Pembuktian Lemah, Dua Rekanan AKBP Achiruddin Divonis Bebas
Majelis Hakim Pengadilan Negeri Medan tidak memperoleh keyakinan dari bukti yang diajukan jaksa. Dua terdakwa akhirnya divonis bebas.
Oleh
NIKSON SINAGA
·4 menit baca
MEDAN, KOMPAS — Dua terdakwa kasus perniagaan solar bersubsidi, yakni Edy dan Parlin, pimpinan PT Almira Nusa Raya, divonis bebas. Majelis Hakim Pengadilan Negeri Medan tidak memperoleh keyakinan dari bukti yang diajukan jaksa.
”Menyatakan terdakwa Edy dan terdakwa Parlin alias Alin tidak terbukti secara sah melakukan tindak pidana sebagaimana dalam dakwaan pertama dan dakwaan kedua,” kata Ketua Majelis Hakim Oloan Silalahi saat membacakan putusan, Senin (2/10/2023) sore.
Sebelumnya, jaksa penuntut umum dari Kejaksaan Negeri Medan yang dikoordinatori Randi Tambunan menuntut Edy dan Parlin masing-masing 4 tahun penjara dan denda Rp 50 juta subsider 3 bulan penjara. Edy merupakan direktur utama dan Parlin adalah manajer operasional di perusahaan penyalur solar nonsubsidi itu.
Jaksa menyebut Edy dan Parlin melakukan perniagaan solar subsidi bekerja sama dengan Achiruddin. Kasus itu diusut setelah penggeledahan gudang solar di dekat rumah Achiruddin pada kasus penganiayaan.
Menurut jaksa, Achiruddin membeli mobil boks Daihatsu Delta bernomor polisi BK 8085 MA lalu dimodifikasi dengan menambah tangki 1.000 liter. Mobil boks ini setiap hari berkeliling mengisi solar bersubsidi ke SPBU. Mobil yang dikemudikan sopir bernama Jupang itu juga mengangkut minyak konden atau minyak sulingan ilegal dari masyarakat di Langkat dan Aceh. Solar dipindahkan ke tangki di gudang milik PT Almira, di dekat rumah Achiruddin di Jalan Karya Dalam, Medan, lalu dijual dengan harga nonsubsidi.
Majelis hakim menilai, mobil boks tersebut tidak bisa jadi alat bukti yang kuat untuk menjatuhkan hukuman pidana kepada Edy dan Parlin. Mobil boks itu ditemukan di gudang PT Almira dalam keadaan rusak saat digeledah oleh penyidik Kepolisian Daerah Sumut.
Oloan melanjutkan, dalam persidangan terungkap bahwa PT Almira punya alat transportasi sendiri untuk mengangkut dan menjual solar nonsubsidi yang merupakan aktivitas utama usahanya. Namun, jaksa dinilai tidak bisa membuktikan hubungan antara mobil boks dan PT Almira.
Jaksa juga dinilai tidak bisa membuktikan adanya kerja sama antara PT Almira dan Achiruddin. Pengemudi mobil boks, yakni Jupang, juga tidak bisa dihadirkan dalam persidangan.
”Majelis hakim tidak memperoleh keyakinan dari bukti-bukti yang diajukan oleh penuntut umum. Terdakwa telah mengenakan alat komponen yang dimilikinya secara benar dan sah sehingga tidak ada penyalahgunaan niaga bahan bakar minyak solar bersubsidi,” kata Oloan.
Majelis hakim juga menilai, dakwaan kedua yang menyebut PT Almira melakukan pencemaran lingkungan di sekitar gudang solar tidak terbukti. Kandungan minyak di dalam lumpur yang ada di selokan di sekitar gudang PT Almira dinilai hanya bersifat sesaat.
”Tumpahan solar dalam selokan adalah tumpahan sesaat dan tidak menetap sehingga tidak terbukti terjadi pencemaran lingkungan sebagaimana ditetapkan dalam dakwaan,” kata Oloan.
Dalam berkas terpisah, Achiruddin telah dituntut 6 tahun penjara oleh penuntut umum. Achiruddin disebut membeli mobil boks tersebut untuk mengangkut solar dan menjualnya melalui PT Almira. Pembacaan putusan terhadap Achiruddin dijadwalkan pekan depan.
Atas putusan tersebut, jaksa Randi Tambunan dan Felix Ginting belum menyatakan responsnya akan mengajukan kasasi atau menerima putusan tersebut.
Pembuktian lemah
Direktur Lembaga Bantuan Hukum Humaniora Redyanto Sidi Jambak menilai, dua terdakwa bisa lepas dari tuntutan pidana karena pembuktian dari penuntut umum yang lemah. Jaksa tidak bisa menghadirkan saksi kunci, yakni sopir bernama Jupang yang membeli solar bersubsidi dari SPBU dan membawanya ke gudang PT Almira.
”Mobil boks, kan, tidak bisa berbicara. Harusnya jaksa berupaya menghadirkan Jupang dalam persidangan untuk menjelaskan bahwa dia membeli solar bersubsidi dan membawanya ke PT Almira. Kesaksiannya sangat penting untuk membuktikan hubungan antara mobil boks dan PT Almira,” kata Redyanto.
Menurut Redyanto, konstruksi peristiwa hukum dalam dakwaan jaksa sangat lemah karena tidak bisa menghadirkan saksi kunci. Meski demikian, majelis hakim seharusnya bisa mengembangkan dakwaan itu dan tidak membebaskan begitu saja kedua terdakwa. Apalagi, kejahatan perniagaan solar bersubsidi secara ilegal berpotensi merugikan keuangan negara dalam jumlah besar.
Kasus perniagaan solar diselidiki Polda Sumut saat menggeledah rumah Achiruddin dalam kasus penganiayaan yang dilakukan Achiruddin dan anaknya, Aditya Hasibuan, pada April lalu. Polisi menemukan gudang solar di dekat rumahnya.