Mengintip Markas Pasukan Penjaga Hutan Lindung Batutegi
Pusat Riset Way Rilau yang dirintis sejak satu setengah dekade lalu adalah markas pasukan penjaga Hutan Lindung Batutegi, Lampung. Dari sana, berbagai aktivitas pengamanan hutan dan satwa liar bermula.
Mendung sudah menggelayut saat Aris Subagio (25) masuk ke dalam hutan untuk memasang kamera jebak di dalam hutan lindung Batutegi, Sabtu (16/9/2023) sore. Hari itu, ia bersama anggota tim lapangan dari Yayasan Inisiasi Alam Rehabilitasi Indonesia berjalan mengikuti jalan setapak yang menanjak.
Tim memilih rute terdekat untuk menunjukkan cara pemasangan kamera jebak karena hujan akan turun. Setelah berjalan sekitar 300 meter, Aris berhenti di dekat pohon merkubung (Macaranga gigantea). Jalur di depan pohon itu diperkirakan menjadi jalur satwa untuk melintas di dalam hutan.
Aris yang dibantu seorang asisten riset dan polisi hutan dari Dinas Kehutanan Lampung segera mengikat kamera jebak pada batang pohon merkubung. Kamera untuk memantau keberadaan satwa liar, seperti harimau sumatera, itu dipasang pada jarak sekitar 1 meter dari atas tanah dan menghadap ke jalur satwa.
Pemasangan kamera juga harus mempertimbangkan tinggi satwa serta kondisi lapangan. ”Petugas harus memeragakan gerak satwa liar. Misalnya harimau, berarti kami harus merangkak di depan kamera, lalu mengecek hasil fotonya. Ini untuk memastikan pemasangan kamera jebak sudah benar dan pas,” kata Aris.
Sembari mengecek kamera jebak, Aris menjelaskan, jalur satwa bisa dideteksi, antara lain dengan mengidentifikasi jejak satwa, berupa cakaran, feses, atau tapak kaki satwa. Jejak itu bisa dicari di tanah, akar atau batang pohon besar.
Selain itu, keberadaan satwa liar juga bisa dideteksi dari jenis hewan lain yang ada di sekitar lokasi. Keberadaan rusa atau babi hutan biasanya menjadi penanda harimau sering melintas di sekitar area hutan tertentu.
Aris adalah salah satu petugas lapangan yang selama ini membantu menjaga kelestarian Hutan Lindung Batutegi. Saat ini, Aris menjabat sebagai Koordinator Keanekaragaman Hayati YIARI.
Sebelum menjadi tim YIARI, ia menjalani tes fisik, penguasaan wilayah, dan pengenalan anatomi satwa liar. Setelah lolos tes, mereka juga harus menjalani pelatihan dalam program magang.
Menerjang jalan yang terjal dan curam sudah menjadi makanan sehari-hari para petugas hutan. Di dalam hutan, situasi bahaya bisa saja tiba-tiba terjadi, seperti bertemu dengan satwa liar.
Aris bercerita, ia pernah bertemu dengan beruang madu saat melakukan patroli bersama dua rekannya pada 2022. Aris sangat terkejut sekaligus takut melihat tubuh beruang madu yang lebih besar dari manusia.
Saat itu, Aris dan dua rekannya langsung lari menjauh dari beruang madu sekencang-kencangnya. Beruntung, beruang madu itu tidak mengejar. Satwa liar itu juga ternyata pergi menjauh saat melihat keberadaan manusia.
Petugas lapangan YIARI lainnya, Nedi (43), juga punya pengalaman menegangkan saat dikejar gajah liar. Kala itu, ia bersama tim sedang melepasliarkan kukang di dalam hutan Taman Bukit Barisan Selatan (TNBBS).
Kelompok gajah liar di TNBBS sebenarnya telah dipasangi kalung GPS untuk memantau keberadaannya. Namun, beberapa gajah kerap keluar dari rombongan sehingga pergerakannya tidak terpantau.
Kala itu, Nedi terkejut saat melihat seekor gajah liar melangkah dengan cepat dengan jarak hanya sekitar 50 meter dari hadapannya. Dalam kondisi panik, ia mengingat pelatihan tentang mitigasi saat bertemu gajah liar. ”Saat itu, saya lari berbelok untuk menghindari kejaran gajah. Alhamdulillah selamat,” kata Nedi sembari menarik napas panjang.
Petugas hutan memang harus selalu siaga dan memprediksi kondisi bahaya. Selain diserang satwa liar, ancaman lainnya adalah terkena ranjau atau jerat yang sering dipasang pemburu satwa liar. Karena itu, petugas hutan harus selalu fokus dan waspada saat bekerja.
