Pelajaran dari Relokasi PKL di Surakarta untuk Kasus Pulau Rempang
Konflik akibat rencana relokasi warga di Pulau Rempang memantik keprihatinan banyak pihak. Contoh baik dari relokasi ratusan pedagang kaki lima di Surakarta sekitar 17 tahun silam bisa menjadi pelajaran.
Rencana relokasi warga di Pulau Rempang, Batam, Kepulauan Riau, menjadi sorotan karena diwarnai bentrokan antara warga dan aparat keamanan. Padahal, Indonesia memiliki contoh baik ihwal proses relokasi yang berhasil dilakukan tanpa kekerasan. Hal itu terjadi 17 tahun silam di Kota Surakarta, Jawa Tengah.
Gegap gempita. Boleh jadi itu frasa paling tepat untuk menggambarkan suasana relokasi sekitar 900 pedagang kaki lima (PKL) dari kawasan Monumen 45 Banjarsari ke Pasar Klitikan Notoharjo di Surakarta pada 23 Juli 2006. Bukannya berselisih, pedagang dan pejabat pemerintah justru merayakan relokasi itu lewat kirab.
Tak hanya diikuti para PKL dan pejabat pemerintahan, kirab juga diikuti prajurit Keraton Surakarta, prajurit Pura Mangkunegaran, grup marching band, dan lainnya. Diiringi musik gamelan dan joli berisi makanan, para PKL berjalan kaki dari bekas lokasi menjajakan dagangannya menuju lapak anyar mereka (Kompas, 24/7/2006).
Dalam kirab itu, para pejabat mengenakan beskap dan menunggangi kuda, termasuk Wali Kota Surakarta Joko Widodo dan Wakil Wali Kota Surakarta FX Hadi Rudyatmo. Gubernur Jateng Mardiyanto juga turut hadir waktu itu.
Sementara itu, para PKL mengikuti kirab dengan kostum yang beragam. Sebagian dari mereka mengenakan pakaian adat dan kaus seragam komunitas PKL, tapi jauh lebih banyak yang tampil dengan baju ala kadarnya seperti saat sehari-hari mereka melapak. Pilihan itu untuk menunjukkan bahwa mereka adalah representasi dari pedagang kecil.
”Saya membawa identitas PKL 2000 sewaktu kirab. Ada ratusan orang yang ikut di kelompok kami. Padahal, kami adalah kelompok yang semula paling menolak penggusuran,” kenang Joko Sugiyarto (59), salah seorang pedagang, saat ditemui di lapaknya di Pasar Klitikan Notoharjo, Senin (18/9/2023).
Baca juga: Konflik Pulau Rempang, Pemerintah Diminta Hentikan Pengerahan Aparat
Joko menuturkan, nama ”PKL 2000” terinspirasi dari rencana pemerintah menggusur para pelapak yang mengemuka sejak tahun 1998. Wali Kota Surakarta saat itu, Imam Soetopo, menginginkan kawasan Monumen 45 Banjarsari bebas dari okupansi PKL sebelum pergantian tahun 2000.
Namun, para pedagang menolak keras rencana itu. Sebab, pemerintah dinilai tak berusaha mencarikan solusi untuk para PKL yang terdampak relokasi. Joko dan komunitasnya pun melawan. Unjuk rasa di balai kota sampai memajang corat-coret penolakan relokasi dijalani. Bahkan, Joko juga mengirim tulisan opini di koran lokal sebagai bentuk perlawanan. Relokasi yang direncanakan Imam pun gagal.
Saat masa kepemimpinan Imam habis, dia digantikan Slamet Suryanto sebagai Wali Kota Surakarta. Sama seperti Imam, Slamet pun gagal ”membersihkan” PKL dari kawasan monumen bersejarah yang dibangun untuk memperingati peristiwa Serangan Empat Hari pada 7-10 Agustus 1949 tersebut.
Pada 2005, Joko Widodo dan FX Hadi Rudyatmo hadir sebagai pasangan Wali Kota dan Wakil Wali Kota Surakarta. Pasangan Jokowi-Rudy juga membawa misi penataan di kawasan Monumen 45 Banjarsari.
Baca juga: Tidak Direlokasi Sementara, Pedagang Kaki Lima di Menteng Menganggur
Hal ini karena keberadaan PKL membuat kawasan itu semakin semrawut. Sepanjang kiri dan kanan jalan dipadati lapak pedagang sehingga jalanan tidak bisa dilewati kendaraan. Sejumlah masyarakat disebut merasa terganggu dengan kondisi semacam itu.
Duet Jokowi–Rudy mencoba pendekatan berbeda dalam proses relokasi. Sebelum relokasi dilakukan, para pedagang diajak bertemu hingga puluhan kali. Dua tempat dipilih jadi lokasi pertemuan, yakni Loji Gandrung (rumah dinas Wali Kota Surakarta) dan Balai Kota Surakarta.
Pada tahap awal pertemuan, jumlah pedagang yang bersedia datang hanya sedikit. Namun, lama-kelamaan pedagang yang ikut serta kian banyak, sampai berjumlah ratusan orang sekali pertemuan.
Di pertemuan awal, masih ada penolakan dari para pedagang. Namun, mereka mulai melunak setelah berembuk empat bulan lamanya. Setelah itu, kios Pasar Klitikan Notoharjo rampung dibangun dalam kurun waktu tiga bulan. Artinya, butuh waktu tujuh bulan sampai para pedagang benar-benar berhasil dipindah.
