Dampak perubahan iklim memicu musim ikan yang tidak menentu hingga membuat produksi dan hasil tangkapan menurun drastis.
Oleh
PRADIPTA PANDU MUSTIKA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Perubahan iklim telah mengakibatkan dampak yang signifikan terhadap sejumlah sektor, termasuk perikanan tangkap dan budidaya. Dampak dari perubahan iklim di Nusa Tenggara Barat bahkan memicu musim ikan yang tidak menentu sehingga membuat produksi dan hasil tangkapan menurun drastis.
Ketua Lembaga Pengembangan Sumber Daya Nelayan (LPSDN) Amin Abdullah mengemukakan, salah satu wilayah pesisir yang merasakan dampak dari perubahan iklim adalah Kabupaten Lombok Timur, NTB. Sebagai wilayah dengan panjang pantai seluas 220 kilometer dan jumlah nelayan mencapai 16.371 orang atau terbanyak di NTB, masyarakat di Lombok Timur sangat bergantung pada hasil perikanan.
”Jumlah nelayan di Lombok Timur terus mengalami penurunan dari tahun ke tahun. Data dari Dinas Kelautan dan Perikanan NTB, pada 2014 jumlah nelayan 16.415 orang dan pada 2018 menjadi 16.371 orang,” ujarnya dalam webinar bertajuk ”Dampak Perubahan Iklim terhadap Sektor Perikanan”, Rabu (6/4/2022).
Suhu tidak membuat nyaman ikan untuk bereproduksi. (Yonvitner)
Menurut Amin, penurunan jumlah nelayan di Lombok Timur ini tidak terlepas dari dampak perubahan iklim yang memicu musim ikan tidak menentu. Bahkan, meski sudah masuk musim tangkap, nelayan merasakan bahwa keberadaan ikan susah diprediksi.
Amin menjelaskan, pada tahun 1970 sampai 1990-an, musim ikan di Lombok Timur sangat jelas dan teratur, terutama untuk ikan-ikan pelagis yang merupakan hasil tangkapan utama nelayan kecil atau tradisional. Sebagai contoh, penangkapan cumi-cumi dilakukan dari November sampai April dan ikan tongkol pada Juni sampai Oktober.
Selain itu, dari bagan kecenderungan dan perubahan yang telah dipetakan, pada 1990-an musim ikan juga mempunyai waktu yang jelas dengan durasi 5-6 bulan. Akan tetapi, saat ini musim ikan harus menghitung hari pada setiap fase penangkapan.
”Jadi, sekarang paling tidak nelayan hanya memiliki durasi penangkapan selama tiga sampai lima hari. Kalau terlambat dari hari itu, nelayan sudah tidak bisa menangkap apa pun. Padahal, nelayan melaut saat sudah memasuki musim tangkap di bulan tertentu,” katanya.
Perubahan lainnya yang dirasakan nelayan akibat dampak dari perubahan iklim adalah produksi atau hasil tangkapan menurun drastis. Saat ini, hasil tangkapan cumi-cumi yang dijual ke tempat pelelangan ikan (TPI) maksimal 2-5 bakul seberat 20 kilogram. Beberapa hasil tangkapan juga hanya dijual di beberapa tempat pengasinan yang masih beroperasi.
Kondisi ini berbanding terbalik dengan 30 tahun lalu. Menurut Amin, produksi atau hasil tangkapan cumi-cumi saat itu cukup melimpah. Hal ini dibuktikan dengan banyaknya tempat pengolahan dan pengasinan yang terdapat di setiap sentara atau perkampungan nelayan.
”Dulu, lokasi penangkapan ikan berkisar di seputaran teluk, seperti Selat Alas, dengan jarak lokasi yang dekat. Sementara saat ini, lokasi penangkapan ikan, termasuk cumi-cumi, berada di luar daerah, bahkan masuk ke Sumba, Nusa Tenggara Timur,” ucapnya.
Kepala Pusat Kajian Sumber Daya Pesisir dan Lautan (PKSPL) IPB University Yonvitner mengatakan, perubahan iklim merupakan salah satu faktor yang menjadi penentu keberlanjutan perikanan. Oleh karena itu, indikator yang dipantau dan diamati dari faktor tersebut, antara lain, terkait dengan spesies, populasi, habitat, dan aktivitas perikanan.
Berdasarkan data dari PKSPL, kenaikan suhu memengaruhi persentase ikan matang gonad atau siap bertelur. Sebaliknya, persentase ikan matang gonad cenderung membaik dan meningkat pada suhu yang sesuai atau optimum dengan tingkat kematangannya.
”Artinya, suhu tidak membuat nyaman ikan bereproduksi. Bisa jadi stok ikan kita sedikit karena suhu sedang panas. Meski tidak signifikan secara statistik, 80 persen sudah terlihat bahwa suhu ini ada pengaruh. Oleh karena itu, para peneliti di bidang perikanan tetap harus mempunyai fokus terhadap perubahan iklim,” katanya.
Upaya penanggulangan
Tenaga Ahli Utama Kedeputian I Kantor Staf Presiden (KSP) Alan Frendy Koropitan mengatakan, saat ini pemerintah telah melakukan sejumlah upaya untuk merespons dampak dari perubahan iklim. Salah satu upaya tersebut adalah melakukan rehabilitasi mangrove seluas 600.000 hektar. Rehabilitasi ini penting mengingat mangrove merupakan ekosistem yang mampu menyerap dan menyimpan emisi karbon lebih banyak dari tumbuhan lain.
“Hasil kajian terbaru juga menunjukkan kemampuan mangrove menyerap emisi tidak hanya dari vegetasi permukaan tanah, tetapi juga di bawah sedimen. Dengan dasar ini, kita perlu memulihkan mangrove yang tengah menurun drastis,” ucapnya.
Selain merehabilitasi mangrove, pemerintah juga terus mengejar target penetapan kawasan konservasi perairan sebesar 10 persen dari luas perairan Indonesia. Hingga 2021, kawasan konservasi perairan yang sudah ditetapkan 75 kawasan dengan luas 28,1 juta hektar. Pada 2030, ditargetkan kawasan konservasi perairan sudah mencapai 32,5 juta hektar.
”Laut kita harus kuat dalam konteks konservasi dan perlu kolaborasi antara pemerintah daerah dan masyarakat. Model kelembagaan ini sedang kami gali dan elaborasi dengan Kementerian Dalam Negeri,” katanya.