Menakar Masa Depan Bitung Setelah Penangkapan Ikan Terukur
Dari masuknya kapal-kapal asing sampai penerapan PNBP yang memberatkan, pelaku perikanan tangkap punya segudang keluhan soal penangkapan ikan terukur.
Sebagai nelayan, Julius Hengkengbala (49) tidak banyak mengeluh. Hanya saja, Ketua Umum Gerakan Nelayan Perkasa Indonesia yang berbasis di Bitung, Sulawesi Utara, itu kini sedang gundah dengan rencana penerapan kebijakan Penangkapan Ikan Terukur, awal 2024.
Di dermaga Pelabuhan Perikanan Samudera (PPS) Bitung, Jumat (20/10/2023) siang, beberapa kapal bertambat. Tenda-tenda didirikan, kemudian beberapa mobil pikap parkir di bawahnya. Para awak kapal dan buruh pun membongkar muatan di bawah palka, yakni cakalang, tuna, dan ikan pelagis lainnya yang kecil ataupun besar.
Ember demi ember berisi ikan dioper dari satu pekerja ke yang lain, lalu ditumpahkan di bak mobil yang akan membawanya ke pabrik setempat. Ada pula yang memuatnya langsung ke peti kemas berpendingin untuk dibawa ke Jawa.
Itulah pertanda aktivitas perikanan tangkap di Bitung terus memutar roda perekonomian daerah yang pada triwulan III-2023 tumbuh 6,28 persen. Sepanjang Januari-September tahun ini pun produksi perikanan tangkap di 13 kabupaten/kota bahari di Sulut sudah 272.691 ton, melampaui 258.976 ton yang tercatat pada 2019 sebelum pandemi Covid-19.
Di Bitung, selama semester I-2023, sekitar 21.100 ton ikan yang didominasi cakalang dan tuna sirip kuning alias madidihang didaratkan di PPS Bitung oleh 935 kapal. Jumlah itu masih kurang dari setengah total tangkapan sepanjang 2022 yang mencapai 57.900 ton, tetapi Julius yakin produksi akan terus meningkat sampai akhir tahun.
”Masa panen biasanya Maret-Juni, kemudian Juli-Agustus tangkapan sedikit karena musim ombak. Tapi, tiap 10 tahun pasti ada perubahan. Musim ombaknya sekarang jadi Agustus-Oktober. Saya duga panen sudah dimulai sekarang,” ujar Julius ketika ditemui di sebuah warung di PPS Bitung, Jumat (20/10/2023) siang.
Namun, ada satu hal yang membuat Julius khawatir tentang masa depan nelayan, yaitu kebijakan Penangkapan Ikan Terukur (PIT) yang diwacanakan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) sejak 2022. Para nelayan di Bitung menolak keras kebijakan itu, tetapi pemerintah justru meresmikannya dengan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 11 Tahun 2023.
Tentu saja Julius setuju dengan filosofi PIT untuk menjaga sumber daya kelautan dan perikanan negeri dengan sistem kuota. Namun, menurut dia, pemerintah justru bertindak kontradiktif dengan membuka pintu investasi bagi kapal perikanan asing dengan skema yang akan berlaku paling cepat awal 2024 ini.
”Kapal-kapal lokal enggak mungkin saingan sama asing. Kapal lokal paling tinggi 300-an GT (gros ton), di Jawa pun enggak lebih dari itu. Kalau kapal asing, misal purse sein (pukat cincin), bisa ribuan ton!” ujar Julius berapi-api, mewakili suara 57 pemilik kapal dalam Gerakan Nelayan Perkasa Indonesia (GNPI).
Ia curiga PIT menjadi akal-akalan pemerintah untuk membisniskan sumber daya perikanan negeri kepada pemodal asing. Dari empat zona yang dikhususkan untuk industri, ditawarkan kuota sebesar 4,89 juta ton ikan per tahun dengan nilai Rp 120,6 triliun.
