Ada Bau Rekayasa di Balik Vonis Kakak Korban Pemerkosaan di Baubau
Meski korban konsisten tidak sebut nama kakaknya, sebagai pelaku pemerkosaan, hakim tetap jatuhi vonis bersalah kepada sang kakak, AP. Hakim akan dilaporkan hakim ke KY karena vonis sarat rekayasa.
Oleh
SAIFUL RIJAL YUNUS
·4 menit baca
KENDARI, KOMPAS — Kasus kekerasan seksual dua bersaudara di Baubau, Sulawesi Tenggara, memasuki tahap vonis. Majelis hakim tetapkan kakak korban sebagai pelaku, padahal kedua korban konsisten menyebut pelakunya orang lain. Putusan ini dianggap tidak berperspektif korban dan sarat rekayasa sedari awal.
”Untuk perkara Nomor 72, dengan terdakwa AP, telah diputus dan menyatakan terdakwa secara sah dan meyakinkan terbukti melakukan tindak pidana. Terdakwa dipidana dengan hukuman 7 tahun penjara dan denda Rp 100 juta,” kata Rinding Sambara, juru bicara PN Baubau yang juga anggota majelis hakim, Jumat (27/10/2023) malam.
Majelis hakim dipimpin Hakim Ketua Wa Ode Sangia, serta anggota Rinding Sambara dan Rachmat SHI Lahasan. Sidang itu dimulai pukul 16.30 Wita, dan berlangsung selama dua jam. Sidang awalnya direncanakan pada Kamis (26/10/2023), tetapi tiba-tiba ditunda.
Terkait keputusan hakim, Rinding menolak membeberkan lebih lanjut. Sebagai hakim, ia menyebut tidak boleh mengomentari putusan lebih lanjut. ”Silakan dilihat putusannya. Di situ sudah jelas semua,” katanya.
Kami akan pelajari dulu, apakah ada kesalahan dalam pertimbangan, atau sesuatu yang berhubungan dengan kode etik. Kalau ada temuan, tentunya akan dilakukan eksaminasi.
Kuasa hukum terdakwa Aqidatul Awwami pada Sabtu (28/10/2023) menjabarkan, putusan hakim ini sangat mengecewakan dan tidak berperspektif korban. Sebab, keterangan korban tidak pernah diperhitungkan sebagai fakta persidangan.
Sejak awal, korban konsisten dengan keterangan kakak mereka bukan pelaku pemerkosaan. Menurut korban, pelaku adalah sejumlah orang lain yang telah dijelaskan sejak di kepolisian hingga di persidangan.
Akan tetapi, keterangan ini dikesampingkan. Hakim malah mempertimbangkan sejumlah hal lain yang menguntungkan jaksa. ”Terus terang kami kecewa dengan putusan ini. Kami nyatakan banding, dan akan melaporkan hakim ke Komisi Yudisial. Sebab, putusan ini tidak melindungi korban. Lalu siapa yang mau dilindungi? Pelaku yang disebutkan korban masih bebas berkeliaran,” jelasnya.
Kasus kekerasan seksual ini diketahui akhir Desember 2022 lalu di Baubau. Ibu korban, S, mengetahui kejadian itu 28 Desember 2022 malam setelah anak bungsunya mengaku sakit di kemaluan saat buang air kecil. Saat ia memeriksa, kemaluannya rusak. Beberapa hari kemudian, anak keduanya juga mengaku telah alami kekerasan seksual. Ia lalu melaporkan kasus ini ke Polres Baubau.
Berselang satu bulan setelah melaporkan, sebuah kabar buruk kembali menimpanya. Anak pertamanya, AP, ditetapkan oleh Polres Baubau sebagai tersangka pencabulan dua adiknya dan langsung ditahan. Anak tertuanya tersebut memang sebelumnya dipanggil oleh polisi untuk dimintai ketarangan.
Menurut Aqidah, kasus ini telah keliru sejak awal ditangani di kepolisian. Mulai dari pemanggilan, pemeriksaan, hingga proses penyidikan dan ditetapkannya tersangka. Ia menganggap apa yang dilakukan kepolisian merupakan langkah yang ugal-ugalan dan menyalahgunakan kewenangan.
Kasus ini juga kuat dugaan sarat rekayasa. Sebab, kakak korban dipaksa mengaku sebagai pelaku pencabulan kedua adiknya. Terdakwa AP diintimidasi, diancam ditembak, dan dipukuli menggunakan gantungan baju oleh polisi agar mengakui perbuatan tersebut.
Hal ini lantas berlanjut hingga pelimpahan di kejaksaan, dan persidangan. Padahal, di hadapan majelis hakim, AP menangis sambil bercerita apabila ia mendapat intimidasi dan diancam ditembak sehingga harus terpaksa mengaku sebagai pelaku asusila.
Selama proses persidangan, kata Aqidah, juga tidak ditemukan adanya alat bukti yang mengarah kepada terdakwa AP.
”Ini yang menurut kami terjadi perselingkungan kekuasaan, dan auranya sangat terasa. Yang kami sesalkan, sejak awal UU Tindak Pidana Kejahatan Seksual (TPKS) tidak menjadi pertimbangan hukum sama sekali. Lalu, untuk apa ada aturan tersebut ketika di bawah tidak dijalankan?” tanya Aqida. Setelah sidang berlangsung, Ibu korban yang juga ibu terdakwa tidak mampu menahan haru. Ia bahkan pingsan dan dibawa ke rumah sakit.
Koordinator Komisi Yudisial Perwakilan Sultra Hariman Satria mengungkapkan, pihaknya memberi perhatian penuh terhadap kasus ini. Oleh karena itu, ia akan mempelajari putusan kasus ini secara lengkap untuk mengambil langkah lanjutan ke depannya.
”Kami akan pelajari dulu, apakah ada kesalahan dalam pertimbangan, atau sesuatu yang berhubungan dengan kode etik. Kalau ada temuan, tentunya akan dilakukan eksaminasi,” tambahnya.
Eksaminasi, Hariman melanjutkan, terkait sejumlah hal utama. Mulai dari posisi kasus yang ditangani, dakwaan, pembuktian alat bukti, pertimbangan hukum, hingga bagaimana amar putusan. Setiap bagian itu akan ditelusuri dan ditelaah secara detail.
”Di luar hal itu, secara pribadi saya prihatin dan mengecam kasus kekerasan seksual. Sebab, kasus seperti ini mencederai kemanusiaan, dan membuat manusia tidak berharga,” ucapnya.