. ”(Kapal pengangkut) Memang harus langsung masuk ke Bitung, enggak boleh ke pelabuhan lainnya,” kata Agus mengacu pada kapal-kapal yang mengambil ikan di WPP atau zona yang tak semestinya.
Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Sulut Tienneke Adam mengatakan, pemerintah daerah akan mendukung PIT, tetapi ia meminta bagi hasil dari PNBP bagi daerah. Di samping itu, ia juga minta pemerintah membiarkan kapal-kapal di bawah 30 GT dengan izin daerah untuk tetap dapat menangkap ikan melewati batas Jalur II, yaitu 12 mil dari garis pantai.
”Kalau dulu, kan, kapal kecil bisa masuk ke (wilayah penangkapan) kapal besar. Tapi, sekarang semua ditarik ke (izin) pusat, dipaksakan untuk migrasi (jika ingin menangkap di Jalur III). Jadi kami kehilangan PAD (pendapatan asli daerah) karena semua ditarik ke pusat,” katanya.