Kala Sasi Panggil Pulang Anak Negeri
Sasi atau hukum adat yang berlaku di Pulau Haruku, Kabupaten Maluku Tengah, Maluku, ampuh menjaga kelestarian ekosistem alam di wilayah tersebut. Magis sasi juga mampu merangkul seluruh anak negeri.
Sebuah monumen dengan tulisan ”Mari Masuk di Rumah Kewang Haruku” menyambut para pengunjung yang tiba di Pulau Haruku, Kamis (14/9/2023). Masuk ke kawasan itu terasa seperti masuk ke dimensi lain. Rasa gerah yang dirasakan akibat teriknya sinar mentari berubah menjadi sejuk. Hawa panas diserap oleh pepohonan besar yang tumbuh di kawasan itu.
Tak jauh dari monumen itu, ada gapura kayu dengan tulisan serupa. Beberapa meter dari gapura itu, ada sebuah bangunan yang di dalamnya terdapat sejumlah anak-anak negeri, sebutan untuk kampung atau desa di Maluku, yang tengah asyik bermain sembari belajar. Suara celotehan hingga gelak tawa anak-anak di tempat itu kerap terdengar samar karena tertutup deburan ombak yang berkali-kali pecah di tanggul pesisir Haruku.
Alam Haruku, baik itu lautan hingga pegunungan, relatif masih terjaga dan lestari. Kondisi itu tidak terlepas dari keberadaan hukum adat atau sasi yang berlaku sejak dahulu kala di kawasan tersebut. Sasi merupakan larangan mengambil sumber daya alam tertentu dalam waktu tertentu pula sebagai upaya melestarikan dan menjaga keseimbangan ekosistem.
Di Haruku, salah satu sasi yang khas adalah Sasi Lompa. Sasi jenis ini tak ditemukan di tempat lain di seluruh Maluku dan merupakan perpaduan antara sasi laut dan sasi kali. Sasi Lompa disebut sebagai perpaduan karena keunikan dari ikan lompa (Thryssa baelama) yang dapat hidup di air laut dan air tawar.
Sasi Lompa atau larangan menangkap ikan lompa dalam batas waktu tertentu biasanya diumumkan oleh kewang atau penjaga alam Kampung Haruku. Sasi Lompa terakhir dibuka pada Oktober 2020 dan ditutup pada Desember 2020. Sejak saat itu, hingga 2023, Sasi Lompa masih ditutup.
Artinya, sejak tiga tahun terakhir, warga dilarang menangkap ikan di sepanjang 1 kilometer perairan Kampung Haruku. Kali Learissa Kayeli yang membelah Haruku pun disasi, artinya siapa pun dilarang mengambil atau menangkap ikan di kali tersebut.
Dinantikan
Sasi Lompa yang khas dan unik itu selalu dinanti anak negeri. Kabar Sasi Lompa bakal dibuka di Negeri Haruku biasanya tersebar ke seluruh anak negeri, baik yang ada di Haruku maupun yang di perantauan.
”Sasi dibuka itu seperti katong (kita) kumpul keluarga. Itu ramai sekali, semua berbondong-bondong datang,” kata Frangklen Mustamu (30), salah satu pemuda Negeri Haruku.
Anak-anak Negeri Haruku yang ada di perantauan, kata Frangklen, pun kerap meluangkan waktu untuk kembali ke Haruku. Di sana, mereka bersama-sama mengikuti prosesi pembukaan Sasi Lompa.
Makanan favorit warga saat Sasi Lompa dibuka, yakni kohu-kohu. Makanan ini berasal dari olahan ikan lompa mentah atau mirip sashimi yang ditangkap warga dari Kali Learissa Kayeli.
”Ikan mentah itu diputus kepalanya lalu dicampur parutan kelapa muda, daun kemangi, dan beberapa bumbu lain. Rasanya itu sedikit asam dan segar,” kata pengajar di SMPN 12 Kabupaten Maluku Tengah itu.
Saat cuaca sedang buruk, tidak ada ikan segar. Kami bisa mengambil ikan kering sebagai lauk.
Kohu-kohu biasanya dikonsumsi warga dengan singkong rebus, ketupat, atau keladi. Warga pun kerap menikmati makanan olahan itu dengan sambal olahan buah pepaya tumis atau terasi yang dipadukan dengan parutan kelapa.
Warga bersyukur, praktik sasi di Haruku masih lestari hingga saat ini. Menurut mereka, praktik sasi tidak hanya sebagai wujud menjaga tradisi, tetapi juga sebagai cara menjaga ketahanan pangan masyarakat setempat.
