Kepri Targetkan Pendapatan Ratusan Miliar Rupiah dari Jasa Parkir Kapal
Pemerintah Provinsi Kepulauan Riau menargetkan pendapatan Rp 200 miliar per tahun dari pungutan jasa labuh jangkar.
Oleh
PANDU WIYOGA
·4 menit baca
BATAM, KOMPAS — Terhitung mulai Rabu (3/3/2021), Pemerintah Provinsi Kepulauan Riau mendapat pungutan jasa Rp 700 per gros ton (GT) dari setiap kapal yang labuh jangkar di perairan dalam jarak 0-12 mil dari pantai. Dalam sehari, sedikitnya ada 1 juta GT bobot kapal yang parkir di enam titik labuh jangkar di Kepri. Artinya, Pemprov Kepri bisa mendapat Rp 700 juta per hari atau Rp 200 miliar per tahun.
Gubernur Kepri Ansar Ahmad mengatakan, sebelumnya biaya labuh jangkar dipungut oleh Kementerian Perhubungan. Sejak 2015, Pemprov Kepri berupaya meminta bagian dari pungutan parkir kapal itu karena berdasarkan Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, wilayah perairan 0-12 mil dari garis pantai saat surut terendah adalah kewenangan provinsi.
”Akibat pandemi Covid-19, pendapatan Kepri pasti akan menurun. Oleh sebab itu, pungutan labuh jangkar perlu disegerakan karena itu satu-satunya sumber pendapatan baru dalam jangka pendek yang kemungkinan bisa menyelamatkan APBD (Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah) Kepri,” kata Ansar saat meresmikan pungutan jasa labuh jangkar perdana oleh Pemprov Kepri di Pelabuhan PT Bias Delta Pratama Layup Anchorage Pulau Galang, Kota Batam.
Ia menjelaskan, mulai hari ini, Pemprov Kepri akan mendapat hasil pungutan Rp 700 per GT atas pemanfaatan ruang laut dari setiap kapal yang labuh jangkar di perairan 0-12 mil. Sementara Kemenhub juga tetap berhak mendapat pungutan dengan besaran yang sama kepada setiap kapal yang parkir sebagai kompensasi penggunaan alur pelayaran yang disediakan oleh pemerintah pusat.
Pada acara pungutan jasa labuh jangkar perdana itu, dalam sehari saja, Pemprov Kepri mendapat Rp 389 juta hanya dari satu titik labuh jangkar di perairan Galang. Selain di perairan Galang, masih ada lima titik labuh jangkar lain, yaitu di Pulau Nipah (Batam), Batu Ampar (Batam), Kabil (Batam), Tanjung Berakit (Bintan), dan terakhir di perairan sekitar Kabupaten Karimun.
Berdasarkan data yang dimiliki Pemprov Kepri, dalam sehari ada sekitar 1 juta GT kapal yang parkir di enam titik tersebut. Maka, Ansar menargetkan Pemprov Kepri harus mendapat minimal Rp 700 juta per hari atau Rp 200 miliar per tahun dari kegiatan pengelolaan labuh jangkar itu. Ia optimistis target itu dapat dicapai mengingat lokasi Kepri yang strategis di Selat Malaka.
Pada 22 Februari lalu, Komandan Gugus Keamanan Laut Komando Armada I Laksamana Pertama Yayan Sofiyan mengatakan, ada 49.731 kapal niaga yang melintas di Selat Malaka sepanjang 2020. Diketahui rata-rata bobot kapal niaga yang didominasi jenis tanker itu minimal 50.000 GT. Artinya, apabila satu hari saja ada 20 tanker labuh jangkar di perairan Kepri, target pemprov untuk memungut Rp 700 juta dari 1 juta GT kapal per hari akan tercapai dengan sangat mudah.
Sekretaris Daerah Kepri Arif Fadillah mengatakan, titik labuh jangkar di Kabil dan Tanjung Berakit akan dikelola oleh badan usaha milik daerah PT Pelabuhan Kepri. Sementara empat titik labuh jangkar lain sudah dikelola sejak sebelumnya oleh badan usaha pelabuhan milik negara dan juga pihak swasta. Sistem Administrasi Manunggal Satu Atap (Samsat) Laut juga segera dibentuk agar pembayaran retribusi lancar.
Direktur Eksekutif PT Bias Delta Pratama Layup Anchorage—yang mengelola labuh jangkar di perairan Pulau Galang—Ahmad Jauhari mengatakan, dunia usaha tidak keberatan dengan langkah Pemprov Kepri untuk memungut jasa parkir kapal tersebut. Jumlah retribusi yang harus ditetapkan tetap sama. Hanya saja, saat ini pembayarannya dibagi ke pemerintah pusat dan pemerintah provinsi.
”Luas perairan untuk labuh jangkar di Pulau Galang mencapai 72 kilometer persegi. Yang paling kami butuhkan adalah bantuan dari pemerintah berupa jaminan keamanan dan kenyamanan agar lokasi ini semakin diminati oleh kapal-kapal dari seluruh dunia yang melintas di Selat Malaka,” ujar Ahmad.
Adapun Gubernur Ansar menambahkan, pemprov sedang berkoordinasi dengan Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi untuk menyediakan terminal logistik dan bahan bakar guna memasok kebutuhan kapal-kapal. Lokasi terminal itu direncanakan di tengah-tengah Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI) I, antara Kabupaten Bintan dan Kabupaten Natuna. Hal itu diharapkan bisa memaksimalkan potensi kelautan Kepri yang selama ini terabaikan.
Ia berharap, pendapatan dari pungutan jasa labuh jangkar serta terminal di laut akan berkontribusi besar terhadap pendapatan asli daerah (PAD) Kepri. Selama ini, PAD Kepri baru bisa menyumbang sekitar 30 persen dari total APBD sebesar Rp 1,2 triliun. Hal itu, menurut Ansar, menunjukkan ketergantungan Kepri terhadap pemerintah pusat masih terlalu besar. ”Badan usaha pelabuhan di Kepri ini seperti raksasa yang tertidur. Jika sektor kelautan dimaksimalkan, badan usaha pelabuhan bisa menjadi mesin penopang perekonomian Kepri,” ucap Ansar.