Derita Petani Sultra Hadapi Ribuan Hektar Sawah Gagal Panen
Kekeringan lahan pertanian akibat kemarau panjang di Sulawesi Tenggara terus meluas. Banyak petani terpaksa berutang karena ribuan hektar gagal panen.
KENDARI, KOMPAS — Kekeringan lahan pertanian akibat kemarau panjang di Sulawesi Tenggara terus meluas. Sebanyak 1.177 hektar lahan alami gagal panen, bertambah ratusan hektar dalam dua pekan.
Jumono (46), Ketua Kelompok Tani Ujung Bulu, Bombana, Sultra, mengungkapkan, kekeringan itu menyebabkan gagal panen. Petani makin kesulitan memenuhi kebutuhan hidup keluarga.
Dari 42 hektar lahan sawah di kelompok itu, 10 hektar gagal panen. ”Selebihnya, kami panen dengan kondisi kurang air. Hasilnya jauh di bawah rata-rata,” kata Jumono, dihubungi dari Kendari, Kamis (5/10/2023).
Saat panen tahun-tahun sebelumnya, 1 hektar sawah bisa menghasilkan 5-6 ton gabah. Tahun ini, mereka hanya hasilkan 2 ton. Itu pun hanya setengahnya yang dapat dijual karena sebagian lagi untuk cadangan makanan di rumah.
Banyak petani yang berutang karena kondisi (kekeringan) ini.
Modal untuk menggarap 1 hektar lahan berkisar Rp 7 juta hingga Rp 10 juta. Meski harga gabah basah naik Rp 6.000 per kilogram, hasil panen masih jauh dari harapan. ”Bisa dihitung sendiri berapa selisihnya. Banyak petani yang berutang karena kondisi ini,” ujarnya.
Kondisi persawahan yang mengandalkan curah hujan sangat terdampak dengan kekeringan kali ini. Bantuan pompa dari pemerintah tidak bisa digunakan. Sebab, tidak adanya sumber air.
Kesulitan serupa terjadi di wilayah Konawe Selatan. Sukardi (54), Ketua Kelompok Tani Morini, Desa Lambakara, Lainea, menyampaikan, hanya sebagian kecil lahan dapat digarap di tengah kondisi kering. Petani tidak berani mengambil risiko menanam di lahan yang luas.
Ia hanya tanami setengah hektar dari luas empat hektar lahan yang dimiliki. Untuk mengairi sawah, ia pun bergantung pada mesin pompa. Karena menggunakan bahan bakar, ongkos produksi jadi makin tinggi. ”Dalam sehari membutuhkan bahan bakar Rp 65.000 dan itu sangat berat. Belum lagi biaya benih, pupuk, dan lainnya,” katanya.
Data Dinas Pertanian dan Peternakan Sultra, sawah terdampak kekeringan makin meluas. Hingga akhir September lalu, sebanyak 3.685 hektar sawah mengalami kekeringan. Sebanyak 1.177 hektar, di antaranya, gagal panen. Di luar jumlah ini, 1.223 hektar sawah lainnya terancam kering.
Baca juga: Terdampak Kekeringan, Ratusan Hektar Sawah di Sultra Gagal Panen
Jumlah sawah yang kering akibat kemarau panjang terus meningkat. Dua pekan sebelumnya, sawah yang terdampak kekeringan panjang 2.560 hektar, dengan 824 hektar sawah gagal panen.
Kepala Balai Proteksi Tanaman Pangan Sultra Eva Yanti Nurdin menuturkan, lahan yang terdampak kekekeringan terus meluas. Kondisi ini terjadi karena cuaca yang masih dalam pengaruh El Nino. Kemarau panjang terjadi sehingga daerah sentra pangan mengalami kekeringan. Sawah yang sebagian adalah tadah hujan pun kering kerontang.
”Wilayah yang paling terdampak adalah Bombana dengan total lahan 1.872 hektar, di mana 1.135 hektar di antaranya gagal panen. Menyusul wilayah Konawe Selatan dengan luasan 1.546 hektar, tetapi dengan lahan puso 10 hektar,” ujarnya.
Pihaknya berupaya mengatasi kekeringan panjang lewat bantuan pompa di sejumlah wilayah terdampak. Meski begitu, tidak semua lokasi bisa dibantu karena kurangnya sumber air.
Kepala Bidang Tanaman Pangan Distanak Sultra Hidayat menuturkan, masih sebagian lahan sawah dalam kondisi basah. Sebagian lahan juga masih terairi melalui bantuan pompa dan sumber irigasi.
Baca juga: Sumber Air di Sejumlah Daerah Produsen Beras Dekati Titik Kritis
”Hari ini kami kunjungan ke Konawe, dan kondisinya masih baik. Sebagian petani juga telah panen sehingga stok pangan di wilayah ini masih cukup. Semoga cuaca panas tidak berlanjut hingga musim tanam selanjutnya,” katanya.
Analisis suhu terbaru menunjukkan, anomali suhu permukaan laut Samudra Pasifik di indeks Nino 3,4 bakal melebihi 1,5 derajat celsius di akhir tahun dan bakal bertahan sepanjang musim dingin. Dengan perkembangan ini, diprediksi peristiwa El Nino tahun 2023-2024 mencapai tipe yang kuat, tetapi dampaknya di Indonesia bakal berkurang dengan masuknya musim hujan.
Koordinator Bidang Analisis Variabilitas Iklim Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), Supari, mengatakan, sejumlah lembaga meteorologi dunia telah memprediksi peluang El Nino berkembang menjadi tipe kuat. ”Untuk periode sampai November 2023, El Nino kemungkinan masih level moderat (menengah), tetapi NOAA telah menyatakan ada peluang lebih dari 70 persen El Nino bakal berkembang menjadi strong (kuat),” katanya.
Analisis terbaru mengenai perkembangan El Nino dilaporkan Kexin Li dari International Center for Climate and Environment Sciences, Chinese Academy of Sciences, dan tim di jurnal The Innovation Geoscience, edisi akhir September 2023. ”Kami memperkirakan kemungkinan terjadinya peristiwa El Nino pada tahun 2023/2024 menggunakan sistem prediksi ansambel (EPS) yang dikembangkan di Institute of Atmospheric Physics (IAP), Chinese Academy of Sciences (CAS),” tulis Li.
Baca juga: El Nino Diprediksi Mencapai Level Kuat di Akhir Tahun
Menurut Li dan tim, perkiraan terbaru yang dimulai pada bulan Agustus, anomali suhu hangat diperkirakan berkembang hingga indeks Nino 3,4 melebihi 1,5 derajat celsius di musim gugur dan dapat bertahan sepanjang musim dingin. Hampir pasti akan terjadi peristiwa El Nino (100 persen peluang), dengan 87 persen dari 100 anggota mendukung setidaknya tipe yang kuat,” katanya (Kompas, Senin 2/10/2023).