Petani Jambu Mete Sultra Berharap Panen Membaik Tahun Ini
Di tengah kemarau dan El Nino, petani jambu mete di Sulawesi Tenggara bisa sedikit bernapas lega. Tanaman mereka berbuah setelah gagal panen tiga tahun terakhir.
Oleh
SAIFUL RIJAL YUNUS
·4 menit baca
KENDARI, KOMPAS — Di tengah kemarau berkepanjangan, petani jambu mete di Sulawesi Tenggara atau Sultra berharap panen tahun ini bisa jauh lebih baik. Sebab, selama beberapa tahun terakhir, mereka gagal panen akibat kondisi cuaca yang tidak menentu. Selain itu, berbagai persoalan mendasar juga membayangi.
Petani jambu mete di Buton Utara, misalnya, berharap banyak pada hasil panen jambu mete tahun ini. Sebab, tanaman mete telah berbuah dan tumbuh dalam kondisi baik. Beberapa tahun terakhir, tanaman mete hanya sampai berbunga dan gugur akibat hujan.
”Kalau tanaman kami sudah berbuah, sudah hijau rata-rata. Sebentar lagi matang dan siap dipanen, kemungkinan November depan,” kata Latif (55), petani mete di Desa Lagundi, Kambowa, Buton Utara, dihubungi dari Kendari, Selasa (24/10/2023).
Tanaman jambu mete, kata Latif, memang memerlukan panas dari matahari, utamanya ketika mulai berbunga. Hal ini membantu mete untuk berkembang dari bunga menjadi buah. Musim bunga dan buah biasanya berlangsung selama tiga bulan, yaitu Juli hingga Oktober.
Tanaman jambu mete memang memerlukan panas dari matahari, utamanya ketika mulai berbunga.
Hal ini berbeda ketika musim hujan jauh lebih banyak. Selama tiga tahun terakhir, hasil panen mereka anjlok drastis. Dua tahun terakhir ia dan masyarakat lainnya bahkan gagal panen. Pada periode ini, curah hujan melimpah dan tidak bisa diprediksi. Hujan bahkan turun hingga Oktober dan tidak menyisakan kemarau.
”Itu bunganya hitam, dan buah tidak jadi. Makanya tahun ini kami harapannya panen bisa bagus. Semoga bisa seperti tahun 2019 lalu,” tambahnya.
Saat itu, Latif melanjutkan, hasil panen begitu melimpah. Satu hektar lahan mete bisa menghasilkan hingga 1 ton buah mete. Harga mete berkisar Rp 17.000 per kilogram saat itu. Hasil panen digunakan untuk kebutuhan harian dan pendidikan anak.
Meski demikian, kendala saat ini adalah cuaca yang begitu panas. Sebagian bunga tanaman menjadi hangus akibat suhu panas yang berlimpah. Petani mengantisipasi dengan pupuk untuk mencegah hasil panen berkurang.
Di Pulau Wawonii, Konawe Kepulauan, petani mete juga berharap banyak tahun ini. Kondisi tanaman berkembang jauh lebih baik dibanding masa panen sebelumnya.
Anwar, petani mete di Desa Sukarela Jaya, Wawonii Tenggara, Konawe Kepulauan, menuturkan, sebagian besar mete miliknya juga telah berbuah. Tanaman yang beberapa tahun hanya sampai berbunga kali ini bisa berkembang jauh lebih baik.
Menurut Anwar, kondisi ini mulai berlangsung selama satu bulan terakhir. Tanaman yang berbunga juga tampak lebih rimbun dan subur. Jauh berbeda dibanding sebelumnya yang tumbuh dengan bunga sedikit dan hasil yang sangat minim.
”Kalau lihat kondisi, panen tahun ini bisa bagus karena panas banyak. Kalau sebelumnya, hujan terus pas mete berbunga. Jadi bunganya gugur dan tidak bisa berbuah,” tambahnya.
Meski demikian, Anwar menambahkan, satu hal yang menjadi kendala saat ini adalah debu dari aktivitas pertambangan nikel yang beroperasi di wilayahnya. Tanaman yang berdekatan dengan lokasi tambang, atau jalan tambang, terimbas debu yang menutupi tanaman.
”Kalau kebun jauh, bagus, tapi kalau dekat sama jalan hauling (jalan tambang) itu pasti kena debu,” ujarnya.
Luas lahan mete di Sultra mencapai 119.659 hektar, utamanya tersebar di Buton, Bombana, Muna, dan Kolaka. Produktivitas mete di wilayah ini mencapai 356 kilogram per hektar dengan produksi mencapai 40.000 ton dalam setahun. Dengan produksi sebesar ini, Sultra merupakan sentra penghasil jambu mete kedua terbesar di Indonesia setelah Nusa Tenggara Timur (Outlook Jambu Mete Kementan 2022).
Kepala Dinas Perkebunan dan Holtikultura Sultra Haruna menyebutkan, panen mete masyarakat tahun ini diprediksi jauh lebih baik dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Tanaman mulai berbuah, bahkan sebagian kecil masyarakat telah panen. Kondisi kemarau panjang atau El Nino membuat perkembangan jambu mete bisa hingga berbuah.
Hal ini berbeda dibanding beberapa tahun sebelumnya. Bunga jambu mete berguguran akibat tingginya curah hujan. Data menunjukkan, produksi mete turun dari 51.700 ton pada 2021 menjadi 36.285 ton pada 2022. Sebagian petani di Buton Tengah bahkan telah membabat pohon mete dan menggantinya dengan tanaman jangka pendek.
”Semoga tanaman ini jauh lebih baik (panennya). Hanya saja, memang juga ada masalah terkait tanaman yang sudah tua dan harus diremajakan,” ujar Haruna. Tahun ini, pemerintah pusat membantu untuk perluasan tanam sebanyak 100 hektar. Program ini telah berlangsung di Muna, Buton Utara, dan wilayah lainnya.
Syamsu Anam, ekonom dari Universitas Halu Oleo, menjabarkan, jambu mete merupakan salah satu subsektor utama dalam perkebunan yang menjadi tumpuan ekonomi daerah. Perkebunan, pertanian, kelautan, dan perikanan adalah sektor yang menghidupi jutaan masyarakat selama puluhan tahun di wilayah ini.
Akan tetapi, jambu mete, seperti sektor lainnya, juga terus terdegradasi. Persoalan terjadi dari hulu hingga hilir, baik itu tidak adanya peremajaan, tata niaga yang buruk, hingga proses pemasaran yang terbatas. Akibatnya, sektor ini terus menurun dan ditinggalkan masyarakat.
Peta jalan dan pengembangan diperlukan agar jambu mete yang merupakan wajah Sultra kembali menjadi harapan bagi masyarakat luas.
”Hal ini terjadi akibat tidak adanya perhatian pemerintah pada sektor utama dan justru fokus ke sektor padat modal, yaitu nikel. Seharusnya, seiring hilirisasi mineral, lebih dulu dilakukan hilirisasi perkebunan, pertanian, dan perikanan tadi,” ujarnya.
Ke depan, Syamsu mengingatkan agar pemerintah mengambil langkah nyata dalam pengembangan sektor ini. Peta jalan dan pengembangan diperlukan agar jambu mete yang merupakan wajah Sultra kembali menjadi harapan bagi masyarakat luas.