Baca Juga: Hutan Lindung yang Dikelola Masyarakat Adat Terbukti Lebih Sehat
Pusat riset
Way Rilau semula hanya basecamp para petugas hutan, baik dari YIARI maupun polisi hutan dari Dinas Kehutanan Provinsi Lampung. Saat ini, Pusat Riset Way Rilau itu memang belum resmi diluncurkan. Akan tetapi, berbagai sarana dan prasarana yang menunjang kegiatan penelitian sudah tersedia di sana.
Pusat Riset Way Rilau terletak di dalam hutan Batutegi, dekat dengan aliran Sungai Way Rilau. Untuk sampai ke sana, petugas harus menyeberangi Bendungan Batutegi menggunakan perahu selama sekitar 1 jam. Selanjutnya, petugas harus melanjutkan perjalanan dengan berjalan kaki sekitar 1 jam untuk sampai di camp.
Petugas hutan memang harus selalu siaga dan memprediksi kondisi bahaya.
Dari situ, suara berbagai jenis primata, seperti siamang dan simpai, terdengar jelas pada pagi hari. Bahkan, satwa liar yang banyak bergelantungan di atas pohon juga bisa diamati dengan teropong.
”Dengan adanya stasiun ini, kami berharap kegiatan patroli kawasan dan monitoring keanekaragaman hayati menjadi lebih lancar dan sukses dalam mempertahankan keberadaan spesies-spesies yang ada di hutan ini. Selain itu, semoga semakin banyak penelitian yang bisa dilakukan di sini,” kata Senior Manager Program Resiliensi Habitat YIARI Robithotul Huda.
Selama ini, sudah banyak kegiatan penelitian yang dilakukan mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi, baik di Lampung maupun luar daerah. Tim YIARI juga secara rutin melakukan berbagai penelitian terkait kondisi flora dan fauna yang ada di Hutan Lindung Batutegi.
Pada Maret 2023, YIARi mengekspose hasil survei keanekaragaman hayati, khususnya mamalia terestrial yang ada di Batutegi. Survei yang dilakukan pada 2022 itu menggunakan metodologi pemasangan 47 kamera yang dipasang di lanskap hutan Way Rilau dan lanskap hutan Rindingan.
Hasil survei menunjukkan, terdapat 24 jenis spesies hewan mamalia dari 15 famili yang ada di lanskap Way Rilau Hutan Lindung Batutegi. Sejumlah satwa liar yang masih ditemukan, di antaranya harimau sumatera (Panthera tigris sumatrae), siamang (Symphalangus syndactylus), trenggiling (Manis javanica), dan landak malaya (Hystrix brachyuran).
Sementara di lanskap hutan Rindingan, teridentifikasi 16 spesies hewan mamalia dari 11 famili. Beberapa satwa langka yang masih terlihat, antara lain macan dahan sunda (Neofelis diardi), landak berbulu (Echinosorex gymnura), dan binturong (Arctictis binturong).
Menurut Huda, keanekaragaman hayati hewan mamalia di Hutan Lindung Batutegi tergolong tinggi. Keberadaan sejumlah satwa langka, seperti harimau sumatera, juga menunjukkan ketersediaan pakan hewan karnivora masih melimpah.
Sebelumnya, tim YIARI juga pernah melakukan identifikasi berbagai jenis burung liar yang ada di hutan tersebut. Setidaknya, ada 245 jenis burung liar yang berhasil didokumentasikan dalam kurun tiga tahun.
Richard Stephen Moore selaku Advisor bagi Program YIARI Wilayah Jawa Barat dan Lampung mengatakan, pengoperasian Stasiun Riset Way Rilau diharapkan dapat memperkenalkan Hutan Lindung Batutegi ke level internasional.
”Kami berharap stasiun ini bisa menjadi tempat bagi para peneliti dan periset untuk melakukan penelitian di kawasan ini sehingga bisa memunculkan publikasi penting tentang keanekaragaman hayati di Batutegi,” ujar Richard.
Sementara itu, Kepala Kesatuan Pengelolaan Hutan Batutegi Qodri menuturkan, kehadiran stasiun riset ini dapat membantu pengumpulan data keanekaragaman hayati. Selanjutnya, data tersebut dapat menjadi acuan bagi strategi pengelolaan wilayah tersebut.
”Semoga stasiun riset ini dapat menjadi sarana prasarana peneliti untuk menggali keanekaragaman hayati di wilayah ini. Kami sangat membutuhkan data keanekaragaman hayati, terutama terkait hewan kunci yang ada di hutan ini. Data tersebut dapat menjadi acuan bagi kami dalam rangka menjaga dan membuat strategi pengelolaan hutan ke depannya,” katanya.
Ia menambahkan, kegiatan YIARI di Batutegi sangat membantu pemerintah daerah dalam pengelolaan dan pengawasan hutan. Selama ini, kegiatan patroli polisi hutan Dinas Kehutanan Lampung bersama tim YIARI membantu memberantas jerat yang dipasang pemburu dan mencegah aktivitas pembalakan liar di hutan.
Baca Juga: Keanekaragaman Hayati Indonesia Masih Perlu Dieksplorasi