Batam Kian Diminati Industri Hilir Tenaga Surya, Perusahaan AS Investasi Rp 1 Triliun
Rencana pemerintah mengekspor listrik ke Singapura membuat industri hilir tenaga surya dari sejumlah negara berlomba mendirikan pabrik di Batam. Perusahaan asal AS, Atelier Solar, ikut berinvestasi di Batam.
Oleh
PANDU WIYOGA
·3 menit baca
BATAM, KOMPAS — Perusahaan industri hilir tenaga surya asal Amerika Serikat, Atelier Solar, membangun pabrik di Kawasan Industri Wiraraja, Kota Batam, Kepulauan Riau. Kehadiran perusahaan itu menambah daftar panjang industri hilir tenaga surya yang berinvestasi di Batam setelah pemerintah berencana mengekspor listrik energi bersih ke Singapura.
Presiden Direktur Kawasan Industri Wiraraja Akhmad Ma’ruf, Senin (16/10/2023), mengatakan, Atelier Solar merupakan perusahaan pembuat panel surya dan baterai. Pada tahap pertama, perusahaan itu bakal mengucurkan investasi Rp 1 triliun untuk membangun pabrik seluas 2 hektar di Kawasan Industri Wiraraja.
”Tahap awal, Atelier baru akan produksi panel surya dan mereka membutuhkan lebih kurang 525 pekerja. Produk yang dihasilkan nantinya akan diekspor ke Amerika Serikat (AS),” kata Ma’ruf yang juga menjabat Ketua Kamar Dagang Indonesia (Kadin) Kepri.
Selain Atelier, ada enam perusahaan industri hilir tenaga surya lain yang berinvestasi di Kawasan Industri Wiraraja. Enam perusahaan itu adalah PT Jaya Electrical Energy, PT Marubeni Global Indonesia, PT Wiraraja Yunan International, PT Apolo Solar Indonesia, PT Alpha Solar, dan PT Tynergi Technology Indonesia.
Menurut Ma’ruf, banyak perusahaan energi baru terbarukan (EBT) asal AS, China, Jepang, dan Singapura yang berminat membangun pabrik di Batam. Hal ini karena lokasi Batam yang strategis di jalur pelayaran internasional. Selain itu, sebagai kawasan perdagangan bebas (free trade zone/FTZ), Batam juga menawarkan insentif fiskal kepada para investor.
”Kadin memprediksi investasi di bidang industri hilir tenaga surya akan terus tumbuh di Kepri. Oleh karena itu, kami mendorong percepatan integrasi kawasan FTZ Batam-Bintan-Karimun agar investasi di kabupaten lain di Kepri juga tumbuh,” ujar Ma’ruf.
Integrasi kawasan FTZ Batam-Bintan-Karimun telah dimulai pada 2020 dan direncanakan rampung pada 2045. Untuk mendorong pemerataan ekonomi di Kepri, pemerintah tengah menggodok proyek pembangunan jembatan untuk menghubungkan Batam dan Bintan.
Saat menghadiri peluncuran enam perusahaan industri hilir panel surya di Kawasan Industri Wiraraja pada 5 Juni 2023, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto menyatakan, pemerintah sedang membangun rantai pasok industri panel surya, dari pemrosesan pasir silika sampai pembuatan panel surya. Ini untuk mendorong pembangunan sejumlah pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) di Indonesia.
Pada Oktober 2021, PLN Batam dengan PT Trisurya Mitra Bersama dan Sumbcorp menandatangani perjanjian kerja sama pengembangan proyek penyimpanan energi dan tenaga surya terintegrasi di Batam, Bintan, dan Karimun. Mereka akan membangun PLTS yang mampu menghasilkan daya hingga 1 gigawatt peak (GWp).
Kemudian, dalam pertemuan Leaders’ Retreat di Singapura pada 17 Maret 2023, Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi menandatangani nota kesepahaman dengan Pemerintah Singapura untuk mengembangkan energi baru terbarukan (EBT). Kerja sama itu mencakup investasi pengembangan industri dan kapabilitas manufaktur EBT di Indonesia dari hulu ke hilir.
Ekspor listrik
Menurut Ma’ruf, pembangunan PLTS skala besar untuk menyuplai kebutuhan listrik Singapura akan dilakukan oleh PT Marubeni Global Indonesia yang merupakan konsorsium sejumlah perusahaan AS. PLTS skala besar itu akan dibangun di Pulau Galang pada 2024.
”Pembangunan PLTS skala besar itu sudah jadi PSN (proyek strategis nasional). Nilai investasinya mencapai Rp 87 triliun,” kata Ma’ruf.
Pulau Galang berada dekat dengan Pulau Rempang yang menjadi lokasi pembangunan kawasan industri terintegrasi Rempang Eco City. Di Rempang, dalam waktu dekat akan dibangun pabrik kaca, panel surya, dan produk pendukung lain untuk PLTS.
Pembangunan kawasan industri terintegrasi di Rempang itu mendapat penolakan keras dari warga. Sebab, lima kampung adat yang dihuni lebih kurang 950 keluarga harus digusur untuk pembangunan industri.
Terkait dengan hal itu, Ma’ruf mengatakan, pembangunan PLTS skala besar akan memanfaatkan lahan yang masih kosong di Pulau Galang. Tidak akan ada warga yang digusur untuk proyek tersebut.
”Kami hanya akan memanfaatkan hutan yang belum ditempati warga. Kami enggak akan pukul warga, justru akan dirangkul karena kami butuh tenaga kerja,” ucapnya.