26 September dan Jejak Abadi Kekerasan Polisi di Kendari
Empat tahun berselang, kasus kematian M Yusuf Kardawi, mahasiswa Universitas Halu Oleo, di Kendari, Sulawesi Tenggara, masih gelap. Sebuah ”dosa” kepolisian yang tidak kunjung terhapus.
Oleh
SAIFUL RIJAL YUNUS
·6 menit baca
KOMPAS/SAIFUL RIJAL YUNUS
Ratusan mahasiswa melakukan aksi protes peringatan kematian tiga tahun Randi dan Yusuf di Markas Kepolisian Daerah Sulawesi Tenggara, Kendari, Sultra, Senin (26/9/2022). Massa mempertanyakan kasus Yusuf Kardawi yang belum terungkap hingga saat ini. Randi dan Yusuf meninggal dalam aksi menolak RUU bermasalah, salah satunya RUU KPK, pada 2019 lalu.
Tepat empat tahun lalu, dua mahasiswa Universitas Halu Oleo, Randi dan Yusuf, tewas dalam aksi yang berujung bentrok dengan polisi. Meski kasus Randi yang tewas ditembak telah berkekuatan hukum tetap, kasus Yusuf masih menjadi misteri. Sebuah jejak kelam aparat kepolisian yang tidak kunjung terselesaikan.
Melalui rekaman video, Ramlan, ayah almarhum Muhammad Yusuf Kardawi, mengumumkan bahwa seorang anaknya meraih penghargaan di Sekolah Polisi Negara Kepolisian Daerah Sulawesi Tenggara. Ahmad Fauzy (18), anak ketiganya, lolos masuk polisi, bahkan meraih penghargaan Adi Laksana setelah mengikuti pendidikan. Penghargaan ini untuk peserta yang memiliki kelakuan baik selama proses pendidikan.
”Saya ingin menyampaikan terima kasih atas kabar dari pihak Polda Sultra bahwa anak kami, Ahmad Fauzy, mendapat penghargaan. Ini tentu prestasi pribadi anak kami dan kebanggaan untuk keluarga kami,” kata Ramlan.
Fauzy memang lolos seleksi Bintara Polri gelombang kedua 2023 ini. Ia lalu mengikuti pendidikan selama 50 hari di SPN Polda Sultra.
Saat dihubungi pada Minggu (24/9/2023), Ramlan menceritakan, Fauzy yang merupakan anak kembar, adalah adik dari Yusuf Kardawi. Yusuf anak pertama, sedangkan si kembar Fauzan dan Fauzy lahir setelahnya.
Setelah lulus SMA, Fauzy coba mendaftar sebagai calon perwira kepolisian. Di tengah jalan, Ramlan melihat persaingan ketat dan mengarahkan anaknya mengikuti seleksi bintara. Dalam proses seleksi, Fauzy mengikuti kursus selama beberapa bulan. Ia akhirnya bisa lolos.
KOMPAS/SAIFUL RIJAL YUNUS
Muhammad Yusuf Kardawi (19) terbaring tidak sadarkan diri setelah menjalani operasi sejumlah luka terbuka di bagian kepala di RS Bahteramas, Kendari, Sulawesi Tenggara, Kamis (26/9/2019). Yusuf mengembuskan napas terakhir pada Jumat dini hari.
”Kalau dibilang kelulusan sampai penghargaan ini karena ada sesuatu, kami tidak bisa larang orang berpikiran begitu. Tapi, usaha anak kami untuk bisa masuk itu tidak sedikit juga dan memang serius,” katanya, dihubungi dari Kendari.
Seturut dengan itu, Ramlan tidak lupa mengirimkan imbauan terhadap mahasiswa yang akan memperingati kasus kematian anaknya itu. ”Terkait kasus anak kami, Yusuf Kardawi, yang diperingati 26 September, kami mengingatkan, dalam menyampaikan pendapat kami berharap dilakukan secara tertib dan tidak melakukan perusakan terhadap fasilitas umum,” katanya.