Baca Juga: Kuota Penangkapan Ikan Dimulai 2024
Hitung-hitungan itu memang masih jauh di bawah stok ikan berdasarkan potensi lestari 2022, yaitu 12,01 juta ton dengan jumlah tangkapan yang diperbolehkan sebesar 8,6 juta ton. Namun, kata Julius, kuota pasti akan didominasi kapal asing. ”Orang-orang asing (investor) sudah banyak yang datang (ke PPS Bitung) buat lihat-lihat,” katanya.
Dengan PIT, lautan Indonesia akan dibagi menjadi enam zona berdasarkan Wilayah Pengelolaan Perikanan (WPP), empat di antaranya untuk industri. Bitung sendiri terjepit di antara dua zona industri, yaitu Zona 02 dan 03.
Zona 02 mencakup WPP 716 dan 717 (perairan utara Pulau Sulawesi, Maluku Utara, dan Papua). KKP menetapkan kuota sebesar 738.000 ton per tahun di sana dengan nilai hasil perikanan Rp 15,8 triliun.
Sementara itu, Zona 03 mencakup WPP 715 (perairan di antara Sulawesi dan Maluku, termasuk Teluk Tomini) serta 718 (Laut Aru, Arafuru, dan dan Timor bagian timur). Dengan kuota 2,26 juta ton per tahun, nilai hasil tangkapan bisa mencapai Rp 46,12 triliun.
Nantinya, nelayan harus membawa tangkapannya ke satu dari beberapa pelabuhan pendaratan yang telah ditetapkan KKP di masing-masing zona. Menurut Julius, aturan ini nantinya akan menyulitkan para nelayan di Bitung yang masuk di Zona 02. Pasalnya, ada sebagian kapal nelayan Bitung yang beroperasi di Zona 03.
Artinya, mereka kemungkinan harus mendaratkan ikan di satu dari delapan pelabuhan pendaratan di Zona 03 yang tersebar di Maluku, Papua, dan dan Sulawesi Tenggara. Padahal, mayoritas pabrik langganan mereka berada di Bitung.
”Sudah ada WPP, masih dibatasi lagi dengan zona. Laut kayak dipagar, padahal ikan yang kami kejar ini pelagis, dia tidak diam di satu tempat,” kata Julius.
Para pengusaha juga khawatir soal hal ini. Budi Wahono, Ketua Ikatan Pengusaha Perikanan (IPP) Sulut, menyebut pelabuhan-pelabuhan seperti Bitung yang secara geografis berada di perpotongan dua zona harus mendapatkan perlakuan khusus.
”Tidak masuk akal kalau pemilik kapal di Bitung kemudian dia tidak boleh mendaratkan ikan di sana karena izinnya ada di zona lain. Bahwa Bitung berada di dua zona penangkapan, itu sudah bonus geografis sehingga layak mendapatkan kekhususan,” tutur Budi ketika ditemui di Manado pada Jumat sore.
Kerancuan ini pun menjadi perhatian pemerintah provinsi. Tienneke Adam, Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Sulut, mengaku telah menyuarakan keberatan. Namun, ia menilai KKP saat ini tidak banyak menampung masukan dari daerah.
”Cuma diundang rapat, formalitas, tetapi tetap keputusan mereka ambil sendiri,” keluhnya via telepon.
Pendapatan negara
Tienneke pun tak menyangkal bahwa PIT tak didukung sama sekali oleh para nelayan di Sulut. Mereka bahkan sampai menggelar demonstrasi untuk mendesak PP No 11/2023 dicabut, sebagaimana dilakukan Julius dan GNPI bersama berbagai organisasi lainnya.
Penolakan semakin kuat karena skema penghitungan penerimaan negara bukan pajak (PNBP) dalam PIT yang terlihat seperti tidak memahami realitas perikanan di lapangan. Kapal-kapal kurang dari 60 GT dikenai indeks tarif 5 persen dari nilai tangkapan, sementara yang di atas 60 GT sebesar 10 persen. Nilai ikan dipukul rata Rp 15.000 per kilogram.
