Antusiasme Generasi Muda Bangkitkan Tradisi Menulis Aksara Ulu di Sumsel
Generasi muda di Sumsel antusias belajar mengenai aksara Ulu. Pemerintah diharapkan mengambil kebijakan untuk menjaga eksistensi aksara yang terancam punah itu.
Oleh
ADRIAN FAJRIANSYAH
·5 menit baca
PALEMBANG, KOMPAS — Antusiasme generasi muda Sumatera Selatan untuk mengenal budaya lokal warisan leluhur menjadi asa bangkitnya tradisi menulis aksara Ulu, aksara lokal yang berkembang di pedalaman Sumsel. Fenomena itu diharapkan bisa disambut oleh pemerintah daerah agar tradisi menulis aksara Ulu yang nyaris punah tidak hilang ditelan zaman.
Antusiasme itu tampak dalam penyelenggaraan workshop ”Merawat Aksara Ulu Sumatera Selatan” yang diselenggarakan komunitas Palembang Good Guide dengan dukungan Balai Pelestarian Kebudayaan Wilayah VI Sumsel di Perpustakaan Daerah Sumsel, Palembang, Selasa (31/10/2023).
Ketua panitia workshop itu, Riski Aginia Hafizha, mengatakan, acara tersebut terinspirasi dari sejumlah kegiatan budaya, termasuk aktivitas belajar aksara Jawa di Yogyakarta. Dia menyebut, antusiasme anak muda Sumsel untuk mengenal dan belajar aksara Ulu ternyata sangat tinggi.
Hal ini tampak dari jumlah peserta workshop tersebut yang mencapai 100 orang. Padahal, panitia sebenarnya hanya menargetkan 80 peserta. Sebagian besar peserta adalah mahasiswa dari Universitas Islam Negeri (UIN) Raden Fatah dan Universitas Sriwijaya (Unsri) serta beberapa guru sekolah di Palembang. Para peserta mendaftar dalam seminggu terakhir tanpa dipungut biaya.
”Selama sekolah dan kuliah di sini (Palembang), saya bertanya-tanya apakah ada aksara lokal di Sumsel seperti di Jawa. Itu terjawab saat kami membawa peserta tur ke Museum Sriwijaya (Taman Purbakala Kerajaan Sriwijaya). Di sana, untuk pertama kali, saya melihat ada aksara Kaganga (nama lain aksara Ulu). Maka itu, kami terinspirasi untuk lebih mengenal dan memperkenalkannya lewat acara ini,” ujar Riski.
Acara tersebut diisi dengan diskusi dan belajar menulis aksara Ulu. Para peserta pun tampak serius mengikuti rangkaian kegiatan yang berlangsung dari sekitar pukul 09.00 hingga 14.00 itu.
Sebagian besar peserta mengaku sudah cukup lama tahu ihwal aksara Ulu. Hanya saja, selama ini, mereka tidak tahu bagaimana cara membaca dan menulis aksara tersebut. Oleh karena itu, mereka menyambut positif penyelenggaraan acara tersebut.
Salah seorang peserta, Eugene Lakilaki (22), mengaku mengenal aksara Ulu sejak SMP dari papan nama jalan di Kota Pagaralam, Sumsel. Papan nama itu menggunakan aksara Latin sekaligus aksara Ulu.
”Awalnya, saya menganggap itu tidak ada maknanya. Belakangan, setelah saya mencari tahu di internet, ternyata aksara itu khas Sumsel dan tidak banyak daerah punya aksara lokal seperti itu. Tapi, kesempatan untuk belajar langsung aksara Ulu baru saya dapatkan di acara ini,” kata mahasiswa Jurusan Akuntansi Universitas Sriwijaya itu.
Seusai mengikuti acara itu, Eugene mengaku semakin tertarik untuk memperdalam aksara Ulu. Selain untuk ikut berkontribusi membangkitkan kembali tradisi menulis aksara Ulu, dia pun tertarik untuk membaca sejumlah naskah kuno dengan aksara Ulu yang banyak terdapat di kampung halamanya di Kabupaten Lahat, Sumsel.
”Di Sumsel, banyak sekali temuan naskah kuno ataupun prasasti dengan aksara Ulu. Tapi, kita tidak bisa mengetahui isinya tanpa memahami cara membaca aksara tersebut,” ujarnya.
Mudah dipelajari
Pendiri Perkumpulan Pecinta Aksara Ulu, Nuzulur Ramadhona, mengatakan, aksara Ulu tergolong sangat mudah untuk dipelajari. Bahkan, sebelum memberikan pelatihan, pria yang akrab dipanggil Dhona itu mengklaim peserta bisa menulis aksara Ulu hanya dalam 15 menit.