Kalaupun menyuarakan pendapat, ia berharap hal itu dilakukan dengan dengan tertib, tanpa melakukan perusakan dan tidak menimbulkan korban lainnya.
Kasus kematian Randi dan Yusuf berawal pada Kamis, 26 September 2019. Saat itu, Randi dan Yusuf adalah bagian dari massa aksi penolakan RUU KUHP, RUU KPK, dan lain-lain yang dianggap kontroversial di Kendari. Ribuan orang mendatangi Gedung DPRD Sultra dan melakukan aksi yang berujung bentrok dengan kepolisian.
Dalam bentrok tersebut, Randi dan Yusuf menjadi korban kebrutalan aparat. Randi meninggal setelah terkena tembakan di ketiak kiri yang tembus ke dada kanan. Sementara Yusuf mengalami luka berat di kepala. Kasus Randi telah selesai di pengadilan. Terpidana adalah Brigadir AM. Ia divonis 4 tahun penjara. Menurut hakim, terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan melanggar Pasal 359 dan 360 KUHP. Namun, hingga kini, kasus Yusuf belum tuntas. Pelakunya belum diketahui.
KOMPAS/SAIFUL RIJAL YUNUS
Mahasiswa menonton film pendek terkait aksi September berdarah yang menewaskan dua rekan mereka, Randi dan Muhammad Yusuf Kardawi, di sekitar Polda Sultra, Jumat (25/9/2020) jelang tengah malam. Setahun sejak aksi berujung bentrok dengan kepolisian yang membuat dua mahasiswa meninggal tersebut, kasus itu belum terungkap jelas.
Berdasarkan temuan Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras), Yusuf juga terkena tembakan di kepala. Temuan itu diperoleh dari keterangan saksi mata yang tepat berada di samping Yusuf ketika kejadian berlangsung. Yusuf jatuh tersungkur di depan Kantor Disnakertrans Sultra, lalu seseorang yang diduga oknum aparat kembali datang memukul korban.
Setelah kejadian tersebut, Yusuf sempat diselamatkan dan dibawa ke rumah sakit. Di Rumah Sakit Bahteramas, Kendari, Yusuf bertahan beberapa jam dengan luka serius di kepala.
Kepala Bidang Humas Polda Sultra Komisaris Besar Ferry Walintukan beberapa waktu lalu menyampaikan, pihaknya saat ini terus menyelidiki tewasnya Yusuf Kardawi. Namun, aparat kesulitan memenuhi alat bukti dan saksi yang melihat langsung peristiwa meninggalnya Yusuf.
Sementara itu, dalam aksi mengenang tiga tahun kematian Randi dan Yusuf tahun 2022 lalu, Direktur Reserse Kriminal Umum Polda Sultra Komisaris Besar I Wayan Riko mengakui, kasus kematian Yusuf masih gelap. Penyebabnya, belum ada alat bukti yang menunjukkan bahwa kematian mahasiswa ini masuk ranah pidana.
”Sejauh ini baru ada keterangan dokter yang menjelaskan ada luka tidak beraturan di kepala korban. Itu, kan, harus diketahui apakah kena kayu, batu, terjatuh, atau seperti apa?” katanya.
KOMPAS/SAIFUL RIJAL YUNUS
Massa dari sejumlah kelompok mahasiswa bentrok dengan aparat saat melakukan aksi di Mapolda Sultra pada Senin (27/9/2021). Mereka menuntut polisi mengusut kematian Randi dan Yusuf secara jelas.
Hingga saat itu, 19 saksi telah diperiksa untuk mencari unsur pidana dari kasus tersebut. Namun, belum ada keterangan kuat yang menyebutkan Yusuf meninggal karena tindakan seseorang.
