Bertahan dari Gempuran Pasar Daring, Kreatif Merangkul Kemajuan Teknologi
Perdagangan daring rawan memakan pesaingnya yang sekadar berbisnis konvensional. Butuh kreativitas dan pengalaman anyar untuk beradaptasi dan bertahan.
Aktivitas perdagangan daring kian marak. Penjual konvensional dan pusat perbelanjaan mulai khawatir ditinggalkan pelanggan. Kreativitas di media sosial diharapkan memberi semangat tetap bertahan. Jangan dilawan, ikuti saja arusnya agar tetap bisa bertahan.
Aktivitas jual-beli dari dunia maya dan konvensional berbaur di toko Youth Scarf, Balubur Town Square atau Baltos, Kota Bandung, Jawa Barat, Jumat (22/9/2023). Dina (22), pramuniaga, tengah beraksi di depan ponsel pintarnya. Dia tengah bertugas mempromosikan dan berjualan secara daring di salah satu media sosial.
Wajah dia semakin berbinar-binar karena pantulan lampu yang mengelilingi ponselnya. Dengan senyum yang tidak lepas dari bibirnya, Dina memamerkan kerudung yang menjadi produk unggulan toko ini.
”Ini contoh barang di etalase nomor tiga. Bahannya bagus dan adem. Ayo di tap tap lagi kak biar semangat,” ujar Dina sambil membentangkan kerudung di tengah toko yang berada di lantai D2 itu. Dia tidak berhenti berceloteh sambil sesekali menekan layar ponselnya untuk melihat komentar dari para pelanggan.
Baca juga: Menimbang Larangan Berdagang di Media Sosial
Meski penonton masih belum mencapai puluhan akun, Dina tetap bersemangat dan menunjukkan contoh barang yang sesuai dengan etalase virtual di akun media sosial mereka. Dia membentangkan beberapa kerudung yang sesuai dengan permintaan penonton untuk melihat contoh barangnya.
Nur (30), manajer toko, mengamati Dina sambil melayani pembeli yang lewat. Pusat perbelanjaan di Jalan Tamansari, Kota Bandung, ini masih ramai dikunjungi masyarakat, terutama di akhir pekan.
”Dia bisa ngomong terus sampai beres. Setiap karyawan dapat tugas live streaming sampai tiga jam. Selain di toko ini, kami juga mengadakan live di kantor,” ujarnya.
Penghasilan dari berjualan daring ini tidak main-main. Nur menyebut, kerudung yang terjual hampir 20.000 lembar sebulan. Jumlah ini jauh lebih tinggi dibandingkan penjualan langsung dari toko sekitar 10.000 lembar dalam kurun waktu sama.
”Biasanya kalau ada diskon, pembeli jauh lebih banyak. Harga kerudung bisa jadi setengahnya dan biasanya disubsidi sama aplikasi sehingga harganya bisa turun. Namun, toko offline tetap dibuka di sini karena masih ada pembeli yang ingin melihat barang secara langsung,” ujarnya.
Ani (45), konsumen offline, datang saat Dina masih sibuk siaran langsung. Ani menyentuh dan meraba satu per satu kerudung yang dipajang di toko itu untuk merasakan bahan kerudung yang cocok dengan kebutuhannya.
”Kalau tidak pegang langsung, kadang saya kurang yakin. Namun, saya juga sering belanja online kalau banyak diskon,” katanya sambil tertawa.
Menunggu pelanggan
Tengah menjadi tren, nyatanya belum semua penjual melakukan hal serupa. Reni Kumara (47), pemilik toko Kumara Batik, misalnya, memilih menunggu pelanggan meskipun tidak menentu. Dalam sehari, pengunjung yang datang hanya 15 orang.
”Kalau akhir pekan, bisa 20-30 orang. Kalau ada yang bilang pembelian langsung hanya orang tua, saya tidak melihat demikian. Masih ada anak muda yang berjalan-jalan di sini lalu mereka tertarik dan membeli. Kalau begitu, biasanya nanti akan datang lagi,” ujarnya di sela menjaga toko yang berada di lantai D1 Baltos ini.
