Dudukkan Persoalan, Tangani Konflik Rempang dengan Mediasi Imparsial
Masyarakat tak menolak pemerintah membangun. Namun, dalam konteks Rempang yang telah dihuni lebih dahulu masyarakat kampung-kampung tua, maka lebih baik relokasi saja pembangunan industrinya.
Oleh
IRMA TAMBUNAN
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah didesak menangani konflik Rempang dan konflik agaria di sejumlah daerah melalui mediasi imparsial. Harus ada kemauan politik kuat yang mampu menembus kepentingan-kepentingan di bawah tangan.
Antropolog dari Universitas Indonesia, Suraya Abdulwahab Afiff, meminta pemerintah mengambil langkah tepat dan adil. ”Kalau mau membangun, ya, bangun saja, tetapi jangan menggusur,” katanya dalam diskusi ”Jurnalis Meliput Konflik Agraria” yang diselenggarakan oleh Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Jakarta, di Jakarta, Kamis (28/9/2023).
Ia menyebutkan, jika suatu lahan berkonsesi sudah lebih dulu ditempati rakyat, perlu ada penanganan konflik lewat mediasi imparsial. Jika tidak begitu, masalahnya tidak akan pernah selesai. ”Sebab, ada banyak kepentingan. Perlu mediasi imparsial sehingga pelan-pelan benang kusutnya bisa diurai,” ujarnya.
Relokasi saja industrinya, jangan masyarakatnya.
Anggota Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), Saurlin Siagian, mengatakan, konflik agraria sulit selesai jika masih menuruti kepentingan-kepentingan di bawah tangan. Apalagi jika menggunakan cara-cara kekerasan. Komnas HAM melihat tidak ada yang menolak rencana pemerintah membangun. Bukan pembangunannya yang dipersoalkan, melainkan penggunaan cara-cara penggusuran. ”Relokasi saja industrinya, jangan masyarakatnya,” katanya.
Peran jurnalis
Baik Suraya maupun Saurlin sepakat jurnalis dan media mengambil peran mengurai persoalan dan membawanya agar tercapai perubahan yang lebih baik. ”(Konflik Rempang) ini masalah apa, sih? Supaya kita bisa tahu solusinya apa, peran jurnalis untuk membuka duduk sebabnya,” ucap Suraya.
Saurlin mengatakan, saat ini ada 1.500 kasus konflik agraria yang masuk ke Komnas HAM. ”Tiap hari tambah empat (aduan),” ucapnya.
Sapariah Saturi, jurnalis Mongabay, mendorong media membangun kolaborasi ketika mengangkat konflik-konflik agraria. Kolaborasi bisa dibangun antarmedia, akademisi, peneliti, dan juga pihak lain. ”Media harus berani keluar dari ego eksklusif,” katanya.
Ia mendorong jurnalis agar mampu memahami konflik agraria tak semata konflik, tetapi terus menelusurinya ke hilir. Pembangunan sebuah industri yang sangat terkait dengan kepentingan pasar global sedikit banyak dilakukan lewat cara-cara penggusuran, pembukaan hutan besar-besaran, ataupun pencemaran perairan.
Ketua Komisi Pendidikan dan Pengembangan Profesi Pers di Dewan Pers, Paulus Tri Agung Kristanto, menelisik kecenderungan konflik agraria akan terus meningkat di tahun politik. Dewan Pers memang belum membuat ketentuan khusus terkait peliputan konflik agraria. Namun, sudah ada Peraturan Dewan Pers Nomor 2 Tahun 2022 tentang Pedoman Pemberitaan Isu Keberagaman yang bisa menjadi pegangan bagi jurnalis yang meliput konflik agraria.
Ia mendorong jurnalis menempatkan independensi dalam mengambil fokus liputannya. ”Namun, yang utama dalam peliputan konflik-konflik ini adalah memanggungkan kemanusiaan,” katanya.
Jangan sampai jurnalis menjadi corong salah satu pihak saja. Karena itu, segala informasi yang didapat harus bisa dianalisis. Dalam meliput konflik, jurnalis perlu menelusuri sejarah di belakangnya dan dasar-dasar hukum terkait sehingga jurnalis menjadi lebih kritis.