Warga mengusung spanduk bertuliskan ”Kami Masyarakat Rempang Menolak Tegas Relokasi”. Warga berharap bukan mereka yang dipindah, melainkan pembangunan industri dalam Rempang Eco City.
Oleh
ZULKARNAINI
·3 menit baca
BATAM, KOMPAS — Suara penolakan relokasi dari warga Pulau Rempang, Kecamatan Galang, Kota Batam, Provinsi Kepulauan Riau, semakin nyaring. Ratusan warga menyatakan sikap untuk tidak bergeser sejengkal pun dari tanah warisan nenek moyang.
Pada Kamis (28/9/2023), lebih dari 200 warga berkumpul di Kampung Sembulang yang masuk target kawasan yang harus dikosongkan untuk pembangunan tahap awal Rempang Eco City. Warga menyatakan sikap menolak relokasi dengan memegang spanduk bertuliskan ”Kami Masyarakat Rempang Menolak Tegas Relokasi”.
Warga meminta bukan mereka yang dipindahkan, tetapi seharusnya lokasi proyek pabrik dan industrilah yang digeser. ”Kami tidak bersedia direlokasi dan tidak akan mendaftarkan diri ke posko relokasi,” ujar Baidah, warga Sembulang.
Baidah mengatakan, kegelisahan warga kian bertambah karena dihantui rasa terancam harus pindah. Terlebih dalam bulan ini posko keamanan masih berada di kampung. Polisi, TNI, dan tim BP Batam terus mengawasi kondisi kampung dan aktivitas warga.
Masalah batas waktu juga bikin warga resah. Awalnya batas akhir relokasi tanggal 15 September, lalu digeser tanggal 28 September. Belakangan Badan Pengusahaan Batam menggeser kembali tanpa batas akhir. Hal itu makin membuat situasi jadi tidak tenteram di kampung-kampung tua.
Warga lainnya, Raimah, mengatakan, tanah yang mereka tempati saat ini merupakan warisan nenek moyang yang telah dikelola puluhan bahkan ratusan tahun. ”Kami tidak ingin meninggalkan kampung, warga tetap menolak,” ujar Raimah.
Hingga Kamis, aparat keamanan masih berjaga-jaga di posko terpadu meski posko relokasi tutup. Adapun warga memilih tidak melaut dan berkebun. Warga berkumpul untuk bersiaga. Mereka mengantisipasi kalau ada penggusuran dadakan. Situasi itu membuat aktivitas ekonomi warga terganggu.
Baik digeser ataupun direlokasi, kami tidak akan meninggalkan tanah ulayat.
Kamis pagi, puluhan warga Sembulung Hulu memadati posko pendampingan hukum. Mereka mengadu merasa cemas dengan rencana pengosongan kampung untuk dijadikan lahan pembangunan proyek Rempang Eco City.
Warga Sembulang Hulu, Samsudar, menegaskan, meski pemerintah kini menggunakan narasi ”geser” bukan relokasi, warga Sembulang Hulu tidak mau pindah, baik dalam skema geser ataupun relokasi. ”Baik digeser ataupun direlokasi, kami tidak akan meninggalkan tanah ulayat,” kata Samsudar.
Sebelumnya, Kepala BP Batam Muhammad Rudi mengatakan, relokasi tetap harus dilakukan, tetapi lokasinya masih di Pulau Rempang, yakni di Kampung Tanjung Banun. Di Tanjung Banun akan dibangun sekitar 900-1.000 unit rumah permanen. Sedikitnya 300 hektar lahan di Tanjung Banun dipersiapkan sebagai lokasi perkampungan baru.
Lima kampung menjadi prioritas relokasi tahap awal, yakni Belongkeng, Pasir Panjang, Pasir Merah, Sembulang Tanjung, dan Sembulang Hulu.
Rudi mengatakan, pemindahan penduduk dari kampung itu harus dilakukan karena pihaknya akan menyerahkan lahan kepada pihak investor. Adapun kebutuhan lahan untuk tahap pertama 2.350 hektar. Lahan itu akan digunakan untuk pembangunan pabrik dan tower.
Rudi menuturkan, pihaknya tidak akan menyerah untuk membujuk dan menjelaskan kepada warga tentang investasi itu. Kehadiran investasi akan membuka peluang kerja dan meningkatkan kesejahteraan warga Rempang dan Kepulauan Riau.
Rudi menyebutkan tanah yang dikelola warga merupakan milik pemerintah. Meski demikian, pemerintah tetap akan membayar ganti rugi agar tidak ada hak warga yang terabaikan.
Sementara itu, Ismail, warga Sembulang, mengatakan, tanah yang dia tempati dan kelola merupakan warisan nenek moyang turun-temurun. Dia memiliki surat kepemilikan tanah yang dikeluarkan Kepala Desa/Kampung Sembulang pada tahun 1984. Bermodalkan surat tersebut, Ismail merasa punya hak atas tanah tersebut.
Ismail mengatakan tidak akan pindah dari kampung meski ditawarkan ganti rugi yang besar. Jika dipaksa mengosongkan, dia akan bertahan di rumah untuk mempertahankan harta bendanya.