Nilai Tambah Limbah Kayu di Sentra Produksi Perahu Pulau Sewangi
Warga Pulau Sewangi, Kabupaten Barito, Kalsel, yang tinggal di sekitar Geopark Meratus dilatih membuat miniatur kapal jukung.
Limbah kayu dari sisa produksi perahu di Desa Pulau Sewangi, Kecamatan Alalak, Kabupaten Barito Kuala, Kalimantan Selatan, kini diolah menjadi kriya kayu. Pemanfaatan di sentra produksi perahu atau jukung ini berpotensi menambah pendapatan warga di kawasan Geopark Meratus.
Yunus (37), warga Pulau Sewangi, duduk beralaskan sandal di halaman balai desa, Senin (23/10/2023) siang. Tangannya memegang sebuah pahat kecil dan sepotong kayu. Dengan hati-hati, ia memahat sepotong kayu untuk membentuk miniatur perahu atau jukung.
”Rasanya lebih rumit bikin miniatur daripada bikin jukungnya sendiri,” ujar perajin jukung itu sambil tertawa.
Syarifuddin alias Anang (51), perajin jukung lainnya, yang juga duduk memahat berhadapan dengan Yunus, menimpali, ”Benar, ini sudah tiga hari belum jadi juga.”
Baca juga: UNESCO Kaji Kesiapan Pegunungan Meratus Menjadi Geopark Global
Senin itu adalah hari ketiga bagi Yunus, Anang, dan kawan-kawan mengikuti pelatihan pembuatan produk geopark di Balai Desa Pulau Sewangi. Dalam pelatihan itu, mereka diajari membuat aneka produk kriya kayu dengan memanfaatkan limbah kayu dari sisa produksi perahu.
Pelatihan diadakan Badan Pengelola Geopark Meratus bekerja sama dengan Kantor Perwakilan Bank Indonesia Provinsi Kalimantan Selatan (Kalsel) pada 21-23 Oktober dan 28 Oktober 2023. Warga setempat dilatih membuat produk geopark karena Pulau Sewangi sudah ditetapkan sebagai salah satu situs dari Geopark Meratus.
Yunus menuturkan, dirinya baru pertama kali mencoba membuat miniatur jukung dengan memanfaatkan limbah kayu dari sisa produksi perahu. Sebelumnya, limbah kayu itu hanya dimanfaatkan untuk kayu bakar ataupun untuk material urukan.
”Limbah kayu seperti ini tidak ada harganya. Kalau ada yang memerlukan untuk kayu bakar atau urukan, kami biasanya berikan secara cuma-cuma,” kata generasi ketiga perajin jukung itu.
Selama ini, limbah kayu dari sisa produksi perahu tidak dimanfaatkan karena warga setempat memang hanya berfokus pada produksi dan perbaikan perahu. Kegiatan produksi dan perbaikan perahu di Pulau Sewangi dilakukan sejak lama dan secara turun-temurun.
Menurut Yunus, perajin jukung di Pulau Sewangi saat ini umumnya menggunakan kayu jenis bengkirai, lanan, dan cengal. Kayu-kayu tersebut didatangkan dari Kalimantan Tengah, terutama dari Kabupaten Kapuas.
Jukung tersebut dijual mulai dari harga Rp 4 juta hingga Rp 30 juta per buah, tergantung ukurannya. Kebanyakan jukung dari Pulau Sewangi dijual ke daerah Tabunganen dan Marabahan, Kabupaten Barito Kuala, serta Aluh Aluh, Kabupaten Banjar.
”Untuk pembuatan jukung sepanjang 7 meter, satu orang bisa saja menyelesaikannya sendiri dalam waktu seminggu. Rasa-rasanya lebih mudah daripada bikin miniatur,” ujar bapak dua anak itu.
Menurut Anang, pembuatan miniatur jukung terasa sulit karena mereka belum terbiasa. Berbeda dengan pembuatan jukung yang sudah dikerjakan secara turun-temurun.
”Ulun (saya) baru kali ini bikin miniatur jukung. Kalau bikin jukung, sudah dari tahun 1997. Dari awalnya ikut abang ipar, sampai sekarang punya galangan sendiri,” katanya.
Fatimah (45), ibu dari dua anak, juga mengikuti pelatihan pembuatan produk geopark meskipun bukan termasuk perajin jukung. Dalam pelatihan itu, ia mencoba membuat gantungan kunci, talenan, dan sendok nasi.
”Kami ibu-ibu juga harus bisa mengolah limbah kayu menjadi barang kerajinan. Ini lumayan buat menambah penghasilan. Jadi, limbah kayu juga berharga, tidak hanya untuk kayu bakar,” ujarnya.
