Kebaikan untuk Bumi dan Manusianya dari Budidaya Lele di Tatah Belayung
Pembudidaya lele di Tatah Belayung, Banjarmasin, Kalsel, mulai melepaskan ketergantungan terhadap pakan pelet buatan pabrik. Mereka memanfaatkan limbah ikan dan hasilnya sangat memuaskan.
Sebagian pembudidaya lele di Kalimantan Selatan bersiasat meningkatkan usaha dengan pakan buatan sendiri. Memanfaatkan aliran Tatah Belayung, hasilnya melimpah. Kiprah mereka juga tangguh menghadapi perubahan iklim yang tidak mudah.
Irfani Rahman (32), warga Banjarmasin, membawa baskom berisi jeroan ikan ke tepian Tatah Belayung di Kelurahan Pemurus Dalam, Banjarmasin Selatan, Rabu (11/10/2023) siang. Dengan serok kecil bergagang panjang, ia menjatuhkan jeroan ikan ke dalam keramba jaring tancap di aliran Tatah Belayung. Ratusan lele cepat menyambar pakan yang dijatuhkan.
”Ini pakan alternatif untuk lele. Tinggi protein dan bikin lele kenyang lebih lama. Jadi, pemberian pakan cukup satu kali sehari,” kata anggota Kelompok Pembudidaya Ikan (Pokdakan) Belayung Mandiri itu sambil menjatuhkan jeroan ikan dari satu keramba ke keramba yang lain.
Di sepanjang aliran Tatah Belayung ada ratusan keramba jaring tancap. Tatah merupakan istilah dalam masyarakat Banjar untuk menyebut kanal yang dibuat dengan teknologi tradisional di masa lalu. Caranya, dipahat atau ditatah.
Tatah Belayung memiliki lebar 5-30 meter. Panjangnya lebih kurang 4 kilometer. Tatah ini terhubung dengan Sungai Kelayan. Di samping menjadi jalur transportasi air, Tatah Belayung juga dimanfaatkan untuk mengairi lahan pertanian.
Baca juga : Teknologi Cegah Limbah Makanan Menggunung
Irfani menuturkan, ia mulai membudidaya lele di aliran Tatah Belayung, yang berada persis di samping rumahnya, pada 2017. Dengan modal Rp 2,5 juta, ia membuat lima keramba dan menebar 3.000 benih lele.
Dalam waktu 2,5 bulan, ia sudah bisa panen. Keuntungan bersih hampir Rp 4 juta.
”Sejak awal budidaya lele memang sudah coba-coba pakai pakan alternatif. Ternyata, hasilnya sangat maksimal. Itu berlanjut sampai sekarang,” ujarnya.
Pakan alternatif
Menurut Irfani, ada dua jenis pakan alternatif yang digunakan, yaitu jeroan ikan dan usus ayam. Keduanya sangat digemari lele. Hewan ini termasuk hewan omnivora atau pemakan segala dan bersifat kanibal.
”Usus ayam dan jeroan ikan sama-sama bagus untuk pakan lele, sama-sama tinggi protein. Namun, kami lebih memilih jeroan ikan karena jauh lebih murah,” katanya.
Ia mengungkapkan, awalnya jeroan ikan sering dianggap limbah oleh para pedagang di pasar-pasar tradisional.
Akibatnya, jeroan dibuang begitu saja karena tidak berharga. Bahkan, pedagang ikan sering kali membayar petugas kebersihan untuk membuang jeroan ikan.
Kini, saat jeroan itu dimanfaatkan, baik pembudidaya maupun pedagang sama-sama senang. Kualitas lingkungan pun bakal terjaga karena aktivitas itu meminimalkan timbulan sampah baru. Mungkin, langkah itu hanya secuil, tapi manfaatnya besar untuk dunia lebih baik.
”Setiap hari kami ambil dan hargai jeroan ikan yang dibuang para pedagang ikan di pasar untuk pakan lele,” katanya.
Baca juga : Budidaya Udang, Sejahtera di Tengah Perubahan Iklim
Di samping itu, lanjutnya, penggunaan pakan alternatif membuat lele tumbuh lebih sehat dan lebih tahan terhadap berbagai kondisi alam.
Saat kemarau panjang seperti sekarang ini, lele masih bisa hidup dan berkembang dengan baik. Meski debit air berkurang, lele dengan pakan alami ini lebih sehat dan tidak mudah mati.
”Namun, idealnya tetap harus disiasati dengan mengurangi kepadatannya di setiap keramba, sekitar 30-40 persen dari kondisi normal,” katanya.
Untung
Tidak hanya berkontribusi untuk alam, pilihan pada jeroan ikan dan usus ayam juga menguntungkan. Salah satunya meminimalkan pelet buatan pabrik yang dulu menghabiskan 70 persen dari biaya produksi.
”Pelet utamanya untuk lele-lele kecil yang masih ditempatkan di kolam bioflok. Kalau lele sudah dimasukkan ke dalam keramba, pelet hanya semacam vitamin,” ujarnya.
Dia pun menghitung potensi riil pendapatannya. Saat ini, Irfani punya 25 keramba budidaya lele.
Untuk pakan dan biaya operasional lainnya, dia butuh sekitar Rp 1,5 juta per bulan. Sementara itu, hasil panen berkisar 300 sampai 400 kilogram (kg) per bulan, bahkan pernah 650 kg dalam sebulan.
Jika produksi lele 300 kg saja dan dijual partai besar Rp 21.000 per kg, Irfani bisa meraup omzet Rp 6,3 juta atau untung bersih Rp 4,8 juta per bulan.
