Berwisata Sembari Menahan Laju Abrasi di Pantai Rembat Indramayu
Pantai Rembat telah merekam ganasnya abrasi di pesisir Indramayu. Namun, pantai itu juga menjadi bukti bahwa pengembangan wisata bisa memberdayakan warga.
Sudah lama abrasi menenggelamkan pamor Pantai Rembat di Desa Juntinyuat, Kabupaten Indramayu, Jawa Barat. Pemerintah setempat dan sejumlah pihak pun menyulap kawasan itu menjadi destinasi wisata. Kini, warga tidak hanya berdaya, tetapi juga berupaya merawat bumi.
Tulisan ”Pantai Rembat” dan sematan tanda ”love” menyambut pengunjung siang itu, Senin (30/10/2023). Semilir angin dan gemuruh ombak seakan mengajak siapa pun mendekat. Pemandangan biru laut yang bertemu lazuardi langit serta hijau mangrove menyejukkan mata.
Terik matahari tidak menjadi penghalang bagi pengunjung menapaki jembatan kayu berwarna-warni. Jembatan di atas permukaan laut itu membentang lebih dari 300 meter, tepat di pinggir pantai. Di sana, terdapat spot foto menarik, seperti ayunan dengan latar laut dan replika perahu.
Baca juga: Juntinyuat, dari Abrasi Jadi Destinasi
Dari jembatan itu, pengunjung dapat menggapai pohon mangrove setinggi 3 meter. Di batangnya, terpajang beberapa pesan yang menggelitik, seperti ”manusia boleh berencana, tapi saldo juga yang menentukan” atau ”cantik itu relatif, tergantung kamera dan filternya”.
Di bawah jembatan, anak-anak bertelanjang kaki di pasir hitam pantai. Ada juga yang menggambar di pasir memakai kayu atau sekadar bermain ayunan dan air. Beberapa pengunjung lainnya bersantai menikmati minuman dingin di warung yang menjajakan aneka jajanan.
”Sudah tak terhitung berapa kali ke sini. Kalau gabut ke sini. Tempatnya sejuk, nyaman, banyak pohon mangrove. Kami bisa foto-foto, lihat sunset. Ya, lumayan, lupakan masalah sejenaklah,” ucap Winarti (19), warga dari Desa Segeran, Juntinyuat, yang datang bersama dua temannya.
Pengunjung berfoto di jembatan Pantai Rembat di Desa Juntinyuat, Kecamatan Juntinyuat, Kabupaten Indramayu, Jawa Barat, Senin (30/10/2023) sore.
Beberapa tahun lalu, mustahil menemukan suasana seperti itu di Pantai Rembat. Bahkan, belum banyak yang mengenal kawasan itu. Pesisir Juntinyuat terkikis abrasi selama bertahun-tahun. Daratan perlahan hilang, tersapu gelombang. Sampah plastik hingga bekas popok dibuang di sana.
”Dulu, itu sawah sampai dua petak,” ucap Tarnisih (42), salah seorang penjaga warung di Pantai Rembat sambil menunjuk area laut, sekitar 30 meter dari kiosnya. Belasan tahun lalu, katanya, air laut belum sedekat sekarang. Namun, abrasi telah menyapu daratan, termasuk areal pertanian.
”Orang sini bilang, sawahnya dilelang Kaji (Haji) Asin. (Haji Asin) itu maksudnya laut. Jadi, warga enggak bisa minta ganti rugi. Kan, laut yang ambil sawahnya,” ujarnya diiringi senyum. Laju abrasi bahkan mengancam pipa milik PT Pertamina (Persero) di kawasan itu.
Namun, perubahan terjadi saat Pemdes Juntinyuat mengalokasikan Rp 144 juta dana desa untuk mengembangkan Pantai Rembat tahun 2019. Fasilitas wisata, seperti jembatan, saung, toilet, dan spot foto, dibangun. Selama 40 hari dibuka, penghasilan dari tiket sudah Rp 132 juta.
Sayangnya, pertengahan 2020, gelombang tinggi memorak-porandakan pantai. Jembatan hingga warung warga rusak parah. Tanaman mangrove juga hilang. Kondisi lebih buruk karena saat itu pandemi Covid-19. Mobilitas warga terbatas, terutama wisatawan. Pantai Rembat pun mati suri.
Hingga pada 2022, PT Pertamina Gas Operation West Java Area (OWJA) ikut mengembangkan Pantai Rembat. Melalui tanggung jawab sosial perusahaan, Pertagas OWJA membangun kembali fasilitas wisata yang rusak dan berupaya mencegah laju abrasi.
Salah satunya dengan memasang geotextile tube atau geotube sepanjang 240 meter serta batu pengaman di depan warung. Geotube adalah produk geosintetik yang dibentuk seperti karung dan berisi material, seperti kerikil. Geotube ini seperti tanggul yang melindungi garis pantai.
”Setelah Pantai Rembat diperbaiki, saya dapat kerja untuk jaga warung milik warga di sini. Sekarang, air enggak sampai sini karena sudah ada penghalangnya,” ujar Tarnisih. Baginya, revitalisasi itu tidak hanya melindungi pantai, tetapi juga menjaga perekonomian keluarganya.
”Alhamdulillah, saya dapat Rp 50.000 per hari. Kalau ramai, bisa Rp 130.000 sehari. Lumayan untuk bantu anak yang SMA (sekolah menengah atas),” ucap Tarnisih yang bekerja enam hari dalam sepekan. Apalagi, suaminya yang buruh serabutan penghasilannya tidak menentu.
