Bubu, Pusaka Ampuh Nelayan Assilulu
Bagi nelayan di Desa Assilulu, bubu adalah warisan dari generasi ke generasi. Alat tangkap tradisional itu memastikan warga menikmati berkah laut berkelanjutan.
Setelah setengah jam bertolak dari pesisir desa di Kecamatan Leihitu itu, Emang Mamang (46) akhirnya sampai di tengah laut, Sabtu (2/9/2023). Dari atas perahu yang digoyang ombak kecil, ia mendekatkan wajahnya ke permukaan laut lalu mengintip dengan kotak kayu yang salah satu sisinya berlapis kaca.
Kedua tangannya kemudian meraih seutas tali biru yang mengapung. Emang pun meminta dua rekannya menarik tali sepanjang 30 meter itu. Satu per satu batu yang menjadi pemberat tali itu pun ikut naik.
Kurang dari lima menit, sebuah bubu terangkat dari laut sedalam 7 meter tersebut. Bubu sepanjang 2,6 meter dengan lebar 1,7 meter itu serupa jaring. Namun, bahannya adalah kayu dan bambu yang dirangkai menjadi anyaman.
Di kedua sisinya terdapat pintu berbentuk kerucut. Cara kerjanya, ikan akan masuk ke lubang itu kemudian terjebak di dalamnya karena ujungnya mengecil. Alat tangkap tradisional nan ampuh itu telah menjadi andalan nelayan Assilulu menangkap ikan sejak dulu kala.
Dengan alat itu, nelayan tak perlu jauh-jauh melaut atau repot menebar jala dan memancing. Mereka cukup menempatkan perangkap itu di titik-titik strategis di perairan dangkal dan meninggalkannya selama beberapa waktu, biasanya 1-2 hari. Setelah itu, mereka kembali untuk ”memanen” ikan yang telah terperangkap.
”Tadi saya dapat 12 ikan garopa (kerapu) dan ikan kulit pasir dari satu bubu. Kalau musim angin barat (Oktober-Januari), satu bubu bisa dapat 50 ikan,” ujar Emang yang memiliki enam bubu ini.
Baca juga: Alat Tangkap Modifikasi untuk Keberlanjutan Sumber Daya Ikan
Emang mengenal bubu sejak puluhan tahun lalu dari kakeknya. Bahkan, ia yakin, sebelum itu, bubu sudah dipakai menangkap ikan di daerah tersebut. Tidak ada buku atau catatan tertulis tentang cara menggunakan bubu. Pengetahuan itu diturunkan dari generasi ke generasi melalui praktik langsung di laut dengan keluarga.
Cara menempatkan bubu di laut, misalnya, harus dilakukan di perairan yang arusnya cukup tenang agar strukturnya tidak terbalik. Nelayan juga tahu secara persis lokasi penempatan bubunya meski tidak menggunakan bantuan GPS atau sistem navigasi modern.
Warga pernah mencoba memakai pelampung sebagai penanda titik bubu, tetapi itu justru membuat bubu dan hasil tangkapan rentan dicuri orang luar. ”Cara tahunya (lokasi bubu) kalau tempatnya sejajar dengan pulau atau pohon. Istilahnya di sini, nanaku,” ujar Emang.
Penentuan waktu pengambilan hasil tangkapan bubu juga diatur tiga kali sepekan atau setiap Selasa, Kamis, dan Sabtu. Warga menyebutnya sebagai tanila atau hari baik.
Emang tidak tahu pasti mengapa ketiga hari itu dikatakan baik untuk menjaring bubu. Namun, jeda itu memberi waktu bagi ikan untuk masuk ke bubu dan mencegah ikan besar yang terkurung memakan ikan kecil. Ikan kerapu, misalnya, dikenal sebagai makhluk kanibal.
Saya pernah pakai bubu besi. Kami dapat (dari pemerintah) satu orang satu (bubu). Hasilnya, hanya satu hingga dua ekor ikan.
”Bubu ini dari bambu. Baunya (bambu) ini, kan, khas. Disukai ikan,” ujar Emang yang mengibaratkan bubu sebagai rumah ikan.
Itu sebabnya, sekali masuk ke bubu, nyaris tidak ada jalan keluar bagi ikan. Apalagi, di dalam perangkap itu sudah ada potongan ikan dan lumut yang bisa jadi makanan mereka.
”Saya pernah pakai bubu besi. Kami dapat (dari pemerintah) satu orang satu (bubu). Hasilnya, hanya satu hingga dua ekor ikan. Beda sekali dengan bubu panjang (kayu dan bambu). Bubu besi sudah rusak,” ujarnya.
Adapun bubu berbahan kayu dan bambu, katanya, bisa menangkap belasan sampai puluhan ikan. Ukuran ikan yang ditangkap pun besar-besar. Siang itu, misalnya, Emang mendapatkan 12 ikan yang beratnya sekitar 1,5 kilogram per ekor.
Harga ikan kulit pasir berkisar Rp 15.000 per kg, sedangkan kerapu Rp 25.000 per kg. Di restoran di Kota Ambon, harganya bisa Rp 80.000 per kg.