Joko Sugiyarto mengatakan, dalam setiap pertemuan itu, para pedagang selalu disuguhi makanan, mulai dari makanan ringan sampai makanan berat. Setelah bersantap bersama, perkara relokasi baru mulai dibahas.
”Diwaregi sik (Dibuat kenyang dulu) baru muncul logikanya. Setelah makan kenyang, baru ditanya-tanya. Kan, enak jadinya. Enak-enak semua makanannya. Dagingnya itu daging sungguhan. Ha-ha-ha,” kata Joko.
Kios gratis
Joko menambahkan, para pedagang berhasil diluluhkan hatinya setelah pemerintah memutuskan untuk memberikan kios di Pasar Klitikan Notoharjo secara gratis. Beberapa surat izin juga diurus pemerintah secara cuma-cuma, seperti surat izin usaha perdagangan (SIUP), tanda daftar perusahaan (TDP), dan lainnya. Kredit bergulir bagi koperasi bentukan pedagang pun dikucurkan sebesar Rp 200 juta.
Selama mediasi, kata Joko, pemerintah juga melibatkan pedagang dalam proses relokasi. Mereka pun ditanyai kebutuhan apa saja yang diperlukan. Untuk transportasi, misalnya, dibuatkan angkutan jalur khusus dari rumah-rumah para pedagang menuju pasar itu. Promosi keberadaan pasar juga digencarkan lewat berbagai media.
”Makanya, sewaktu kirab juga suasananya meriah. Teman-teman kelihatan semangat dan optimistis. Mereka optimistis dengan adanya tempat baru ini. Apalagi dari dulunya pedagang liar jadi mempunyai legalitas,” kata Joko.
Marsudi (52) merupakan pedagang lainnya yang mengalami relokasi tersebut. Dia menyebut, para PKL awalnya menolak relokasi karena tidak ada solusi yang ditawarkan pemerintah. Mereka baru menerima untuk dipindah setelah Jokowi dan Rudy datang menawarkan jalan keluar bagi para pedagang melalui dialog yang intens dan komunikatif.
Marsudi menambahkan, pasangan Jokowi-Rudy juga benar-benar turun ke bawah. Dia mengisahkan, pasangan itu pernah sekali waktu menengok langsung keadaan PKL di Monumen 45 Banjarsari sambil menaiki sepeda motor. Rudy mengemudikan sepeda motor, sedangkan Jokowi membonceng.
”Kami sadar itu tempat publik. Tetapi, bagaimana lagi? Kami rakyat kecil tidak punya pilihan lain. Yang penting hari ini bisa makan sudah. Misalnya dipindahkan, seharusnya solusi dari pemerintah. Bukan malah kami yang mencari,” kata Marsudi.
Setelah makan kenyang, baru ditanya-tanya. Kan, enak jadinya.
Pembagian peran
Mantan Camat Banjarsari, Surakarta, Hasta Gunawan, mengungkapkan, kesuksesan relokasi PKL itu didukung oleh pembagian peran antara Jokowi dan Rudy. Jokowi menjadi sosok yang membuat kebijakan, sedangkan Rudy banyak bergerak mendekati masyarakat.
Hasta menambahkan, Jokowi dan Rudy juga bersedia menyerap aspirasi pedagang dari puluhan kali pertemuan. Keduanya juga berusaha memosisikan para pedagang sebagai sesama manusia.
”Pak Jokowi menemukan solusi setelah melakukan pertemuan-pertemuan dengan pedagang. Tahu-tahu beliau mau menggratiskan kios dan malah jadi maskotnya beliau. Itu yang disebut pemerintah hadir karena pedagang ini kan tidak mampu,” kata Hasta.
Menurut Hasta, para PKL menjamur di kawasan Monumen 45 Banjarsari sejak tahun 1998 atau bertepatan dengan krisis moneter. Sebagian besar dari mereka terpaksa menjadi PKL gara-gara mengalami pemutusan hubungan kerja dan kebangkrutan usaha.
Sosiolog Universitas Sebelas Maret, Surakarta, Drajat Tri Kartono, mengatakan, relokasi PKL di Surakarta tahun 2006 itu berhasil karena ada kemauan dari pemerintah untuk berdialog dengan masyarakat secara intens.
”Pemerintah bisa merangkul dan memindahkan masyarakat dalam jumlah besar itu sebuah prestasi besar. Kekuatan utamanya adalah manajemen komunitas yang berjalan baik di lapangan,” kata Drajat.
Drajat menambahkan, dalam relokasi PKL di Surakarta terjalin kebersamaan antara para PKL dan pemerintah. Kebersamaan itu terwujud berkat kepercayaan yang muncul dari pertemuan yang dilakukan puluhan kali. Apalagi, janji pemerintah juga ditepati sehingga tak menimbulkan kekecewaan di kalangan masyarakat.
”Dengan adanya kepercayaan, masyarakat percaya betul bahwa pemindahan tidak mencelakakan mereka. Trust atau kepercayaan ini harus ada di antara masyarakat dan pemerintah,” kata Drajat.
Kepercayaan dan kebersamaan semacam itu juga diharapkan terjadi di Pulau Rempang. Seperti yang pernah terjadi di Surakarta, pemerintah diharapkan bersedia menjalin dialog yang intens untuk mendengar aspirasi masyarakat di Pulau Rempang.