Aktivitas Tambang Batubara Ilegal di Sumsel Masih Marak
Polda Sumsel menangkap enam tersangka pengangkut batubara ilegal di kawasan Baturaja, Kabupaten Ogan Komering Ulu, Sumsel. Ini menandakan aktivitas tambang ilegal masih marak.
Oleh
RHAMA PURNA JATI
·3 menit baca
KOMPAS/RHAMA PURNA JATI
Direktur Reserse Kriminal Khusus Kepolisian Daerah Sumatera Selatan Komisaris Besar Agung Marlianto mengungkap pengangkutan batubara ilegal dari Kabupaten Muara Enim, Sumsel, ke Lampung, Senin (20/2/2023), di Palembang. Aktivitas ini masih marak berlangsung karena adanya pasar.
PALEMBANG, KOMPAS — Polda Sumatera Selatan menangkap enam tersangka pengangkut batubara ilegal di kawasan Baturaja, Kabupaten Ogan Komering Ulu, Sumsel. Ini menandakan aktivitas pertambangan batubara ilegal di Sumsel masih marak. Masih adanya pasar menjadi pemicu aktivitas ini masih berlangsung.
Direktorat Reserse Kriminal Khusus Polda Sumsel menangkap enam pengangkut batubara ilegal dari kawasan Tanjung Enim, Kabupaten Muara Enim, yang akan diantar ke Lampung.
Keenam tersangka itu adalah EB, RK, AY, HB, HS, dan FS. Selain menahan keenam tersangka, polisi juga menyita sejumlah barang bukti, seperti empat unit truk pengangkut batubara termasuk 98 ton batubara yang diangkut.
Direktur Reserse Kriminal Khusus Polda Sumsel Komisaris Besar Agung Marlianto, Senin (20/2/2023), di Palembang, mengatakan, keenam orang ini ditangkap di kawasan Baturaja, Kabupaten Ogan Komering Ulu, ketika sedang mengangkut batubara dari Tanjung Enim ke Lampung.
”Semua pengemudi dan kenek merupakan warga Lampung yang memang sedang diminta untuk mengambil batubara di Sumsel,” ujar Agung.
Di dalam satu kendaraan, diangkut sekitar 12 ton-30 ton batubara. Namun, batubara tersebut ternyata ilegal karena mereka tidak bisa menunjukkan dokumen resmi.
Batubara ini diangkut berasal dari pertambangan ilegal (tambang rakyat) yang memang sudah lama beroperasi.
Dalam pengakuannya, para tersangka baru pertama kali mengangkut batubara ilegal ini, tetapi beberapa tersangka ada yang mengaku sudah lima kali menjadi pengangkut batubara ilegal.
Tim Penegakan Hukum Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) mendatangi lokasi penambangan dan penimbunan batubara ilegal di Taman Hutan Rakyat (Tahura) Bukit Soeharto, Kutai Kartanegara, Kaltim, Senin (30/7/2018). Hutan berstatus tahura mestinya bebas dari perambahan, termasuk penambangan.
”Batubara ini diangkut berasal dari pertambangan ilegal (tambang rakyat) yang memang sudah lama beroperasi,” ujarnya.
EB, salah satu tersangka, mengaku hanya mendapat telepon dari pemilik kendaraan untuk mengambil batubara di Tanjung Enim dan membawanya ke Lampung. Dirinya tergiur untuk mengangkut batubara ilegal karena mendapatkan upah Rp 3,5 juta-Rp 5 juta untuk setiap kali angkut.
”Saya juga tidak tahu kalau yang diambil ini adalah batubara ilegal,” ujarnya. Mendapat hukuman ini, dia berjanji akan lebih waspada ketika ada tawaran untuk mengangkut barang. ”Saya harus pastikan bahwa barang yang dibawa benar-benar legal,” ujar EB.
Atas perbuatannya, ujar Agung, keenam tersangka dijerat dengan Pasal 161 Undang-Undang Minerba dengan ancaman hukuman penjara maksimal 5 tahun dan denda sekitar Rp 100 miliar.
Saat ini, ungkap Agung, pihaknya sedang memburu pemilik tambang yang sudah diketahui identitasnya. ”Jika mereka tidak mau berhenti melakukan aktivitas ini, tentu akan kami tangkap,” katanya menegaskan.
Sebuah truk tengah menurunkan batubara di kawasan PT Bukit Asam di Kecamatan Tanjung Enim, Kabupaten Muara Enim, Sumatera Selatan, Selasa (16/11/2021). BUMN ini menargetkan produksi hingga 30 juta ton sampai akhir tahun 2021.
Dengan terungkapnya kasus ini, Agung berharap aktivitas tambang batubara ilegal dari hulu hingga hilir bisa dihentikan. ”Kami juga akan berkoordinasi dengan Polda Lampung untuk memutus pasar batubara ini. Jika tidak ada pasarnya, diharapkan aktivitas di hulu bisa hilang secara bertahap,” ujarnya.
Menurut dia, aktivitas ini sangat berbahaya karena bisa saja mengancam nyawa para petambang. Pada Rabu (21/10/2020), 11 orang tewas tertimbun tanah longsor di kawasan tambang batubara ilegal di Desa Tanjung Lalang, Kecamatan Tanjung Agung, Kabupaten Muara Enim, Sumatera Selatan (Kompas, 22 Oktober 2020).
Masih ada pasar Koordinator Perkumpulan Sumsel Bersih Boni Bangun menyangsikan aktivitas penambangan batubara ilegal di Sumsel bisa dihilangkan karena masih adanya pasar. Dari hasil penelusurannya, pemesan batubara ilegal cukup banyak terutama industri rumahan.
Tidak hanya di Lampung, batubara ilegal juga digunakan di beberapa industri lain yang beroperasi di Palembang, Banten, Bogor, hingga Bandung.
Pemicu utamanya adalah selisih harga antara batubara ilegal dan resmi cukup tinggi. Berdasarkan harga acuan dari Kementerian ESDM per Desember 2022, harga batubara sekitar 281,48 dollar AS per ton. Dengan kata lain, harga batubara sekitar Rp 4.200 per kg. Sementara harga batubara ilegal bisa lebih murah hingga 50 persen.
KOMPAS/JUMARTO YULIANUS
Truk pengangkut batubara PT Adaro Indonesia, anak perusahaan PT Adaro Energy Tbk, melintasi jalan hauling perusahaan di wilayah Kabupaten Tabalong, Kalimantan Selatan, Rabu (18/2/2015). Meski pasaran batubara sedang lesu, PT Adaro Indonesia menargetkan produksi batubara pada 2015 sebesar 57 juta ton atau meningkat sekitar 2 juta ton dari produksi tahun 2014.
Selisih harga inilah yang membuat batubara ilegal masih memiliki pasar. Beberapa industri rumahan yang kerap menggunakan batubara ilegal seperti peternakan ayam, pabrik pembuat kardus, dan beberapa industri rumahan lainnya. ”Batubara ini biasanya digunakan untuk menghidupkan berbagai macam peralatan,” ujar Boni.