Ditolak Warga, Peletakan Batu Pertama di Kantor Gubernur Papua Pegunungan Tetap Berlanjut
Masih ada sebagian masyarakat adat yang menolak pembangunan kantor Gubernur Papua Pegunungan di Distrik Welasi, Kabupaten Jayawijaya.
Oleh
NASRUN KATINGKA, FABIO MARIA LOPES COSTA, MAWAR KUSUMA WULAN
·3 menit baca
JAYAPURA, KOMPAS — Wakil Presiden Ma'ruf Amin diagendakan melakukan peletakan batu pertama pembangunan kantor Gubernur Papua Pegunungan di Distrik Walesi, Kabupaten Jayawijaya, pada Rabu (12/10/2023). Rencana pembangunan pusat pemerintahan daerah otonomi baru ini tetap dilanjutkan meski ditolak sebagian masyarakat adat. Alasan penolakan, pembangunan berada di areal perkebunan produktif.
Wakil Menteri Dalam Negeri John Wempi Wetipo, saat mendampingi Wapres Amin, menyampaikan, kegiatan peletakan batu pertama merupakan salah satu rangkaian dari lawatan kenegaraan orang nomor dua Indonesia tersebut di Papua pada 9-13 Oktober 2023.
”Pada prinsipnya kehadiran Pak Wapres tidak mungkin ada masalah (lahan), tetapi sudah clear (masalah penolakan warga),” kata John Wempi saat jumpa pers di Kantor Gubernur Papua di Jayapura, Papua, Selasa (10/10/2023).
Kendati demikian, jelang peletakan batu pertama di lahan seluas 108 hektar tersebut, masih ada perwakilan subsuku di Welasi yang menyatakan penolakan. Mereka juga turut melakukan advokasi dengan berbagai pihak, termasuk Komisi Nasional HAM.
Perkebunan rakyat
Dihubungi terpisah, tokoh pemuda masyarakat Walesi, Boni Lani, mengatakan, pihaknya tidak akan mengizinkan pembangunan perkantoran tersebut. Alasan utamanya, lokasi pembangunan kantor tersebut merupakan tempat perkebunan warga untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.
”Kami pastikan, saat ini kondisi dan situasi di sini aman terkendali. Tetapi, kami tegas akan terus menolak pembangunan ini,” tutur Boni.
Ia mengungkapkan, lokasi pembangunan kantor juga tidak sesuai dengan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten Jayawijaya. Sebab, lokasi tersebut merupakan kawasan hutan lindung dan areal perkebunan rakyat. ”Tidak mungkin kami bisa pindah ke lokasi perkebunan yang lain dengan bebas. Sebab, semua wilayah di daerah telah dimiliki setiap suku sebagai pemilik hak ulayat. Kami akan berjuang dengan bantuan para advokat untuk mempertahankan tanah ini,” ujar Boni.
Komisioner Mediasi Komnas HAM, Prabianto Mukti Wibowo, menyayangkan niat pemerintah tetap melanjutkan pembangunan tersebut. ”Saat melakukan verifikasi pada 4-6 Oktober 2023, kami langsung mengecek ke lokasi dan melakukan pertemuan dengan masyarakat dan Pemkab Jayawijaya. Padahal, ada lokasi lain yang bisa dipertimbangkan,” ujar Prabianto.
Dia menilai keputusan Pemprov Papua Pegunungan terkesan sepihak. Padahal, jika melihat aturan, kata Prabianto, Pemkab Jayawijaya lebih memiliki kewenangan dalam menentukan lokasi pembangunan.
Jika merujuk pada Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2022, Kemendagri diserahi kewenangan untuk bekerja sama dengan para bupati di provinsi baru melalui Kelompok Kerja III Satgas Pengawalan Daerah Otonomi Baru. Tugasnya mengatur anggaran, dana hibah, hingga lokasi kantor administrasi pemerintahan.
Kami pastikan saat ini kondisi dan situasi di sini aman terkendali. Tetapi, kami tegas akan terus menolak pembangunan ini.
Pemkab Jayawijaya, lanjut Prabianto, awalnya telah menawarkan dua lokasi di Distrik Hubikosi dan Distrik Muliama. Dua lokasi tersebut diklaim bukan merupakan lahan perkebunan warga sehingga tidak ada penolakan.
”Bahkan, dari pengamatan kami, lokasi yang ditawarkan itu sangat strategis. Maksudnya akses menuju kabupaten-kabupaten lain dalam lingkup provinsi lebih dekat, seperti mau ke Kabupaten Lanny Jaya, Tolikara, termasuk Yahukimo. Jadi, cukup ideal kalau dijadikan pusat pemerintahan provinsi,” ucapnya.
Prabianto mengatakan, di lokasi pembangunan tersebut terdapat sejumlah kelompok suku. Kendati beberapa suku menyetujui, masih ada mayoritas suku yang belum sepakat. Dia khawatir, jika pemerintah terus melanjutkan pembangunan, akan ada potensi konflik horizonyal antara dua pihak pro dan kontra.
”Apalagi, selama ini pemerintah terkesan berdialog dengan sebagian kelompok suku saja. Dengan demikian, konflik antarsuku ini bisa saja terjadi,” ujarnya.
Sementara itu, Penjabat Sekretaris Daerah Papua Pegunungan Sumule Tumbo menyatakan, pemerintah daerah telah mencapai satu kesepakatan dengan warga sehingga proses pembangunan akan segera dilakukan. Dia juga menambahkan, pembangunan fasilitas perkantoran di lokasi tersebut tidak hanya dari Pemprov Papua Pegunungan namun juga direncanakan sebagai lokasi Markas Polda Papua Pegunungan dan TNI.
”Lembaga pemerintah vertikal juga akan membangun kantornya di lokasi tersebut,” tambah Sumule.