Baca Juga: Tak Mudah Cari Investor Baru untuk Sistem Kontrak Penangkapan
”Ikan hasil tangkapan itu tidak bisa dihargai Rp 19.000-Rp 20.000 per kg semua. Kalau di palka kapal, yang tumpukan atas mungkin bisa, tapi yang di bagian bawah itu mudah rusak. Itu cuma bisa buat fish meal (tepung ikan untuk ternak) dan harganya Cuma Rp 2.000 per kg,” kata Tienneke.
Julius membenarkan. Dengan aturan PNBP tersebut, sebagian nelayan rentan tak mendapat untung sama sekali dari “ikan gatal” senilai Rp 1.500-Rp 2.000 per kg.
”Kalau harga acuannya Rp 15.000, dikali 10 persen, berarti ditagih Rp 1.500 per kg. Kalau harga ikan cuma Rp 1.500, mereka (KKP) ambil semua. Kan, itu perampok namanya?” kata Julius memprotes.
Tienneke dan Julius sama-sama mempertanyakan dari mana dasar penghitungan Rp 15.000 itu. Protes mereka pun senada, kurang lebih menantang jajaran di KKP untuk menjadi nelayan dan mengikuti aturan yang mereka buat sendiri.
Budi Wahono, mewakili 18 unit pengolahan ikan di Sulut, juga mengeluh. Sebab, PNBP pada akhirnya juga akan dibebankan kepada nelayan yang tentu tidak mau merugi kepada para pengusaha. Namun, ia bisa memahami hal ini, terutama dengan ketidakpastian yang dihadapi nelayan karena sifat ikan yang beruaya serta gejolak cuaca bahari.
Oleh karena itu, Budi mendorong KKP untuk membuat aturan yang lebih memperhatikan aspek-aspek lokalitas. ”Soal PIT ini, kami separuh sudah oke, separuh sedih. Sedihnya karena nelayan ternyata terbebani. Walau rugi, tetap harus bayar PNBP,” katanya.
Kepala PPS Bitung Ady Candra, yang nantinya akan menjalankan PIT di lapangan selaku perpanjangan tangan KKP, telah dihubungi untuk dimintai tanggapan. Namun, ia menyatakan hanya pejabat eselon I dan minimal direktur jenderal yang berhak berbicara kepada media.
Kesiapan
Budi mengatakan, para pengusaha sudah cukup siap menyongsong PIT. Akan tetapi, ia meminta pemerintah mengkaji lagi kuota yang ditetapkan di Zona 02 dan 03. Mempertimbangkan sifat ikan pelagis yang beruaya, ia cenderung skeptis dengan angka yang ditetapkan.
”Apa betul potensinya sebesar itu? Kalau iya, apa effort (penangkapan ikan) yang kurang?” ucapnya.
Budi mendorong KKP untuk membuat aturan yang lebih memperhatikan aspek-aspek lokalitas.
Sebaliknya, Tienneke meminta penerapan PIT ditunda dulu untuk kapal-kapal ukuran 30 GT ke bawah, tetapi dapat diterapkan untuk kapal-kapal besar yang izinnya diterbitkan KKP. Sebab, sosialisasi PIT ia nilai belum meluas karena kurangnya pendanaan dari pusat.
Di samping itu, nelayan dan pelaku usaha skala kecil kekurangan modal untuk memenuhi persyaratan yang ditetapkan KKP, seperti memasang alat sistem pengawasan kapal perikanan (VMS) serta pembayaran airtime satelit. ”Coba sabar dulu, kita butuh waktu untuk persiapan,” ujarnya.
Sementara itu, Julius yang mewakili suara para nelayan menyatakan tetap menolak keras PIT. Ia menyebut kebijakan itu jelek dan KKP diisi orang-orang yang tak paham sulitnya kehidupan para nelayan yang menerjang ombak.
Ia pun menyatakan akan bekerja sama dengan para akademisi setempat untuk menyiapkan kajian. Jika harus, GNPI akan mengambil langkah hukum. ”Jangan cuma tahu bikin aturan, padahal enggak tahu apa-apa,” katanya geram.