”Ini karena pakai pakan alternatif. Kalau pelet tidak mungkin segitu untungnya,” katanya sambil tertawa.
Berdasarkan hitungannya, keuntungan budidaya lele akan tipis jika sepenuhnya menggunakan pelet. Untuk mendapatkan hasil panen 100 kg lele saja, setidaknya butuh 100 kg pelet.
Jika harga pelet Rp 15.000 per kg, maka pengeluaran untuk pelet Rp 1,5 juta per 100 kg lele. Artinya, dia harus punya setidaknya Rp 5 juta atau tiga kali lebih besar untuk memberi makan 300 kg lele.
Kebanyakan pengepul juga suka dengan ikan lele dari tempat mereka karena lelenya bersih, berdaging padat, dan tidak begitu amis.
Suriansyah (42), pembudidaya lele lainnya, juga membenarkan, biaya produksi dalam budidaya lele menjadi sangat minim karena penggunaan pakan alternatif. Apalagi, pemberian pakan cuma satu kali dalam sehari.
”Kalau pakai pelet mungkin sedikit untungnya karena harga pelet mahal dan pemberian pelet harus tiga kali sehari,” ujarnya.
Di samping menggunakan jeroan ikan dan usus ayam sebagai pakan lele, para pembudidaya lele juga terbiasa membuat pakan lele secara mandiri dengan memanfaatkan limbah kepala ikan.
Caranya, kepala ikan digiling, lalu dicampur dengan dedak. Hasilnya mirip dengan pelet, yang di pasaran harganya bisa sampai Rp 15.000 per kg.
”Kebanyakan pengepul juga suka dengan ikan lele dari tempat mereka karena lelenya bersih, berdaging padat, dan tidak begitu amis,” kata Suriansyah.
Baca juga : Perubahan Iklim Picu Musim Ikan Tidak Menentu
Ketua Pokdakan Belayung Mandiri Asmuri mengatakan, kelompok yang dipimpinnya adalah kelompok pertama di daerah aliran Tatah Belayung. Anggotanya 10 orang. Setiap anggota mengelola paling sedikit 10 keramba. Semuanya untuk budidaya lele.
”Pokdakan kami sudah masuk kategori unggul karena usaha kami sudah mandiri. Dari sejak awal, kami mandiri dan tidak dibantu pemerintah. Jadi, ada atau tidak ada bantuan pemerintah, usaha kami tetap jalan,” katanya.
Menurut Asmuri, sudah banyak orang yang datang ke lokasi mereka untuk belajar budidaya lele. Siapa saja yang datang dan mau belajar diajari sampai bisa membudidayakan lele sendiri.
Oleh karena itu, akhirnya banyak terbentuk pokdakan baru. Saat ini setidaknya ada lima pokdakan di Tatah Belayung. Setiap pokdakan beranggotakan 10 orang.
”Budidaya lele di Tatah Belayung turut menciptakan lapangan usaha bagi masyarakat di daerah kami, memberdayakan masyarakat, dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat,” katanya.
Apresiasi
Pengakuan juga datang dari pemda setempat. Pada Selasa (13/6/2023), Wali Kota Banjarmasin Ibnu Sina meresmikan Tatah Belayung sebagai Kampung Usaha Ikan Lele.
Peresmiannya pada waktu itu ditandai dengan pelepasan 10.000 benih ikan kelabau dan ikan patin di aliran Tatah Belayung, yang kini lebih sering disebut Sungai Tatah Belayung.
Ibnu Sina mengatakan, perairan umum di Banjarmasin memiliki keanekaragaman hayati dan menjadi salah satu sumber protein hewani yang tinggi. Ia pun tidak ingin kawasan perkotaan yang memiliki sumber daya perairan untuk budidaya ikan justru mengalami persoalan tengkes (stunting).
”Perairan umum yang punya potensi perikanan haruslah dimanfaatkan untuk memenuhi gizi masyarakat setempat. Itu bisa lewat budidaya lele atau budidaya ikan yang lain,” katanya.
Kepala Dinas Ketahanan Pangan, Pertanian, dan Perikanan Kota Banjarmasin Makhmud mengatakan, ekosistem sungai perlu dijaga agar ikan-ikan sungai tidak punah. Selain itu, agar sungai juga bisa dimanfaatkan untuk kegiatan perikanan budidaya.
”Ekosistem sungai harus kita jaga dengan baik dan kita lestarikan,” ujarnya.
Kearifan lokal
Sebelumnya, Direktur Jenderal Perikanan Budidaya Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) TB Haeru Rahayu menyampaikan, dua di antara tiga program terobosan KKP terkait ekonomi biru ada di sektor perikanan budidaya. Salah satunya adalah pembangunan kampung-kampung perikanan budidaya berbasis kearifan lokal.
Menurut Haeru, subsektor perikanan menjadi harapan besar untuk meningkatkan ketahanan pangan, menciptakan lapangan kerja, dan mendorong pertumbuhan ekonomi. Namun, persoalan di lapangan adalah masih tingginya kebutuhan pakan, yakni 70-80 persen.
Untuk itu, harus ada strategi yang baik. Pertama, strategi pengembangan pakan mandiri. Kedua, pengembangan bahan baku pakan. Ketiga, pengendalian pakan ikan.
”Kalau ketiga strategi itu bisa diimplementasikan dengan baik, saya yakin sektor kelautan dan perikanan, khususnya perikanan budidaya, akan mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat,” katanya.
Pembudidaya lele di Tatah Belayung pandai memanfaatkan sampah menjadi berkah. Bumi ikut bahagia ketika mereka mendapat untung berlimpah.