Baca juga: Alat Tangkap Dirancang Berdasarkan Tingkah Laku Ikan
Setelah menjual beberapa ekor, bapak satu anak ini mengantongi sedikitnya Rp 200.000. Jumlah tersebut untuk mengganti biaya 2 liter bensin sekitar Rp 30.000 hari itu dan beberapa hari ke depan. Ikan lainnya dibakar untuk disantap bersama. Hanya disiram air laut, rasa ikannya sedap.
Jaffar Layn (66), nelayan lainnya, juga sudah puluhan tahun menggunakan bubu untuk mencari ikan. Tiga kali dalam sepekan, ia pergi memanen ikan di bubunya dari pukul 07.00 hingga pukul 12.00. ”Setiap kali ambil bubu, saya bisa dapat 20-30 kg ikan,” kata pemilik sembilan bubu ini.
Seperti Emang, Jaffar juga pernah mencoba bubu besi dari pemerintah. Namun, hasil tangkapannya tidak sebanyak saat memakai bubu kayu. Menurut dia, bubu berbahan besi mudah korosi sehingga serbuk karatnya membuat ikan menjauh dan bisa mengotori karang.
Soal terumbu karang, nelayan Assilulu sangat perhatian. Pernah, katanya, ada nelayan dari luar desa yang memakai bom ikan sehingga merusak karang. Warga berang dan mengusir orang tidak bertanggung jawab itu. Nelayan setempat pun kerap patroli untuk mencegah hal itu terulang.
Bagi warga, bubu berbahan bambu merupakan salah satu cara melestarikan laut dan isinya. ”Karena (bubu) tidak mengotori laut. Ukurannya juga membuat bibit ikan (yang kecil) tidak ikut tertangkap. Kalau ada yang pakai bom ikan, itu pasti dari tempat (daerah) lain,” ungkap Jaffar.
Bubu ini bisa tahan delapan bulan atau lebih.
Taher Mahulaw (63), pembuat bubu, mengatakan, alat tangkap itu ramah lingkungan karena bahannya alami, yakni rotan, kayu pohon mayang, dan aren. Semuanya tersedia di hutan, sekitar dua jam berjalan kaki dari permukiman. ”Barang ini tidak ada dijual di toko,” ujarnya tertawa.
Cara membuat bubu pun masih tradisional, tanpa campur tangan mesin. Mulanya, Taher membuat rangka bubu dari sekitar 51 potongan kayu. Kayu itu dibersihkan dengan diasap. Rangka lalu disusun menjadi bangunan setengah lingkaran dengan tiga tingkat, yaitu bawah, tengah, dan atas.
Kemudian, ia memasang potongan bambu kecil hingga menyerupai jaring. Ia lalu menguatkan struktur itu dengan tali dari aren. ”Bubu ini bisa tahan delapan bulan atau lebih. Kalau ada yang rusak, nanti bisa diperbaiki di sini,” ujar Taher yang sedang memperbaiki satu bubu nelayan.
Dalam sepekan, Taher bisa membuat satu bubu. Ia juga menyediakan tongkat kayu sebagai alat untuk mengambil ikan dari dalam bubu dan kotak kaca untuk mengecek posisi bubu di dasar laut. Satu set bubu itu dijual sekitar Rp 2 juta.
Ukuran dan bentuknya pun bisa disesuaikan. Namun, umumnya bentuknya setengah lingkaran atau menyerupai penyu. Selain itu, warna bubu yang coklat juga mirip dengan terumbu karang. ”Makanya, begitu dia (ikan) masuk (bubu), dia pikir itu rumah. Jadi, dia pikir sudah aman ini. Padahal, dia tidak bisa keluar,” ujarnya.
Baca juga: Masa Depan Lumbung Ikan Terancam
Tidak mengherankan, permintaan pembuatan bubu datang dari warga desa hingga nelayan di Ambon. Seorang bule pun pernah ke tempatnya melihat bubu. ”Pak Doni (Doni Monardo, mantan Panglima Kodam XVI/Pattimura) juga pernah ke sini, pesan 10 bubu,” katanya.
Namun, Taher mengakui, pamor bubu kini kalah dengan alat tangkap lainnya yang lebih modern dan masif, termasuk yang tidak ramah lingkungan. Hingga pertengahan tahun ini, misalnya, ia belum mendapatkan pesanan pembuatan bubu.
Masalah lain, para pembuat bubu juga rata-rata sudah menua dan tidak aktif seperti dulu lagi. ”Ada 10 orang yang bisa buat begini (bubu). Namun, yang masih (aktif) bikin hanya empat orang,” ujarnya.
Padahal, katanya, bubu bisa menjadi salah satu solusi menjaga laut yang terancam. Alat tangkap ramah lingkungan ini sejalan dengan harapan keberlanjutan perikanan.
Baca juga: Keberlanjutan Ikan di Atas Piring
Berdasarkan data Kementerian Kelautan dan Perikanan pada 2022, tingkat pemanfaatan sumber daya seperti ikan karang hingga lobster di Wilayah Pengelolaan Perikanan (WPP) 715 Laut Maluku tergolong sudah tereksploitasi penuh dan bahkan ada yang sudah berlebih.
Di tengah ancaman berkurangnya sumber daya ikan itu, nelayan di Assilulu tetap setia menggunakan bubu secara turun-temurun. Alat tangkap ramah lingkungan itu telah menjadi warisan pusaka untuk generasi selanjutnya yang sekaligus mewarisi kekayaan laut Maluku.