Polres Muara Enim Bongkar Tambang Batubara Ilegal Seluas 30 Hektar
Polres Muara Enim membongkar aktivitas pertambangan batubara ilegal seluas 30 hektar. Aktivitas itu sangat meresahkan karena menimbulkan kerusakan lingkungan yang parah.
PALEMBANG, KOMPAS – Kepolisian Resor Muara Enim, Sumatera Selatan, membongkar tambang batubara ilegal seluas 30 hektar, Sabtu (28/10/2023). Praktik tambang batubara itu sangat meresahkan masyarakat karena menimbulkan dampak kerusakan lingkungan yang parah.
Tambang batubara ilegal tersebut berlokasi di kawasan perbatasan Desa Tanjung Lalang dan Desa Penyandingan, Kecamatan Tanjung Agung, Kabupaten Muara Enim.
”Luas wilayah yang diungkap 30 hektar. Dari informasi salah satu tersangka, tambang itu sudah beroperasi lebih kurang sejak 2019,” ujar Kepala Polres Muara Enim Ajun Komisaris Besar Andi Supriadi saat dihubungi dari Palembang, Minggu (29/10/2023).
Menurut Andi, lokasi tambang itu dimiliki tiga warga, yakni Endang, Yunita Asnidar, dan Mahendra. Ketiganya merupakan warga Desa Tanjung Lalang.
Andi menyebutkan, lokasi tambang itu ditutup dengan seng atau tembok tinggi sehingga tidak terlihat dari jalan. ”Tidak mudah untuk menembus lokasi tersebut. Selain aksesnya yang sulit, informasi rencana pengungkapan juga rawan bocor,” katanya.
Oleh karena itu, pengungkapan kasus tersebut melibatkan personel kepolisian yang cukup banyak, yakni 202 orang. Mereka terdiri dari 158 personel Polres Muara Enim serta 44 personel Batalyon D Pelopor Satbrimob Polda Sumatera Selatan. Pengungkapan itu dimulai pada Sabtu sekitar pukul 14.00 dan berakhir sekitar pukul 23.00.
”Tantangannya besar sekali karena biasanya kita melakukan tindakan di hilir dengan penegakan kepada truk-truk pembawa batubara. Kali ini, tindakannya di hulu di area tambang ilegalnya. Apalagi ini pengungkapan cukup besar (di area tambang), bahkan terbesar sejauh ini,” tutur Andi.
Baca juga: Aktivitas Tambang Batubara Ilegal di Sumsel Masih Marak
Dari pengungkapan itu, Polres Muara Enim mengamankan 30 orang, termasuk seseorang yang diduga pemilik tambang. Selain itu, ada 2 operator alat berat, 5 orang pencatat keluar-masuk kendaraan tambang, 7 asisten operator alat berat, 4 sopir truk, 1 petambang, dan 4 kuli panggul.
Polisi juga mengamankan seorang sopir kendaraan calon pembeli, 3 calon pembeli, dan 2 orang yang sedang berada di lokasi itu. Diamankan pula sejumlah barang bukti, antara lain 7 unit alat berat, 3 sepeda motor tanpa nomor polisi, 1 mobil Land Cruiser, batubara sebanyak 20-30 ton, 10 buku catatan aktivitas pertambangan, 4 truk, dan 1 mobil pikap.
Seusai pemeriksaan, 16 orang ditetapkan sebagai tersangka. Sepuluh orang lain masih diperiksa karena belum ada bukti, sedangkan empat orang tidak terlibat, tetapi positif menggunakan narkoba.
”Para tersangka diduga melanggar Pasal 158 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara,” ujar Andi.
Timbulkan kerusakan
Andi memaparkan, keberadaan tambang ilegal itu membuat wilayah sekitar menjadi rusak dan tandus. Hal ini karena tambang tersebut dikelola dengan buruk dan tidak ada reklamasi setelah penambangan dilakukan.
Andi menambahkan, di wilayah tersebut banyak bekas lubang tambang yang menganga karena dibiarkan begitu saja sehabis ditambang. Apabila musim hujan, lubang-lubang itu menjadi kolam yang dalam serta rawan longsor dan banjir.
”Kalau kemarau, lokasi itu menyebarkan debu yang masuk ke permukiman atau rumah-rumah penduduk di sekitar,” katanya.
Baca juga: Reklamasi Harus Jadi Bagian Perencanaan Perusahaan Tambang
Andi mengatakan, tambang batubara ilegal telah menjadi permasalahan sosial yang tak kunjung selesai di Muara Enim. Selama ini, para petambang ilegal itu beraksi secara kucing-kucingan. Namun, saat ini, mereka mulai menggunakan alat berat.