Desa wisata
Sekretaris Desa Pulau Sewangi Syarifah Zakiah Mabrurah menuturkan, pelatihan pembuatan produk geopark baru kali ini diadakan. Kegiatan ini sebagai bentuk pemberdayaan masyarakat desa setempat setelah Pulau Sewangi ditetapkan sebagai salah satu situs Geopark Meratus.
”Pelatihan semacam ini sangat bermanfaat bagi warga desa kami, dan juga bagi kemajuan desa kami. Terlebih, dalam menyongsong pencanangan Pulau Sewangi sebagai desa wisata pada tahun 2024 mendatang,” katanya.
Menurut Zakiah, pelatihan pembuatan produk geopark kali ini diikuti 15 orang yang terdiri dari 12 laki-laki dan 3 perempuan. Kegiatan pelatihan difasilitasi Badan Pengelola Geopark Meratus dan Kantor Perwakilan Bank Indonesia Provinsi Kalsel.
”Di samping memberi program pelatihan, BI juga memberi bantuan alat-alat pertukangan untuk mendukung pembuatan kriya kayu dari limbah kayu,” ujarnya.
Zakiah tak menampik limbah kayu cukup melimpah di Pulau Sewangi. Hal itu karena sejak dulu Pulau Sewangi adalah sentra pembuatan perahu atau jukung di Kalsel. Di Pulau Sewangi saat ini setidaknya masih terdapat 78 galangan. Di setiap galangan terdapat 3-5 tukang atau perajin jukung.
”Mayoritas bapak-bapak di desa kami adalah tukang pembuat jukung. Hanya sebagian kecil yang bertani di sawah. Bisa dikatakan, pekerjaan utama warga desa kami adalah perajin jukung,” katanya.
Kalau Geopark Meratus mendapat pengakuan dari UNESCO, tentu pasar produk geopark akan semakin luas.
Sampai saat ini, lanjut Zakiah, transportasi air masih diandalkan sebagian masyarakat. Karena itu, usaha pembuatan jukung di Pulau Sewangi masih bertahan sampai sekarang. Kegiatan usaha yang menjadi andalan warga setempat itu juga menjadi salah satu daya tarik wisata.
”Sejak dulu, desa kami kerap dikunjungi wisatawan domestik dan wisatawan mancanegara. Namun, kunjungan itu belum berdampak pada peningkatan ekonomi desa dan kesejahteraan masyarakat,” katanya.
Berbasis konservasi
Yanuar Adam Benarqie dari Sekretariat Badan Pengelola Geopark Meratus mengatakan, pelatihan pembuatan produk geopark di Pulau Sewangi menjadi pilot project (proyek percontohan) pemberdayaan masyarakat di situs-situs Geopark Meratus. Saat ini, Geopark Meratus sedang diperjuangkan menjadi UNESCO Global Geopark.
”Pelatihan ini dalam upaya kami meningkatkan kapasitas masyarakat. Bagaimanapun Geopark Meratus itu tetap berbasis pada konservasi dan menjunjung tinggi budaya. Pelatihan tematik semacam ini merupakan wujud dari edukasi dan konservasi di situs Geopark Meratus,” katanya.
Menurut Adam, pelatihan pembuatan produk geopark akan disesuaikan dengan potensi yang ada di setiap situs Geopark Meratus. Pulau Sewangi mendapat program pelatihan pembuatan kriya kayu karena potensi limbah kayu di desa tersebut memang cukup besar.
”Pelatihan semacam ini akan berkelanjutan. Setelah pelatihan, (peserta pelatihan) akan diberi kesempatan ikut pameran produk. Setelah pameran akan dievaluasi sejauh mana produk diterima masyarakat (pasar), lalu apakah perlu ada peningkatan kapasitas lagi kepada masyarakat,” katanya.
Adam mengatakan, permintaan terhadap produk geopark akan selalu ada, terlebih jika nanti Geopark Meratus menjadi UNESCO Global Geopark. Berbagai produk geopark akan selalu ditampilkan dalam setiap pameran dan juga dipasarkan lewat media sosial.
”Kalau Geopark Meratus mendapat pengakuan dari UNESCO, tentu pasar produk geopark akan semakin luas. Secara berkala, kami pasti akan meminta pasokan produk dari masyarakat sehingga produksinya pun berkelanjutan,” katanya.
Jika produksinya sudah berkelanjutan, tidak ada lagi cerita limbah kayu terbuang percuma di Pulau Sewangi. Limbah kayu akan menjadi berkah tambahan buat warga yang selama ini menggantungkan hidup pada usaha pembuatan perahu.
Baca juga: Geopark Meratus Berpotensi Dikembangkan untuk Ekowisata