Produk yang dijual Reni tidak hanya pakaian jadi, tetapi juga kain batik sebagai bahan dasar. Harga yang dijual juga bervariasi dari Rp 100.000 hingga Rp 800.000 per helai. Untuk kain batik, toko ini tidak hanya menyediakan batik tulis, tetapi juga batik cap dan print.
Baca juga: Inovasi dan Kreasi demi Menghidupkan Mal Sepi
Meskipun yakin bisnis konvensional bisa bertahan, dia tetap dihantui khawatir pembeli yang pergi dan tidak kembali karena cenderung berbelanja daring. Apalagi, dia mendengar isu terkait penjualan yang sepi di sejumlah pusat perbelanjaan, salah satunya Pasar Tanah Abang, Jakarta.
Berbagai pemberitaan dan media sosial menyebut pusat perbelanjaan terbesar di Asia Tenggara ini kini perlahan ditinggal pembeli. Lorong-lorong yang biasanya disesaki pembeli kini tampak sepi dengan lapak yang tertutup.
”Kalau melihat lapak-lapak yang tutup, ya khawatir juga. Namun, selama masih ada pembeli ke Baltos, saya rasa kami akan tetap bertahan. Informasi produk kami juga dibantu oleh pihak pasar melalui akun media sosialnya,” ujar Reni.
Promosi dan berbagai acara diharapkan bisa mempertahankan kunjungan warga ke Baltos. Apalagi, hingga saat ini pengunjung di pusat berbelanjaan ini masih menyentuh ribuan orang.
Para pengelola pusat perbelanjaan tidak bisa tinggal diam. Mereka harus jeli melihat peluang lain dengan membuka berbagai fasilitas hingga memanfaatkan asetnya di bisnis lain.
General Manager Baltos Della YR menyebut, kunjungan yang besar ini terlihat dari jumlah kendaraan yang masuk dan parkir setiap harinya yang mencapai 2.500 unit. Jumlah ini bahkan meningkat hingga dua kali lipat di akhir pekan.
”Tinggal hitung saja, satu kendaraan kadang membawa lebih dari satu orang. Jadi, kami masih yakin Baltos masih diramaikan pembeli meskipun sudah ada penjualan daring,” ujarnya.
Della tidak menampik jumlah penjual yang menurun. Namun, kondisi ini terjadi karena ekonomi yang terganggu di tengah pandemi Covid-19 yang berdampak pada penutupan sejumlah kios. Saat ini, kios yang masih beroperasi mencapai 950 unit dari total 1.250 kios.
”Jadi bukan hanya karena gempuran penjualan daring, tetapi lebih ke penjual yang tutup karena tidak mampu membayar sewa. Jumlah pengunjung yang menurun karena pandemi juga saat ini perlahan-lahan naik,” ujarnya.
Pertahankan pengunjung
Meskipun mengklaim belum merasakan dampak akibat penjualan daring, Della berujar, pihaknya tetap melakukan berbagai cara untuk mempertahankan pengunjung. Bahkan, mereka menggunakan media sosial untuk mengajak warga berbelanja di Baltos.
Apalagi, pusat perbelanjaan ini tidak hanya menyediakan produk, tetapi juga jasa yang berhubungan dengan bahan baku yang dijual di sana. Della memaparkan, komposisi penjual saat ini tidak hanya dititikberatkan kepada penjualan busana saja.
”Begitu tahu banyak penjualan daring, kami tidak diam begitu saja. Dulu, tenant di sini 70 persennya berasal dari fashion, sekarang jadi 40 persen. Selain itu, 20 persen lainnya jasa, 10 persen kuliner, sisanya untuk hiburan dan olahraga agar gedung ini tidak mati,” ujarnya.
Della berharap, pusat perbelanjaan yang menyediakan pilihan jasa pendukung ini bisa membuat pengunjung tidak perlu ke tempat lain. Posisi Baltos yang berada di dekat sejumlah kampus di Bandung juga membuat pusat perbelanjaan ini menjadi tujuan mahasiswa.
