Lanting, Kemiskinan dan Rapuhnya Ketangguhan Hidup di Kalimantan Tengah
Lanting semakin langka dan dianggap simbol kemiskinan. Penghuninya rentan terdampak bencana dan beragam masalah lain.
Bagi warga Banjar, lanting atau rumah apung pernah menjadi simbol ketangguhan warga beradaptasi dengan alam Kalimantan. Namun, belakangan nasibnya muram. Keberadaannya akrab dengan kemiskinan.
Tulang-tulang rusuknya menonjol saat Jaelani mengangkat ember berisi air kecokelatan dari Sungai Kahayan. Tanpa baju, urat-urat di tubuhnya terlihat bekerja keras menopang usaha lelaki berusia 75 tahun itu membawa dan menuangkan air ke jeriken ukuran 5 liter.
Jarak sungai ke dapurnya tidak jauh, hanya beberapa meter. Namun, tetap saja bukan pekerjaan ringan bagi lelaki setua Jaelani.
”Ini untuk masak,” kata Jaelani, warga Dermaga Flamboyan, Kecamatan Pahandut, Kota Palangkaraya, Kalimantan Tengah, menunjukkan beberapa jeriken yang disimpan di dapurnya.
Seumur hidup Jaelani dan Masliah (70), istrinya, tinggal di lanting. Sebelum di Palangkaraya, mereka tinggal di lanting di Sungai Martapura. Selain memasak, air digunakan untuk mandi dan cuci. Ia tidak ambil pusing meski kini air Kahayan tidak sejernih 20-30 tahun lalu.
”Ini risiko tinggal di lanting, sumber air, ya dari sungai. Saya enggak bisa dapat air PDAM. Padahal, kantornya dekat saja dari sini,” ungkap Jaelani.
Baca juga: Peningkatan Kemiskinan Ekstrem di 14 Provinsi Jadi PR Pemerintah
Jaelani adalah sedikit warga Palangkaraya yang masih tinggal di lanting. Meski tidak banyak, bukan hal sulit menemukannya.
Sesuai namanya, lanting Jaelani terapung di bawah Dermaga Flamboyan. Dibuat di awal tahun 1980, panjangnya sekitar 8 meter dengan lebar 5 meter.
Agar bisa mengapung, bagian bawah lanting terdapat kayu gelondongan berdiameter 1-2 meter. Panjang lebih kurang 15 m. Jaelani menggunakan meranti (Shorea spp). Lanting lain ada yang menggunakan benuas (Dipterocarpaceae).
Di samping kiri, dibuat juga jamban untuk buang air. Sedangkan di belakang menjuntai tali tambang goni besar. Fungsinya mengikat lanting dengan tiang dermaga.
Terlihat eksotis, tapi minim air bersih hanya satu dari sekian masalah yang dialami penghuni lanting. Ada persoalan lain yang harus dihadapi penghuninya.
Untuk akses lalu lintas, misalnya, Jaelani membuat jembatan kayu. Tinggi jembatan berkayu usang itu mencapai 2 meter. Ditanam dengan fondasi tidak kuat, siapa saja bisa tercebur ke sungai jika tidak hati-hati.
”Pelan-pelan,” teriak Jaelani kepada setiap orang yang ingin bertamu ke rumahnya saat melewati jembatan rapuh itu.
Jaelani juga baru merasakan listrik negara dalam lima tahun terakhir. Sebelumnya, ia menggunakan genset milik tetangga. Mereka iuran untuk beli bensin, bahan bakar genset.
Simbol budaya
Lanting merupakan rumah adat khas suku Banjar. Di Kalteng, lanting tersebar di Sungai Kahayan, Kapuas, hingga Sungai Barito.
Selain di Kalteng, lanting juga pernah populer di Kalimantan Selatan. Menurut Syamsiar Seman dan Irhamna dalam buku Arsitektur Tradisional Banjar Kalimantan Selatan (2001), rumah lanting merupakan satu-satunya tipe rumah adat yang mengapung di atas air.
Ciri arsitekturnya berbentuk segi empat panjang dan konstruksi atap berbentuk pelana. Selain itu, fondasinya berupa pelampung batang kayu besar. Sedangkan gelagar ulin dijadikan penyokong lantai papan (Kompas, 14 Agustus 2021).
Dulu, lanting menjadi andalan warga untuk berbagai kegiatan. Selain rumah tinggal, lanting juga menjadi tempat berniaga hingga mencari nafkah. Lanting menjadi bukti ketangguhan warga beradaptasi hidup bersama alam.
