Masyarakat Khawatirkan Pengukuran Batas 45 Desa di Timor Tengah Selatan
Masyarakat 45 desa di Timor Tengah Selatan khawatir pengukuran batas oleh petugas terkait dengan rencana pengambilalihan tanah adat. Sebaliknya, BPKHTL akan mengeluarkan areal masyarakat dari status kawasan hutan.
Oleh
KORNELIS KEWA AMA
·4 menit baca
KUPANG, KOMPAS—Masyarakat khawatir mengetahui adanya pengukuran oleh sejumlah petugas Kementerian Kehutanan dan Lingkungan Hidup atas batas 45 desa di Kabupaten Timor Tengah Selatan, Nusa Tenggara Timur. Masyarakat tak mau dikeluarkan dari wilayah kelola adat demi mengatasnamakan penetapan status hutan lindung.
Raja Amanuban, Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS), Nusa Tenggara Timur (NTT), Pina Nope memimpin rombongan tetua adat ke Kantor Ombudsman NTT di Kupang, Selasa (17/10/2023). Ia mengatakan, sekitar 150.000 masyarakat adat Amanuban khawatir. Sebab, ada informasi sebanyak 45 dari 278 desa di TTS bakal dijadikan kawasan hutan lindung.
Kerajaan Amanuban membawahkan 18 kecamatan dari 32 kecamatan di TTS. Kecamatan itu antara lain Amanuban Tengah, Polen, Oenino, Kuatnana, Kotolin, Fatuneno, Amanuban Selatan, Fatukopa, Fatumolo, Kie, Polen, Neobeba, dan Kuanfatu.
”Pengukuran itu dilakukan pada Agustus 2023-September 2023. Petugas dari Balai Pemanfaatan Kawasan Hutan dan Tata Lingkungan (BPKHTL) Kementerian Kehutanan dan Lingkungan Hidup (KLKH) melakukan itu. Masyarakat kaget dan resah. Jangan sampai suatu saat mereka mengalami nasib serupa dengan masyarakat Rempang di Kepulauan Riau atau masyarakat adat Pubabu-Besiapae di TTS,” papar Nope.
Tidak ada informasi atau pemberitahuan sebelumnya soal pengukuran tersebut. Para tetua adat Amanuban pun segera bertindak. Mereka berkumpul di rumah adat Sonaf Sunkolo di Niki-Niki. Hasilnya, mereka sepakati untuk mempertanyakan hal itu ke Kementerian Hukum dan HAM NTT, Bupati dan DPRD TTS, Ombudsman NTT, serta langsung bertemu kepala BPKHTL. Namun, upaya itu belum mebuahkan hasil. Masyarakat meyakini wilayah mereka bukan masuk kawasan hutan lindung.
Masyarakat menilai telah terjadi pencaplokan tanah adat menjadi kawasan hutan lindung Laob Tunbesi, dalam program pelaksanaan pengukuran kawasan hutan oleh BPKHTL Wilayah XIV Kupang. Padahal, hutan ini merupakan wilayah adat mereka.
Pada 1875 atau 70 tahun sebelum Indonesia merdeka, Belanda meninggalkan Amanuban. Belanda menyerahkan wilayah itu kepada raja Amanuban saat itu, Nope, untuk memimpin. Sebelum merdeka, wilayah Amanuban sudah dikuasai raja.
Nope mengatakan bahwa alasan BPKHTL Dirjen Planologi Kehutanan dan Tata Lingkungan KLHK mengenai semua wilayah yang dijajah Belanda diserahkan ke negara merupakan pembodohan masyarakat.
Tetua adat juga telah menggelar ritual adat di Sonaf Sunkolo di Niki-Niki, sebagai pusat kerajaan Amanuban. Mereka memutuskan terus mendesak BPKHTL Kupang menghentikan pengukuran itu dan membiarkan kawasan itu bukan masuk kawasan hutan lindung. Ini demi ketenangan dan kenyamanan warga menjelang Pemilu 2024.
”Masyarakat sudah sumpah setia di rumah adat. Tidak akan bergeser sedikit pun. Mati dan hidup tetap di tanah warisan leluhur. Sudah sumpah adat dan minum darah hewan kurban,” katanya.
Pina Nope, buyut dari raja Nope, mencurigai adanya program hilirisasi pemerintahan Presiden Joko Widodo, wilayah-wilayah yang memiliki potensi tambang mangan di TTS dan TTU bakal diambil alih pemerintah dan diserahkan kepada pengusaha untuk dikelola. Mangan di wilayah itu termasuk sangat berkualitas.
Di tempat terpisah, Kepala BPKHTL Lingkungan Wilayah XIV Kupang Anwar mengatakan, masyarakat tak perlu khawatir. Memang benar bahwa sepanjang Agustus hingga September 2023 ada penataan batas kawasan hutan. Namun, pengukuran itu bertujuan menata kembali daerah-daerah yang selama ini masuk kawasan hutan lindung agar dikeluarkan dari kawasan itu.
”Dulu ada kawasan hutan di situ. Lalu, diusulkan Pemkab TTS untuk dilakukan perubahan peruntukan kawasan hutan, 2014. Keluarlah SK Nomor 357 Tahun 2016. Dengan demikian, kampung-kampung yang tadinya masuk kawasan hutan, di SK itu dikeluarkan sehingga statusnya bukan lagi kawasan hutan. Mereka bisa mengurus sertifikat rumah dan tanah sehingga punya kekuatan hukum,” tuturnya.
Hanya saat dilakukan penataan batas di lokasi, masyarakat menolak. Dengan alasan, di wilayah itu tidak ada kawasan hutan lindung atau hutan negara. Padahal, BPKHTL bertujuan mengeluarkan mereka dari kawasan hutan, termasuk rumah, lahan pertanian, padang penggembalaan, dan pekuburan leluhur. Mengurus administrasi pertanahan pun tidak sulit.
Usulan perubahan itu dalam rangka tata ruang wilayah. Terkait keberatan itu, masyarakat diminta mengajukan lagi perubahan kawasan peruntukan. Saat ini, semua daerah dalam proses revisi tata ruang. Mereka bisa mengajukan lagi agar kawasan itu untuk aktivitas lain, seperti pertanian, peternakan, permukiman, dan lainnya.
Lokasi itu bisa diajukan menjadi kawasan perhutanan sosial untuk dikelola selama 35 tahun, kemudian diperpanjang lagi. Bisa juga dikelola sebagai hutan adat, tetapi harus melalui proses.
”Penetapan kawasan hutan itu sejak zaman Belanda. Ada 15 titik register soal itu, antara lain diterbitkan pada 1931, 1938, dan 1940. Jadi, pengukuran itu demi masyarakat juga,” kata Anwar.