Pada masa lalu, rempah Aceh bukan hanya menjadi komoditas dagang, melainkan juga menjadi jembatan membangun hubungan bilateral dengan kerajaan lain.
Oleh
ZULKARNAINI
·3 menit baca
BANDA ACEH, KOMPAS — Pada masa Kerajaan Aceh Darussalam dan Kerajaan Samudera Pasai, Provinsi Aceh pernah berjaya dengan perdagangan rempah. Sejarah itu diharapkan menjadi spirit untuk memperkuat kembali sektor dagang rempah dari Aceh, seperti kopi, nilam, pala, dan cengkeh ke pasar internasional.
Hal itu menjadi kesimpulan dari seminar internasional ”Jejak Sejarah Jalur Rempah” di Universitas Islam Negeri Ar-Raniry, Banda Aceh, Senin (6/11/2023). Seminar tersebut bagian rangkaian Pekan Kebudayaan Aceh (PKA) ke-8. Seminar menghadirkan pembicara dari Malaysia, Singapura, dan sejumlah akademisi nasional.
Peneliti dari International Islamic University Malaysia berkebangsaan Turki, Mehmet Ozay, menuturkan, pada 1566 utusan Kerajaan Aceh berkunjung ke Istanbul, Turki. Saat itu, lada menjadi rempah primadona dan kekuatan ekonomi.
Utusan Kerajaan Aceh Darussalam melakukan diplomasi dengan Ottoman Turki. Lada sebagai rempah terbaik dijadikan hadiah khusus. Kunjungan tersebut bagian dari memperkuat hubungan bilateral. Aceh perlu dukungan dari Turki agar bisa menghalau gangguan Portugis. Kerajaan Turki memberikan hadiah meriam untuk Aceh yang kemudian diberi nama Meriam Lada Sicupak.
”Elite politik Aceh terus-menerus dan penuh semangat mengundang Ottoman melalui ’kebijakan rempah-rempah’ ke panggung persaingan komersial di Samudra Hindia,” kata Mehmet.
Saat itu, rempah bukan hanya menjadi komoditas dagang, melainkan juga menjadi jembatan membangun hubungan bilateral dengan kerajaan lain. Utusan Turki juga pernah ke Aceh. Jejak sejarah ini masih dapat dijumpai dengan adanya Kampung Bitai dan Emperom. Dua kawasan ini menjadi tempat singgah orang Turki.
Peneliti dari Universitas Negeri Singapura, Sher Banu Khan, dalam makalahnya menyebutkan, pada abad ke-16, Aceh merupakan pemain penting perdagangan rempah-rempah dunia, terutama komoditas lada yang sering disebut ”emas hitam”. Ada tiga alasan mengapa Aceh berperan dalam perdagangan rempah kala itu, yakni posisi geografis yang strategis, pemerintahan yang efisien, dan kecakapan membangun diplomasi dagang.
”Aceh juga menjadi pusat para pedagang dari China dan Kepulauan Melayu untuk singgah dan menukar rempah-rempah dengan barang lain. Aceh memainkan peran penting sebagai pintu masuk antara Timur dan Barat,” ujar Sher Banu.
Karena menjadi terminal perdagangan rempah dunia pula Portugis memandang Aceh sebagai saingan berat di Asia. Dalam makalahnya Sher Banu menyebutkan, saat itu Aceh mengekspor lada ke Arab lebih banyak daripada Portugis.
Namun, pada abad ke-18 terjadi perubahan pola aktivitas dagang dan perubahan geopolitik yang menyebabkan peran Aceh kian berkurang. Selanjutnya muncul perusahaan dagang Belanda (VOC) yang menguasai perdagangan di Asia Tenggara.
Meski demikian, sejarah kejayaan perdagangan rempah di Aceh dapat menjadi spirit untuk memanggungkan kembali komoditas unggulan dari Aceh, seperti kopi, nilam, cengkeh, dan pala.
Direktur Akses Nonperbankan Badan Ekonomi Kreatif (Bekraf) Saifullah Agam mengatakan, Aceh memiliki banyak komoditas rempah yang berpotensi dikembangkan. ”Jalur rempah dapat memberikan kontribusi signifikan terhadap keuangan Aceh karena lembaga pertanian di Aceh sangat kuat. Namun, dalam hal ini pemerintah tidak dapat bekerja sendiri,” kata Agam.
Dia menambahkan bahwa pemerintah perlu bekerja sama dengan masyarakat untuk mengembangkan potensi rempah di Serambi Mekkah. Hal ini dapat dilakukan melalui berbagai program, seperti pelatihan dan pendampingan bagi petani, serta promosi dan pemasaran produk rempah Aceh.
Jalur rempah dapat memberikan kontribusi signifikan terhadap keuangan Aceh karena lembaga pertanian di Aceh sangat kuat. Namun, dalam hal ini pemerintah tidak dapat bekerja sendiri.
Sementara itu, Kepala Dinas Pertanian dan Perkebunan (Distanbun) Aceh Cut Huzaimah menyatakan bahwa pemerintah Aceh terus mendorong generasi muda untuk menggunakan rempah sebagai produk industri kreatif. Hal ini dilakukan untuk mengembalikan kejayaan perdagangan rempah di Aceh yang pernah merajai pada masa lalu.
”Seminar seperti ini diperlukan untuk membuka kembali pemahaman masyarakat tentang rempah karena minat dalam pengembangan komoditas rempah telah menurun dan kami akan menghidupkannya kembali,” kata Cut Huzaimah.
Cut Huzaimah menambahkan bahwa Aceh memiliki banyak potensi rempah yang dapat dimanfaatkan oleh generasi muda, baik untuk keperluan kuliner, obat-obatan, maupun industri kreatif lainnya.