Bagi ibu satu anak ini, menjaga warung dua tahun terakhir di Pantai Rembat lebih baik dibandingkan merantau ke luar negeri. Tarnisih pernah menjadi pekerja migran di Timur Tengah pada 1999 hingga 2010. Meski gajinya lumayan, ia harus berpisah dengan keluarganya.
Pekerjaannya kala itu juga cukup berat karena harus menjaga anak majikan sekaligus membersihkan rumah. ”Enakan di sini, enggak terlalu capek. Saya bisa kerja sambil memantau anak yang sudah besar,” ucap Tarnisih sembari berbaring dan menikmati embusan angin laut.
Sadar bencana
Tarnisih tidak sendiri. Terdapat sekitar 12 warung yang menjadi peluang usaha bagi warga di Pantai Rembat. Sebagian besar dijaga oleh purnamigran Indonesia. Pemdes juga membuat aturan, hanya warga Desa Juntinyuat yang boleh berjualan di kawasan itu.
Tidak hanya ibu-ibu, anak muda juga mulai diberdayakan. ”Pengelola di sini ada 18 orang. Setengahnya anak muda. Kami membagi tugas di loket, parkir, penjaga pantai, dan maintenance (perawatan),” ujar Sekretaris Pengelola Pantai Rembat, Wahyu Harjo (20).
Ini belum termasuk pelibatan warga yang menyewakan sepeda, ojek, atau sepeda motor roda tiga. Maklum, jalur ke Pantai Rembat tidak bisa dilalui kendaraan roda empat karena melewati jalan kecil di pinggir sawah. Biaya sewa sepeda listrik Rp 5.000 per orang.
Setiap hari, ratusan orang berkunjung ke Rembat dan jumlahnya bisa mencapai 3.000 orang di akhir pekan. Dengan tarif tiket masuk Rp 10.000 per sepeda motor, pihaknya sudah berkontribusi untuk pendapatan asli desa. ”Rata-rata per bulan, kami masukkan Rp 1,5 juta ke desa,” ucapnya.
Tidak hanya soal ekonomi, kehadiran Pantai Rembat juga merupakan upaya merawat bumi. Setelah direvitalisasi oleh Pertagas, Rembat mengusung tema edukasi bencana abrasi. Di sana, terpampang papan informasi metode pencegahan gelombang laut dan pelestarian mangrove.
Setelah revitalisasi pantai, kami juga dapat pelatihan soal promosi wisata. Tapi, masih ada yang butuh diperbaiki, terutama cara menyambut pengunjung.
Terdapat pula kota akuarium yang menjadi miniatur upaya perlindungan abrasi dengan metode breakwater dan mangrove. Sayangnya, siang itu, miniaturnya tidak berisi air. Pertagas, pengelola wisata, pemdes, dan sejumlah sekolah di Juntinyuat juga telah menanam bibit mangrove.
Edukasi terkait gelombang dan abrasi ini penting karena dari Kajian Risiko Bencana Kabupaten Indramayu 2019-2023, ancaman abrasi di Indramayu tergolong tinggi. Dokumen itu mencatat abrasi di pesisir selama ini telah memaksa 684 orang mengungsi dan merusak 200 rumah.
Sebanyak 15.694 warga, termasuk 10.339 orang miskin, rentan terdampak abrasi. Lahan seluas 2.396 hektar pun terancam abrasi. Sekitar 213 hektar di antaranya berada di Juntinyuat. Abrasi di kecamatan ini juga tergolong tinggi. Namun, belum banyak warga yang sadar akan bencana ini.
”Dulu, saya ke sini (Pantai Rembat) kalau mau liburan lihat pantai saja. Tapi, kok pantainya semakin ke sini ya (daratan). Oh, sekarang saya paham, ini ada yang rusak,” ungkap Wahyu. Ia pun bersemangat menjaga Rembat dengan menanam mangrove.
Berkat aktif di pengelolaan Pantai Rembat, mahasiswa Fakultas Ekonomi Universitas Wiralodra ini terpilih menjadi Nang Indramayu 2023. Nang merupakan penghargaan untuk anak muda yang dinilai aktif mempromosikan pariwisata dan budaya Indramayu, seperti Abang-None di Jakarta.
”Itu bonus saja setelah ikut mengelola Pantai Rembat. Setelah revitalisasi pantai, kami juga dapat pelatihan soal promosi wisata. Tapi, masih ada yang butuh diperbaiki, terutama cara menyambut pengunjung,” ungkapnya.
Leilul Febrianti, Tedi Abadi Yanto, dan Yedo Kurniawan juga mencatat dampak revitalisasi Rembat dalam artikelnya berjudul ”Pengembangan Model Wisata Edukasi Kebencanaan di Objek Wisata Pantai Rembat Indramayu”. Tulisan itu terbit di Envibility: Journal of Environmental and Sustainability Studies Volume 1 No 2 (2023).
Dalam jurnal itu, penulis yang berasal dari PT Pertagas OWJA mencatat pengembangan edukasi wisata membuat Pantai Rembat punya ciri khas untuk menarik wisatawan. Pengunjung pun bertambah 12 persen. Empat sekolah di Juntinyuat juga belajar tentang abrasi di pantai itu.
Baca juga: Tanam Mangrove Tolak Abrasi
Sekretaris Desa Juntinyuat Rendi Yudistira mengatakan, garis pantai sepanjang 4,5 kilometer menjadi potensi wisata di desanya. Pihaknya pun akan mengembangkan pantai lainnya, seperti Ketapang. ”Kalau jadi destinasi wisata, masyarakat juga ikut menjaga daerah itu,” ucapnya.
Pantai Rembat telah merekam ganasnya abrasi di pesisir Indramayu. Namun, pantai itu juga menjadi bukti bahwa pengembangan wisata bisa memberdayakan warga serta membangun kesadaran untuk menahan laju abrasi.