Salah satu hal utama yang membuat kasus ini semakin sulit adalah keluarga korban tidak mengizinkan otopsi jenazah. Padahal, otopsi bisa menjadi dasar awal untuk menelusuri kasus ini hingga terungkap jelas.
”Kasus ini tidak pernah ditutup, tapi memang masih dalam penyelidikan. Kalau keluarga korban bersedia (dilakukan) otopsi, kami sangat mendukung. Sama halnya jika ada keterangan saksi, silakan datang untuk memberikan kesaksian,” ucapnya.
Dihubungi terpisah, Wakil Koordinator Bidang Eksternal Kontras Andi Muhammad Rezaldy menilai, aparat kepolisian tidak serius dan tampak abai dari kewajibannya untuk mengungkap kasus ini. Sebab, sudah empat tahun berlalu, kasus ini tak kunjung tuntas. Dengan kewenangan yang dimiliki dan kelengkapan alat penyidikan yang memadai, seharusnya kasus ini mudah untuk dibongkar.
Selain harus menyelesaikan kasus ini secara tuntas, Polri juga harus melakukan evaluasi dan pengawasan yang ketat terhadap setiap anggotanya di lapangan. Utamanya, dalam penggunaan kekuatan ataupun senjata api. Tidak hanya itu, kepolisian juga tidak menoleransi tindakan anggotanya yang menggunakan kekuatan secara berlebihan dan tidak sesuai dengan prinsip proporsionalitas.
”Polri juga harus melakukan pemeriksaan dan audit senjata api dan amunisi secara berkala yang digunakan oleh anggotanya di lapangan sebagai bentuk tindakan preventif atas peristiwa lain yang dapat terjadi ke depan. Saya kira itu yang bisa dilakukan agar ’dosa’ polisi bisa terhapuskan,” tuturnya, Senin (25/9/2023).
Sepanjang 2022, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia menerima 3.190 aduan dari masyarakat. Instansi yang paling banyak diadukan adalah Polri, sekitar 27 persen dari aduan yang diterima atau 861 aduan.
Ketua Komnas HAM Atnike Nova Sigiro, dalam acara Peluncuran Laporan Tahunan 2022, Rabu (12/4/2023), mengatakan, selain banyak dari sisi kuantitas, kekerasan berlebihan yang dilakukan Polri juga menjadi kasus yang menonjol selama tahun 2022. ”Kekerasan Polri kepada warga Wadas (Jawa Tengah) dan Tragedi Kanjuruhan (Jawa Timur) termasuk kasus-kasus yang mendapat perhatian masyarakat,” kata Atnike.
Berdasarkan catatan Kompas, banyak pengaduan pelanggaran HAM oleh Polri yang diterima Komnas HAM beberapa tahun terakhir. Tahun 2021, dari 2.721 pengaduan, 24,3 persen merupakan kasus pengaduan terhadap instansi Polri. Pada 2020, dari 2.841 kasus, kembali Polri mendapat peringkat teratas dengan jumlah aduan 758 kasus atau 26,7 persen. Demikian juga pada 2019, Polri berada di posisi teratas dengan 744 kasus.
Ramlan melanjutkan, seperti orang lain di luar sana, ia dan keluarga besar tentu masih berharap kasus ini terbuka seterang-terangnya. Tidak hanya itu, pelaku dari kejadian yang menewaskan anaknya tersebut agar dihukum seberat-beratnya.
”Terkait otopsi memang belum kami persilakan. Kami orang Muna, pantang yang sudah dimakamkan diganggu lagi. Yang jelas, kami menaruh harapan besar di kepolisian untuk mengungkap kasus ini,” ujarnya.
KOMPAS/RADITYA HELABUMI
Penyidik KPK, Novel Baswedan; istri almarhum Munir, Suciwati; dan Koordinator Kontras Yati Andriyani (dari kiri ke kanan) turut memberi dukungan kepada orangtua almarhum Randi dan Yusuf Kardawi di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, setelah bertemu dengan pimpinan KPK, Kamis (12/12/2019).