Tim Advokasi Rempang Ajukan Praperadilan untuk 30 Warga yang Ditahan
Mayoritas warga Rempang yang masih ditahan polisi adalah tulang punggung keluarga. Kehadiran mereka di rumah amat dibutuhkan.
Oleh
PANDU WIYOGA
·3 menit baca
BATAM, KOMPAS — Tim Advokasi Solidaritas Nasional untuk Rempang memasukkan gugatan praperadilan terhadap kepolisian terkait penangkapan 30 warga yang masih ditahan. Para keluarga warga yang ditahan mendesak keadilan bagi mereka.
Direktur LBH Mawar Saron Batam Mangara Sijabat, Kamis (19/10/2023), mengatakan, tim advokasi telah mengajukan permohonan penangguhan kepada Kepala Polresta Barelang pada 3 Oktober lalu tetapi tidak ditanggapi. Kini tim advokasi menggugat Polresta Barelang dan Polda Kepri ke Pengadilan Negeri (PN) Batam lewat praperadilan.
”Biar nanti PN Batam yang akan mengadili apakah penetapan tersangka itu sah atau tidak dan apakah itu memenuhi bukti yang cukup,” kata Mangara usai mendaftarkan permohonan gugatan di PN Batam.
Menurut dia, pembebasan warga amat dinantikan para keluarganya. ”Warga yang ditahan sebagian besar merupakan tulang punggung keluarga. Kehadiran mereka sangat dibutuhkan di rumah,” ujarnya.
Penahanan 30 warga terkait peristiwa pada 11 September 2023. Kala itu sekitar 1.000 warga dari sejumlah daerah berunjuk rasa untuk menolak penggusuran kampung tua Rempang di depan kantor Badan Pengusahaan (BP) Batam.
Demonstrasi itu berakhir ricuh dan mengakibatkan 21 aparat gabungan terluka. Polisi lalu menangkap 30 pengunjuk rasa yang dituding melakukan kekerasan.
Warga yang ditahan di Polresta Batam-Rempang-Galang (Barelang) mendapatkan bantuan hukum dari Tim Advokasi Solidaritas Nasional untuk Rempang. Tim itu terdiri dari Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI)-Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pekanbaru, LBH Mawar Saron Batam, dan Pusat Bantuan Hukum (PBH) Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi) Batam.
Suami saya kerja jadi tukang bangunan. Dia ikut demo karena ingin melindungi kampung dari penggusuran.
Salah satu warga Rempang, Ramli (53), mengatakan, polisi menahan anak sulungnya yang bernama Rafi (23). Ia menyebut, Rafi ikut demonstrasi semata-mata untuk mempertahankan kampungnya dari rencana penggusuran terkait proyek Rempang Eco City.
”Sehari-hari dia yang bantu saya kerja nelayan. Sekarang saya kepikiran dia terus, mau kerja seperti jadi susah,” kata Ramli.
Sebelumnya, warga lain, Masiati (27), mengatakan, suaminya yang bernama Nazarudin (32) juga ditahan. Setelah sang suami ditahan, tidak ada yang menafkahi tiga anak mereka. Padahal, mereka memiliki anak kembar yang masih berusia 3 tahun.
”Suami saya kerja jadi tukang bangunan. Dia ikut demo karena ingin melindungi kampung dari penggusuran. Tolong Pak Polisi lepaskan bapaknya anak-anak ini,” ujar Masiati pada 3 Oktober lalu.
Desakan untuk membebaskan pengunjuk rasa juga mengemuka dalam Rapat Kerja Komisi VI DPR dengan Kementerian Investasi dan BP Batam di Jakarta, Senin (2/10/2023). Wakil Ketua Komisi VI DPR Sarmuji meminta agar warga yang masih bermasalah secara hukum diperlakukan dengan bijak.
”(Pengunjuk rasa) Yang motifnya sekadar membela tanahnya (dari penggusuran) mohon diperlakukan secara bijak supaya dapat dibebaskan,” kata Sarmuji.
Dalam kesempatan yang sama, Menteri Investasi Bahlil Lahadalia mengakui, pemerintah keliru menerapkan strategi komunikasi dan sosialisasi di awal sehingga memancing miskomunikasi serta bentrok warga dengan aparat keamanan. ”Kami akui ada kesalahan dalam proses komunikasi awal sehingga terjadi miskomunikasi dan lahirlah (penggunaan) gas air mata,” ujarnya.
Namun, Bahlil juga menilai, aksi kekerasan yang dilakukan oleh para pengunjuk rasa pada 11 September itu di luar kelaziman. ”Biarlah hukum berproses. Masa aparat sudah (angkat tangan) begini masih (dipukul) pakai batu. Saya enggak bisa melakukan (pembebasan) itu,” katanya.
Menanggapi hal itu, advokat dari PBH Peradi Batam, Sopandi, mengatakan, awalnya tim advokasi dan keluarga yang ditahan berharap persoalan ini bisa diselesaikan dengan musyawarah. Namun, setelah mendengar pernyataan Bahlil, mereka melihat kecil kemungkinan warga yang ditahan akan dibebaskan polisi.
Oleh karena itu, tim advokasi dan warga sepakat melakukan upaya hukum praperadilan untuk menguji apakah penetapan tersangkan sudah sepatutnya. Diharapkan PN Batam dapat segera menjadwalkan sidang dalam waktu dekat.
”Kami meminta pihak Komisi Yudisial dan Ombudsman untuk memantau dan mengawasi persidangan ini supaya semuanya terbuka. Kami percaya di sini, di PN Batam, masih ada keadilan,” ujar Sopandi.