Menandingi Irama Gelombang Selat Malaka
Ibarat sebuah kapal, Kepulauan Riau telah berhasil mengarungi badai pandemi Covid-19. Namun, rintangan terberat justru menghadang di laut yang tenang. Kewenangan pusat yang mencengkeram jadi penghambat.
Wajah Kepulauan Riau hari ini tidak lepas dari konflik agraria di Pulau Rempang, Batam. Masyarakat bukan menolak rencana pemerintah membangun. Warga hanya menolak rencana pemerintah yang ingin gusur kampung-kampung tua demi proyek Rempang Eco City .
Ketua Kamar Dagang Indonesia (Kadin) Kepri Akhmad Ma’ruf menyatakan, sejatinya tidak ada masyarakat yang menolak pengembangan ekonomi daerah. Yang terjadi di Rempang adalah penolakan terhadap penggusuran, bukan penolakan investasi.
Investasi harus tumbuh bersama warga, saling menopang satu sama lain.
Setiap investasi yang masuk perlu mendapatkan persetujuan dari masyarakatnya. Jangan sampai masyarakat malah disisihkan. Apalagi, jika yang disisihkan adalah masyarakat adat yang telah bermukim selama ratusan tahun sebelum republik ini berdiri.
Pemerintah pusat dan daerah segera mencari jalan keluar terbaik untuk menyelesaikan konflik Rempang. ”Investasi harus tumbuh bersama warga, saling menopang satu sama lain. Sebuah pohon harus tumbuh bersama, bila berdiri sendiri akan tumbang dihempas angin,” ucapnya, Senin (18/9/2023).
Pembangunan PSN Rempang jangan terburu-buru atau tanpa persiapan matang. Pembangunan ekonomi daerah perlu berjalan dalam perspektif daerah, jangan melulu dilakukan dari kacamata pusat.
Selanjutnya, yang menjadi pertanyaan, mengapa proyek Rempang terus didorong untuk berprogres, padahal bolak-balik dipersoalkan warga. Di sisi lain, persoalan labuh jangkar yang amat dibutuhkan oleh Kepri justru selama ini dihambat. Mengapa?
Setiap tahun lebih dari 100.000 kapal kargo melintas di Selat Malaka. Ironisnya, Kepri yang terletak di choke point perairan paling sibuk di dunia itu hanya menjadi penonton karena wewenang pemanfaatan ruang laut masih dikuasai pemerintah pusat.
Memasuki ulang tahun Kepri ke-21, Gubernur Kepri Ansar Ahmad, mengakui bahwa pemprov masih punya sejumlah pekerjaan rumah. Salah satunya soal rencana pemprov memungut retribusi labuh jangkar yang masih terganjal kewenangan pemerintah pusat.
”Hal ini menjadi atensi utama karena Kepri merupakan jalur masuk ALKI (Alur Laut Kepulauan Indonesia) I. Retribusi dari labuh jangkar seharusnya dapat jadi salah satu cara meningkatkan PAD (Pendapatan Asli Daerah),” ujar Ansar dalam pernyataan elektroniknya, Sabtu (16/9/2023).
Baca juga: Kehadiran Negara dalam Konflik Rempang
Berdasarkan data Pemprov Kepri, dalam sehari ada sekitar 1 juta gross ton (GT) kapal yang labuh jangkar di perairan Kepri. Jika pemprov dapat memungut retribusi labuh jangkar, ada tambahan pendapatan sekitar Rp 200 miliar per tahun.
Sebenarnya, retribusi labuh jangkar sudah pernah dipungut Pemprov Kepri pada Maret-Mei 2021. Namun, penarikan itu dihentikan Kementerian Perhubungan pada bulan berikutnya.
Pengajar Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Maritim Raja Ali Haji Tanjung Pinang, Bismar Ariyanto, menyatakan, dalam melaksanakan pungutan labuh jangkar, Pemprov Kepri berpegang pada UU No 23/2014 tentang Otonomi Daerah. Adapun Kementerian Perhubungan menggunakan UU No 17/2008 tentang Pelayaran.
”Ada tumpang tindih peraturan antara pemerintah pusat dan daerah sehingga terjadi penafsiran yang berbeda. Dalam pelaksanaannya, posisi pemerintah pusat lebih kuat sehingga daerah tidak dapat memungut retribusi labuh jangkar tersebut,” kata Bismar.
Ia menilai, pemerintah pusat tidak konsisten dalam menjalankan desentralisasi dan otonomi daerah. Peraturan perundang-undangan yang terkait dengan daerah, seperti UU No 17/2008 tentang Pelayaran, seharusnya menyesuaikan dengan UU No 23/2014.
”Dalam praktiknya, pemerintah pusat tidak melakukan penyesuaian di segala sektor. Kalau ada potensi ekonomi, sepertinya pemerintah pusat berat menyerahkan kewenangan kepada daerah,” ucap Bismar.