Esyo Hetharia (39), warga Haruku lainnya, mengaku antusias setiap kali ada pengumuman buka sasi, terutama buka sasi lompa. Dalam kegiatan itu, Esyo biasanya menangkap ikan lompa sebanyak dua baskom ukuran besar. Sebagian ikan itu diolah menjadi kohu-kohu yang dihidangkan bagi suami dan ketiga anak Esyo.
Sementara, sebagian besar sisanya dicuci bersih, diberi garam dan cuka, kemudian dijemur. Setelah kering, ikan itu disimpan di dalam kaleng dan hanya akan dikeluarkan untuk dikonsumsi saat musim paceklik tiba.
”Keberadaan ikan kering ini sangat membantu sekali. Saat cuaca sedang buruk, tidak ada ikan segar. Kami bisa mengambil ikan kering sebagai lauk. Kalau biasanya saya mengeluarkan uang Rp 100.000 per hari untuk belanja, dengan ikan kering ini saya bisa memangkas uang belanja menjadi Rp 80.000 per hari,” kata Esyo.
Baca juga: Perisai Adat yang Melindungi Laut
Esyo terakhir kali mengikuti acara buka sasi pada Oktober 2020. Ikan kering hasil panen pada masa itu mampu mencukupi kebutuhan pangan keluarganya sampai Maret 2023. Tak hanya berguna untuk ketahanan pangan keluarganya, ikan kering yang dipanen saat buka sasi kali itu juga dikirimkan kepada saudaranya yang di perantauan, seperti di Jakarta dan Papua Barat.
”Tradisi sasi sangat bagus dan efektif (untuk menjaga ketahanan pangan). Semoga, sasi bisa ada terus sampai ke generasi-generasi mendatang,” tuturnya.
Jatuh hati
Sasi tak hanya memanggil anak negeri pulang, tetapi juga orang dari luar. Sebagian orang yang datang ke Haruku jatuh hati dengan negeri itu dan memutuskan menghabiskan sisa hidupnya di pulau itu.
Abdon Jubjanan (68) salah satunya. Pria asal Kei Besar, Kabupaten Maluku Tenggara, itu pertama kali datang ke Haruku pada 1983 untuk bekerja sebagai guru. Setelah pensiun pada 2015, Abdon tak lagi pulang kampung ke Kei Besar. ”Saya merasa, hidup di sini sangat nyaman karena semuanya sudah diatur dengan baik dan aturannya ditaati oleh orang-orang,” ujarnya.
Salah satu aturan yang membuat Abdon jatuh cinta dan betah tinggal di Haruku adalah adanya sasi. Di kampung halamannya, sasi juga ada. Namun, menurut dia, aturannya tidak seketat di Haruku. Sasi di kampung asalnya pun kerap masih dilanggar sebagian warga.
Orang-orang di sini juga sangat baik. Kalau sedang buka sasi lompa, saya diberi kohu-kohu.
”Misalnya, di sini ada aturan tidak boleh mengambil ikan dengan bom karena bisa merusak ekosistem laut, maka tidak ada orang yang berani melanggar. Kalau di kampung saya, masih ada saja yang melanggar. Bahkan, ada juga yang menangkap ikan dengan menyebar racun. Jadi, ikan-ikan mati semua. Sekarang, hanya sedikit sekali ikan di sana,” katanya.
Selama ini, Abdon tinggal seorang diri di Haruku. Kendati demikian, ia mengaku tak pernah merasa kesepian. Di Haruku, mulai dari anak balita hingga warga lansia, hampir semuanya mengenal Abdon. Sebab, mayoritas mereka atau orangtua mereka pernah menjadi murid Abdon.
”Orang-orang di sini juga sangat baik. Kalau sedang buka sasi lompa, saya diberi kohu-kohu. Lalu, kalau sedang musim paceklik, saya selalu diberi ikan kering. Jadi, saya bisa tetap makan ikan meski saya tidak punya persediaan ikan kering,” kata Abdon.
Dia jarang membuat ikan kering, tetapi ia selalu ikut ambil bagian dalam kegiatan buka sasi. Biasanya, ia membantu warga lain menangkap ikan untuk diolah menjadi kohu-kohu dan dikeringkan.
