BPJS Kesehatan Naikkan Tarif, Diskriminasi Pasien Diharapkan Tak Terjadi Lagi
Penyedia layanan kesehatan di Nusa Tenggara Timur mengapresiasi kebijakan tersebut sembari berjanji akan terus berbenah.
Oleh
FRANSISKUS PATI HERIN
·3 menit baca
KUPANG, KOMPAS — Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan menaikkan tarif jasa layanan yang dibayar ke fasilitas kesehatan dengan besaran rata-rata 25 persen. Kenaikan tarif dilakukan agar pengelola fasilitas kesehatan dapat memperbaiki mutu pelayanan kepada pasien. Penyedia layanan kesehatan di Nusa Tenggara Timur mengapresiasi kebijakan tersebut sembari berjanji akan terus berbenah.
Kenaikan tarif itu dikemas dalam acara peluncuran Transformasi Mutu Layanan Jaminan Kesehatan Nasional untuk seluruh Indonesia mulai Senin (2/10/2023). Di Jakarta, hadir secara langsung di antaranya Direktur Utama BPJS Kesehatan Ali Ghufron Mukti, Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin, dan Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Muhadjir Effendy.
Arfin Nalenan, Kepala Bagian Mutu Layanan Fasilitas Kesehatan Kantor BPJS Kesehatan Cabang Kupang, seusai mengikuti acara itu secara daring mengatakan, kenaikan tarif berlaku untuk pelayanan kesehatan di fasilitas kesehatan tingkat pertama seperti puskesmas dan juga fasilitas kesehatan tingkat lanjut seperti rumah sakit.
”Naik rata-rata 25 persen. Jumlah tersebut yang nanti akan dibayar BPJS Kesehatan kepada penyedia layanan,” ujarnya. Ia mencontohkan, jasa pelayanan pasien BPJS Kesehatan di tingkat puskesmas yang sebelumnya Rp 6.000 per orang akan dinaikkan hingga Rp 9.000 per orang.
Kenaikan tarif jasa layanan itu dilakukan demi mendorong penyedia layanan kesehatan semakin memperbaiki mutu pelayanan kepada peserta BPJS Kesehatan. ”Jadi, jangan ada lagi terdengar laporan bahwa pihak rumah sakit atau puskesmas melakukan diskriminasi pelayanan terhadap peserta BPJS Kesehatan,” ucap Arfin.
Kini, jika berobat ke fasilitas kesehatan tingkat pertama, pasien hanya cukup menunjukkan nomor induk kependudukan atau nomor Kartu Indonesia Sehat. Pasien tidak perlu lagi membawa fotokopi kedua kartu tersebut.
Selain itu, lanjutnya, di setiap fasilitas kesehatan akan ditempel tulisan berisi janji pelayanan kepada pasien. Jika pelayanan tidak sesuai dengan janji tersebut, pasien boleh melaporkannya kepada petugas BPJS Kesehatan secara langsung atau melalui telepon.
”Semua keluhan pasien akan kami tindak lanjuti dengan mendengar keterangan dari berbagai pihak terkait. Jika terbukti ada pelanggaran dari penyedia layanan kesehatan, kami akan memberikan teguran lisan hingga pemutusan kerja sama,” kata Arfin.
Berdasarkan data BPJS Kesehatan, fasilitas kesehatan di NTT yang bekerja sama dengan BPJS Kesehatan sebanyak 699 unit. Jumlah tersebut terdiri dari 421 puskesmas, 88 dokter praktik perorangan, 58 klinik pratama nonrawat inap, 29 dokter gigi, 18 rumah sakit kelas C, 18 rumah sakit swasta, dan 18 optik.
Jangan ada lagi terdengar laporan bahwa pihak rumah sakit atau puskesmas melakukan diskriminasi pelayanan terhadap peserta BPJS Kesehatan.
Selain itu, 16 klinik pratama rawat inap, 13 apotek, 6 rumah sakit kelas D, 5 rumah sakit kelas D pratama, 3 rumah sakit TNI, 2 klinik utama, 1 rumah sakit kelas B, 1 rumah sakit khusus nonjiwa, 1 rumah sakit khusus jiwa, dan 1 rumah sakit Polri.
Dihubungi secara terpisah, Ketua Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia Wilayah NTT Yudith Marietha Kota mengapresiasi kebijakan tersebut. Menurut dia, kenaikan jasa layanan kesehatan sudah seharusnya terjadi. ”Inflasi berulang kali. Sekarang harga alat kesehatan naik. Jadi, kenaikan tarif ini merupakan kabar gembira bagi kami,” katanya.
Ia pun mengingatkan para pengelola layanan kesehatan, khususnya rumah sakit, agar terus melakukan pembenahan. Disadari bahwa kebijakan BPJS Kesehatan itu semata demi meningkatkan mutu layanan. ”Mari kita berikan layanan yang terbaik bagi pasien. Jangan ada lagi diskriminasi,” ujarnya.
Namun, di sisi lain, masyarakat masih menunggu pembuktian dari perbaikan pelayanan di fasilitas kesehatan. Ambros Radja (45), warga Kota Kupang, menyebutkan, persoalan yang paling sering dialaminya adalah ketiadaan obat di rumah sakit. ”Pasien yang cari obat dari luar, padahal sudah bayar iuran BPJS Kesehatan,” katanya.
Ia berharap agar BPJS Kesehatan lebih tegas terhadap penyediaan layanan kesehatan yang melakukan diskriminasi terhadap pasien BPJS Kesehatan.