Agar bisa lancar menulis aksara Ulu, peserta harus mengenal lebih dahulu 19 huruf dasar dari total 28 huruf yang ada. Setelah itu, para peserta diajak memahami pemakaian tanda baca yang mengubah bunyi vokal huruf-huruf tersebut.
Ternyata, klaim itu betul terwujud. Tak sampai 15 menit, sebagian peserta sudah bisa menuliskan namanya sendiri dengan menggunakan aksara Ulu. Saat diminta menuliskan namanya dengan aksara Ulu di depan forum, para peserta itu tak sungkan-sungkan untuk maju mempertontonkan kemahiran yang baru dipelajarinya.
Sekarang, komunitas yang ingin mengenal aksara Ulu sudah tumbuh. Tinggal pemerintah yang harus menyambutnya dengan kebijakan untuk memperkuat eksistensi aksara Ulu.
”Aksara Ulu memiliki kesamaan dengan aksara Rejang (Bengkulu) dan Komering. Namun, karena aksara Ulu menjadi dasar dari banyak varian aksara di Sumatera bagian selatan, hal itu memudahkan orang yang menguasai aksara Ulu untuk belajar aksara lain yang sejenis,” ujar Dhona.
Namun, dia menyebut, orang-orang yang lebih dahulu memahami aksara Rejang dan Komering, yang notabene varian dari aksara Ulu, biasanya sulit untuk memahami aksara Ulu.
Ahmad Rapanie Igama, perintis penelitian aksara Ulu sekaligus Pustakawan Ahli Madya Perpustakaan Daerah Sumsel, menyampaikan, aksara Ulu adalah turunan dari aksara Pallawa yang digunakan sejak era Kerajaan Sriwijaya, khususnya di Sumsel.
Aksara Ulu digunakan oleh orang-orang yang berada di pedalaman Sumsel dengan varian berbeda-beda, menyesuaikan kearifan lokal masing-masing, terutama dalam penggunaan media tulisnya.
Aksara Ulu dianggap lambang tingginya budaya literasi masyarakat Sumsel di masa lampau. Sebagian besar aksara Ulu yang ditemukan ditulis pada tanduk kerbau, kulit kayu (kaghas), bilah bambu (gelumpay), gelondongan bambu (surat boloh), dan kertas.
Isinya berkaitan dengan kehidupan sehari-hari masyarakat setempat, seperti mengenai waktu turun ke ladang, strategi perang, pengobatan, perjanjian, peristiwa penting, dan belakangan tentang ajaran Islam.
”Tidak tahu pasti kapan aksara Ulu mulai digunakan masyarakat, khususnya di Sumsel. Tapi, peneliti asal Inggris, William Marsden, mencatat tentang aksara Ulu kurang lebih pada tahun 1782. Saat Marsden mencatatnya, aksara Ulu pasti sudah digunakan lebih lama dari itu,” tutur Rapanie yang mantan dosen UIN Raden Fatah.
Tergerus aksara Latin
Akan tetapi, Rapanie menyebut, penggunaan aksara Ulu tergerus akibat masuknya aksara Latin yang dibawa oleh penjajah. Bahkan, aksara Ulu sempat berada di ambang kepunahan. Namun, selama beberapa waktu terakhir, penelitian tentang aksara Ulu kembali marak, terutama yang dilakukan Rapanie bersama Dhona yang merupakan mantan mahasiswanya.
Rapanie menilai, saat dirinya pertama kali meneliti aksara Ulu beberapa tahun lalu, tidak banyak orang yang memahami aksara tersebut. Oleh karena itu, dia butuh usaha ekstra untuk mencari orang-orang di pedalaman yang masih mengenal aksara tersebut.
Namun, saat ini, ada lebih banyak orang yang memahami aksara Ulu. Hal ini karena ada banyak penelitian soal aksara Ulu, termasuk bagaimana cara membaca dan menulisnya.
Kondisi itu juga disokong oleh tumbuhnya sejumlah komunitas anak muda yang tertarik mengenal dan memperkenalkan aksara Ulu, seperti Perkumpulan Pecinta Aksara Ulu yang digagas Dhona sejak 2018.
”Sekarang, komunitas yang ingin mengenal aksara Ulu sudah tumbuh. Tinggal pemerintah yang harus menyambutnya dengan kebijakan untuk memperkuat eksistensi aksara Ulu, misalnya dengan mengakomodasi pembelajaran aksara Ulu di sekolah dan perguruan tinggi. Jangan sampai aksara Ulu punah karena sesungguhnya tidak banyak daerah yang punya aksara asli seperti di Sumsel,” tutur Rapanie.