Pendatang lain yang juga jatuh cinta dengan Haruku adalah Yoke Silfera (50). Kecintaannya kepada Haruku, termasuk sasi, membuat Yoke bersedia mengabdikan dirinya sebagai penjaga alam atau kewang. Tujuannya mulia, ia ingin membantu menegakkan aturan adat dan menjaga lingkungan di darat dan laut.
Baca juga: Harta Tak Terbilang dari Kedalaman Biru Papua
Kini, sudah genap enam tahun Yoke mengabdi sebagai kewang. Di Haruku, ada lima kewang perempuan, termasuk Yoke.
”Tugas kami membantu para kewang laki-laki. Kami mengawasi lingkungan dan aturan (supaya tetap dijalankan). Kalau ada yang melanggar, kami tegur atau kami denda. Jika masih tidak mau dengar, kami panggil ke rumah adat. Di situ akan dibina oleh Kepala Kewang,” ujar Yoke.
Yoke mengaku senang menjalani kehidupannya sebagai kewang perempuan. Ke depan, ia bertekad menurunkan ilmu-ilmu yang ia dapat sebagai kewang kepada calon-calon penggantinya. Kini, Yoke sedang mengajari seorang anak tetangganya yang direncanakan bakal menggantikan posisinya saat Yoke sudah tidak lagi menjadi kewang.
Keberlanjutan
Penerapan sasi yang kuat dan mengakar di Negeri Haruku ampuh membentengi alam dari potensi kerusakan lingkungan. Hukum adat itu patut dijaga dan wajib diajarkan ke anak cucu.
”Saya sudah 44 tahun jadi kepala kewang. Misalnya, saat saya sudah tidak ada, bagaimana sasi di Haruku ini? Perubahan pasti terjadi. Dari zaman orangtua sampai sekarang ini juga ada perubahan yang terjadi,” kata Kepala Kewang Haruku Eliza Kissya.
Upaya menjaga warisan leluhur yang diperkirakan ada sejak tahun 1600-an itu dimulai dengan mengangkat anak-anak di Haruku sebagai kewang kecil. Mereka diajarkan untuk mencintai lingkungan dengan terlibat aktif dalam kegiatan menyemai dan menanam mangrove, membersihkan laut dari sampah, hingga melakukan transplantasi karang.
Mengangkat anak-anak Negeri Haruku sebagai kewang kecil itu pun tak melalui proses yang rumit. Setiap anak yang rutin mengikuti beragam kegiatan pelestarian lingkungan otomatis disebut sebagai kewang kecil. ”Kalau sudah dewasa, mereka sudah lihat, sudah tahu, tinggal praktik saja. Jadi, mereka tidak belajar (tentang sasi) di kelas, tetapi belajar di alam,” ujar Eliza.
Upaya transfer ilmu sejak dini tak terlepas dari mulai memudar dan sirnanya penerapan sasi di sejumlah desa lain di Maluku. Eliza khawatir, di masa depan, saat pembangunan kian masif, alam di negerinya terancam rusak jika sasi dilupakan.
Baca juga: Masa Depan Lumbung Ikan Terancam
Saat ini, meski ada sasi dan hukum negara, ancaman kerusakan lingkungan, eksploitasi sumber daya alam secara berlebihan, hingga tindakan pengeboman ikan masih sering terjadi di Negeri Haruku.
Guru Besar Antropologi yang juga mantan Rektor Universitas Pattimura, Mus Huliselan, sepakat, kewang memegang peran penting dalam menjaga kelestarian tradisi sasi. Di tempat lain, tidak adanya kewang membuat sasi tidak berjalan optimal.
”Di beberapa daerah di Maluku, hampir tidak ada kewang lagi, padahal itu paling penting untuk mempertahankan sasi. Jabatan ini sangat penting untuk mengawasi kapan sasi mulai, apakah ikan sudah mulai masuk ke pesisir, itu semua diawasi kewang yang punya pengetahuan soal itu,” ujarnya.
Dia menambahkan, kalau tidak ada kewang atau yang mengawasi orang awam, bisa mengurangi pendapatan. Hilangnya jabatan kewang juga rawan menimbulkan potensi pelanggaran dalam sasi.
Menurut Huliselan, momentum pembukaan sasi dirindukan oleh masyarakat. Hal itu karena sasi selama ini sudah menjelma sebagai ruang sosial di mana masyarakat bisa berkumpul, berinteraksi dan bersenang-senang. Melalui sasi pula, masyarakat terikat menjadi satu.
Lihat juga: Egek, Taktik Suku Moi Melawan Perusakan Lingkungan di Papua