Baca juga: Kepri Targetkan Pendapatan Ratusan Miliar Rupiah dari Jasa Parkir Kapal
Pemprov Kepri akhirnya kalah karena Kemenhub lebih dulu mengambil retribusi labuh jangkar. Kemenhub telah memungut retribusi sejak 2017. Sementara Pemprov Kepri baru memulainya pada 2021.
Ironi kepulauan
Nilai PAD Kepri pada 2022 sebesar Rp 1,67 triliun. Jumlah itu 79,5 persennya berasal dari pajak kendaraan bermootor. Sementra PAD dari izin usaha perikanan hanya 0,08 persen dan pelayanan kepelabuhanan hanya 0,10 persen.
”Ini sangat ironis karena PAD Kepri dari sektor kelautan tidak sampai 1 persen. Padahal, wilayah Kepri 96 persen adalah laut,” kata Bismar.
PAD dari sektor kelautan akan meningkat andai saja pemerintah pusat memberi kewenangan kepada Pemprov Kepri untuk memungut retribusi labuh jangkar. Pendapatan dari labuh jangkar yang diperkirakan Rp 200 miliar per tahun akan berkontribusi 13,6 persen terhadap PAD Kepri.
Selain masalah labuh jangkar, Gubernur Ansar menyatakan, Kepri juga menghadapi ketimpangan ekonomi antarkabupaten/kota. Penyebab utama disparitas adalah konektivitas antarpulau yang hanya 44,25 persen.
Kota Batam dan Tanjung Pinang serta Kabupaten Bintan dan Karimun merupakan wilayah dengan pertumbuhan ekonomi tinggi. Adapun Kabupaten Lingga, Natuna, dan Kepulauan Anambas jauh tertinggal di belakang.
Ini sangat ironis karena PAD Kepri dari sektor kelautan tidak sampai 1 persen. Padahal, wilayah Kepri 96 persen adalah laut.
”Persoalan konektivitas harus segera diselesaikan agar pembangunan Kepri dapat adil dan inklusif,” ujar Ansar.
Baca juga: Mencari Figur Nakhoda ”Bumi Segantang Lada” Kepulauan Riau
Upaya meningkatkan konektivitas dilakukan pemprov dengan membangun lebih banyak pelabuhan dan meningkatkan kapasitas bandara perintis. Selain itu, pemprov juga berusaha melobi pemerintah pusat untuk menambah rute dan armada angkutan laut.
Ansar mengamini bahwa ekonomi di Kepri juga sempat ambruk selama pandemi Covid-19. Apalagi, Kepri sangat bergantung pada sektor manufaktur dan pariwisata. Ekspor dan impor lumpuh saat dunia menahan diri. Turis yang sebelumnya ramai bak laron pun ikut lenyap.
Meskipun terseok-seok, bahtera Kepri akhirnya selamat dari badai pandemi. Pertumbuhan ekonomi sempat minus 3,8 persen pada 2021, kembali tumbuh 5,09 persen pada 2022.
Pulihnya ekonomi berkat capaian vaksinasi yang tinggi. Selain upaya pemerintah, sektor swasta juga berkontribusi mendorong penanganan pandemi lewat penyelenggaraan vaksinasi massal dan bantuan alat-alat medis.
”Yang juga menjadi kunci pemulihan ekonomi di Kepri adalah bantuan subsidi bunga bagi pelaku UMKM (usaha mikro kecil menengah). Pelaku UMKM yang jumlahnya lebih dari 146.000 merupakan salah satu tulang punggung perekonomian,” katanya.
Pada 2022, Pemerintah Provinsi Kepri dan Bank Riau Kepri Syariah menggelontorkan Rp 19 miliar sebagai pinjaman berbunga nol persen bagi 2.000 UMKM. Adapun untuk 2023, pemprov menargetkan penyaluran bantuan untuk 1.000 pelaku UMKM.
Penguatan UMKM serta pembenahan di sektor kelautan diharapkan akan semakin mendongkrak kesejahteraan di Bumi Segantang Lada itu. Kepri yang terdiri dari 2.408 pulau selayaknya menjadi cerminan visi Presiden Joko Widodo tentang Poros Maritim Dunia.
Cita-cita itu satu tarikan napas dengan visi maritim yang diungkapkan Bung Karno tujuh puluh tahun silam. Di hadapan Sidang Parlemen tahun 1953, Presiden Soekarno menyatakan, ”Usahakanlah agar kita menjadi bangsa pelaut kembali. Ya, bangsa pelaut dalam arti seluas-luasnya.... Bangsa pelaut yang kesibukannya di laut menandingi irama gelombang lautan itu sendiri.”
Di Kepri, mimpi Soekarno jangan sampai kian terasa jauh. Jangan sampai timbul pertanyaan, bagaimana mau menjadi bangsa pelaut kalau masyarakat pesisir justru digusur? Bagaimana akan menandingi irama gelombang lautan kalau pusat dan daerah masih saja sibuk berebut wewenang?
Semoga ada keberpihakan dan keadilan. Selamat HUT Kepri....