Padahal, penggunaan alat berat bisa memicu dampak kerusakan lingkungan yang lebih besar. Bahkan, lokasi tambang yang mereka gali tidak jauh di antara dua menara saluran udara tegangan ekstra tinggi (SUTET). ”Kalau terus dibiarkan, lokasi di sekitar SUTET itu akan tergerus dan SUTET itu bisa ambruk,” ucap Andi.
Akan tetapi, karena potensi gesekan sosialnya cukup besar, Polres Muara Enim melakukan penegakan hukum dengan lebih hati-hati dalam beberapa bulan terakhir. Polisi mengambil momentum saat harga batubara anjlok sehingga masyarakat yang terlibat sebagai kuli panggul jauh berkurang.
Baca juga: Teknologi Tambang Batubara Hasilkan Efisiensi dan Peningkatan Produksi
”Masyarakat lokal sebagian mendukung kegiatan itu (tambang ilegal) karena berkaitan dengan mata pencarian. Hal itu yang membuat rawan sekali terjadi konflik sosial kalau dilakukan pengungkapan. Tapi, dengan anjloknya harga batubara sekarang, masyarakat yang menjadi kuli panggul jauh berkurang,” papar Andi.
Dia menyebutkan, penggunaan alat berat juga membuat keberadaan kuli panggul menjadi seolah terpinggirkan. Dengan mengkaji beberapa kondisi itu, Polres Muara Enim akhirnya melakukan penindakan. ”Kami mengkaji betul semuanya, hingga akhirnya memutuskan masuk ke dalam dan berjalan kondusif,” ujar Andi.
Perlu diberdayakan
Andi menuturkan, potensi munculnya tambang batubara ilegal di Muara Enim masih ada karena berkaitan dengan pendapatan masyarakat. Padahal, sebenarnya masyarakat hanya memperoleh pendapatan kecil dari tambang ilegal tersebut.
Hal itu karena sebagian besar masyarakat hanya berstatus sebagai kuli panggul dengan upah Rp 1.000 per karung dengan bobot 40 kilogram. Pendapatan rata-rata kuli itu berkisar Rp 200.000 per pekan.
Oleh karena itu, Andi berharap instansi terkait, terutama dari pemerintah daerah dan perusahaan batubara PT Bukit Asam (PTBA), bisa ikut memberdayakan masyarakat di sekitar lokasi yang berpotensi terjadi pertambangan ilegal. Hal itu agar masyarakat tidak lagi bersentuhan dengan aktivitas tambang ilegal dan memperoleh penghasilan yang jauh lebih baik.
”Sebenarnya, pemerintah daerah dan PTBA sudah berusaha memberdayakan masyarakat dengan pembibitan ikan dan pembuatan dedak dari limbah kepala sawit. Tetapi, stigma atau pola pikir masyarakatnya belum berubah,” ucap Andi.
Direktur Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Sumsel Yuliusman menyampaikan, pengungkapan praktik tambang batubara ilegal itu jangan hanya berhenti di level masyarakat, terutama para pekerja lapangan.
Yuliusman pun tidak yakin pertambangan ilegal itu hanya dikelola oleh masyarakat. Apalagi, di lokasi itu terdapat sejumlah alat berat sehingga bukan tidak mungkin ada pemodal besar di balik pertambangan tersebut.
Oleh karena itu, Walhi Sumsel mendorong pihak berwajib memastikan betul siapa pemilik pertambangan tersebut. ”Kalaulah itu murni milik masyarakat, mesti didorong dari ilegal menjadi legal. Kalau ternyata milik pemodal dari luar, itu yang harus diterbitkan agar masyarakat dan pemerintah tidak dirugikan," ujar Yuliusman.
Masyarakat lokal sebagian mendukung kegiatan itu (tambang ilegal) karena berkaitan dengan mata pencarian.
Ia menambahkan, selama ini, masyarakat tidak bisa menjalankan aktivitas pertambangan tanpa ada pemodal di belakangnya. Oleh karena itu, polisi mesti menindak investor tambang ilegal tersebut.
”Pemain-pemain di belakang masyarakat itu yang harus diterbitkan. Jangan sampai masyarakat dikorbankan, bahkan hingga masuk ke ranah pidana. Yang harus bertanggung jawab adalah pemodalnya. Tindakan tegas mesti dilakukan secara proporsional dan profesional,” tutur Yuliusman.