”Kadang ada mahasiswa yang butuh bahan baku dan jasa terkait tugasnya ke sini. Baltos juga menjadi pool (pemberhentian) beberapa travel dari sejumlah daerah, mulai dari Sumedang, Purwakarta, hingga Sukabumi,” kata Della.
Baca juga: Transportasi Publik hingga ”Tenant” Favorit Sulap Mal Sepi Jadi Ramai
Semua potensi ini dikukuhkan dengan promosi dari media sosial. Baltos beberapa kali mengundang selebgram atau influencer (pemengaruh) untuk mempromosikan kios-kios di sini.
”Media sosial membantu kami untuk menjangkau lebih banyak pengunjung. Kami juga bekerja sama dengan pedagang yang memiliki banyak pengikut media sosial untuk live saat kami mengadakan acara,” ujarnya.
Strategi yang ada diharapkan bisa membuat para penjual tetap bertahan di tengah gempuran penjualan daring. Kepala Dinas Perindustrian dan Perdagangan Jabar Noneng Komara Nengsih menyatakan, perubahan kebiasaan masyarakat ini perlu disikapi dengan penyesuaian.
Salah satu upaya mengajak orang-orang kembali ke pasar, ujar Noneng, adalah dengan revitalisasi dan menjadikan pasar sebagai tempat wisata. Dengan kunjungan tersebut, diharapkan ada keinginan warga untuk berbelanja.
”Perdagangan saat ini banyak yang menguntungkan di arah daring. Namun, saat ingin memastikan barang yang sesuai, orang-orang akan kembali lagi ke pasar. Kami juga memberikan bantuan keuangan untuk revitalisasi pasar dengan harapan bisa menjadi tujuan wisata,” ujarnya.
Baca juga: Mendag: Platform E-dagang Dilarang Sekaligus Jadi Produsen Barang
Pengamat ekonomi dari Universitas Islam Negeri Sunan Gunung Djati Bandung, Setia Mulyawan, berpendapat, perubahan kebiasaan masyarakat karena perkembangan teknologi tidak bisa dihindari. Selain memberikan kemudahan, belanja daring juga menawarkan harga yang lebih rendah sehingga lebih menarik.
Adanya berbagai pilihan ini membuka banyak pilihan kepada masyarakat sehingga membuka pasar persaingan sempurna. Menurut Setia, kondisi seperti ini sebaiknya dimanfaatkan secara bijak dan mendorong efisiensi harga agar bisa bersaing.
”Sekarang pola konsumen sudah berubah. Dulu, masyarakat pergi ke mal dan pusat perbelanjaan untuk hiburan dan belanja. Sekarang, sebagian ke mal untuk membandingkan harga, kemudian membelinya di tempat lain,” ujarnya.
Harga yang menjadi indikator daya saing ini, ujar Setia, mampu memengaruhi keinginan masyarakat untuk berbelanja daring. Karena itu, pedagang sebaiknya belajar dan mengikuti arus dengan ikut berdagang secara virtual di dunia maya.
”Manusia itu homo economicus, yang menggunakan preferensi ekonomi dan dipengaruhi oleh psikologi harga untuk membeli sesuatu,” katanya.
Para pengelola pusat perbelanjaan, kata Setia, juga tidak bisa tinggal diam. Dia berpendapat, pengelola harus jeli melihat peluang lain dengan membuka berbagai fasilitas hingga memanfaatkan asetnya di bisnis lain.
”Ada demand (permintaan) masyarakat yang hanya bisa dipenuhi dengan datang ke lokasi, seperti kesehatan hingga hiburan. Ada juga layanan publik lain yang bisa dicampurkan di pusat perbelanjaan dan saat mereka menunggu giliran, ada pilihan untuk berbelanja,” ujarnya
Di tengah gempuran perdagangan daring, para penjual konvensional tetap menaruh harap akan datangnya para pembeli. Namun, butuh pengalaman yang berbeda untuk ditawarkan, termasuk kepiawaian merangkul kemajuan teknologi dan menunggangi arus tren perdagangan kekinian. Jika hanya berdiam diri, perlahan pasar akan mati.
Lihat juga: Sepi Berkepanjangan di Ratu Plaza