Ikan sebagai sumber pangan bisa didapat kapan saja. Airnya yang ideal mudah didapat untuk kebutuhan sehari-hari
Baca juga: Ironi Kemiskinan di Daerah Kaya Sumber Daya Alam
Akan tetapi, ketangguhan itu perlahan pudar seiring zaman. Di Banjarmasin, Kalsel, jumlahnya tidak lebih dari sepuluh. Fungsinya tidak lagi menjadi tempat tinggal. Penghuninya kini pilih menetap di darat.
Di Palangkaraya, lanting bahkan terjerat stigma. Jejeran rumah lanting dianggap simbol kemiskinan. Nasib lanting dan orang yang tinggal di sana kian terpuruk akibat sulit berdamai dengan perubahan iklim dan fenomena alam lain.
Wajah muram Muhaimin (48), nelayan keramba, yang tinggal di lanting menjadi contoh. Musim kemarau panjang kali ini membuat warga Flamboyan itu hanya menuai petaka.
Ribuan ikan nila yang belum sempat ia panen banyak yang mati. Sekitar 5.000 dari 10.000 bibit nila mati dalam dua bulan terakhir. Kerugiannya jutaan rupiah. Dalam beberapa tahun terakhir, ia kerap mengalami hal serupa.
Muhaimin bukan tidak paham siklus dan mitigasinya. Ia tahu keramba nila membutuhkan arus air yang baik. Namun, ia tak berdaya saat kemarau panjang datang.
”Airnya surut dan arusnya. Akibatnya, nila kekurangan oksigen, tidak doyan makan, lalu mati terkontaminasi kotorannya sendiri,” katanya. Kondisi serupa dialami Jaelani.
Kini, saat Palangkaraya mulai diguyur hujan, Jaelani dan Muhaimin tetap saja tidak tenang. Ancamannya tidak menjadi lebih ringan.
Agar lanting tidak hanyut, mereka harus selalu memastikan tali-tali goni mengikat rumah mereka. ”(Saat) malam kada kawa (tidak bisa) tidur nyenyak, takut hanyut,” kata Muhaimin.
Jika hanyut, dampaknya fatal. Konon, lanting bisa sampai Laut Jawa, sekitar 138 kilometer jika ditarik garis lurus dari jembatan Kahayan di Palangkaraya. Baik Jaelani maupun Muhaimin tinggal beberapa ratus meter saja dari jembatan tersebut.
Dengan kondisi penuh ketidakpastian, tidak heran jika penghuni lanting rawan terjerat kemiskinan ekstrem. Badan Perencanaan Pembangunan Daerah dan Penelitian Pengembangan (Bappedalitbang) Kota Palangkaraya mencatat 7.900 warga terindikasi masuk dalam kategori kemiskinan ekstrem tahun ini.
Lanting menjadi salah satu potret kemiskinan di Kota Palangkaraya. Meski penghuni lanting ada yang hidup layak, mereka rentan terdampak beragam hal buruk.
Simbol kemiskinan
Kepala Bappedalitbang Fauzi Rahman menjelaskan bakal melakukan verifikasi data itu. Semuanya akan menjadi modal melaksanakan Program Percepatan Penghapusan Kemiskinan Ekstrem (P3KE) di Kota Palangkaraya.
Fauzi menjelaskan, lanting menjadi salah satu potret kemiskinan di Kota Palangkaraya. Meski penghuni lanting ada yang hidup layak, mereka rentan terdampak beragam hal buruk.
Flamboyan, misalnya, merupakan kawasan rawan bencana. Selain abrasi tanah pinggir sungai, ada juga kebakaran. Hampir setiap tahun ada saja kejadian api membakar kawasan padat penduduk itu.
”Pendataan sangat penting dilakukan untuk menjadi dasar pemerintah menerapkan program penanggulangan kemiskinan. Ini pekerjaan rumah yang terus kami lakukan,” kata Fauzi.
Khusus lanting, menurut Fauzi, sudah pernah ada investasi untuk menjadikan lanting sebagai kawasan wisata. Namun, program itu belum bisa direalisasikan sampai saat ini. Salah satu kendalanya, tidak ada anggaran.
Muhaimin dan Jaelani hanya gambaran kecil dari mulai rapuhnya ketangguhan hidup di Kota Palangkaraya, ibu kota Kalimantan Tengah. Lanting mereka yang terombang-ambing di sungai rawan banjir, berpotensi kekeringan, hingga kawasan rawan kebakaran menggambarkan semuanya.
Baca juga: Melihat Akar Persoalan Masyarakat Adat