Tim Universitas Mataram Kembangkan Perekat Kaca dari Cangkang Kepiting
Tim dari Universitas Mataram, Nusa Tenggara Barat, berhasil mengembangkan perekat kaca dari cangkang kepiting. Perekat kaca itu diklaim kuat dan ramah lingkungan.
Oleh
ISMAIL ZAKARIA
·3 menit baca
MATARAM, KOMPAS — Potensi sumber daya bahari yang besar di Indonesia tidak hanya bisa digunakan untuk memenuhi kebutuhan pangan, tetapi juga dapat dikembangkan sebagai alternatif bahan baku pengganti produk berbahan sintetis. Potensi itu tampak dari pengembangan perekat kaca dari cangkang kepiting yang dilakukan tim Universitas Mataram, Nusa Tenggara Barat.
Tim yang terlibat penelitian untuk mengembangkan perekat kaca yang kuat dan ramah lingkungan itu terdiri dari dosen, peneliti, dan mahasiswa Program Studi Kimia Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (MIPA) Universitas Mataram (Unram). Penelitian itu juga melibatkan peneliti Badan Riset dan Inovasi Nasional serta dosen Universitas Sejong, Seoul, Korea Selatan.
Ketua Kelompok Peneliti Bidang Ilmu Kimia Fisik dan Anorganik Fakultas MIPA Unram Sudirman mengatakan, penelitian tentang pengembangan perekat kaca itu sudah dipaparkan di The 5th International Conference on Chemical Science pada Agustus 2023. Hasil penelitian itu selanjutnya menunggu untuk dipublikasikan di jurnal bereputasi.
Menurut Sudirman, penelitian ini berangkat dari visi dan misi Fakultas MIPA Unram untuk mengeksplorasi sumber daya lokal, terutama limbah hasil laut. ”Awalnya kami meneliti kitin (komponen pembentuk kerangka luar pada kepiting, udang, dan lainnya) untuk komponen pembawa (campuran) obat,” katanya di Mataram, NTB, Kamis (21/9/2023).
Sudirman mengatakan, penelitian itu menemukan kitin ternyata membentuk kristal mirip jarum. Oleh karena itu, muncul ide untuk membuat perekat kaca dari kitin dengan meniru kaki cicak yang bisa menempel pada kaca dan tembok karena di kakinya ada nanosatae atau bulu-bulu halus.
Sejak Februari 2023, penelitian untuk mengembangkan perekat kaca berbasis nanopartikel kitin itu dimulai. Menurut Maria Ulfa, salah satu anggota tim peneliti, cangkang kepiting dipilih karena mengandung kitin terbesar dibandingkan dengan cangkang keluarga krustasea (udang-udangan) seperti lobster dan udang.
Sudirman menjelaskan, untuk mendapatkan nanopartikel kitin, cangkang kepiting tersebut dikeringkan terlebih dahulu, lalu dihaluskan hingga mendapatkan serbuk cangkang kepiting.
”Serbuk itu kemudian melewati proses deproteinasi (penghilangan protein) dan demineralisasi (menghilangkan mineral). Hasil akhirnya berupa nanopartikel dalam bentuk koloid,” kata Sudirman.
Setelah itu, berbagai analisis hingga uji rekat terhadap permukaan kaca dilakukan. ”Hasilnya sangat signifikan. Kuat rekat maksimumnya mencapai 1.226 megapascal. Artinya, sekitar 0,42 miligram nanopartikel kitin tersebut mampu menahan beban hingga 21 kilogram,” kata Sudirman.
Menurut Sudirman, dari hasil pengujian, juga diketahui nanopartikel kitin bekerja kuat pada arah tertentu saja. Hal itu sama dengan nanosatae pada kaki cicak dan tokek.
Terus berjalan
Sudirman menambahkan, hingga saat ini penelitian terhadap nanopartikel kitin dari cangkang kepiting masih terus berjalan. ”Setelah kaca, kami sedang mencoba mengembangkan untuk perekat ke bahan yang lebih luas seperti kayu, mika, dan besi,” katanya.
Sudirman memastikan bahan tersebut ramah lingkungan karena berbasis air. Selama ini bahan perekat yang banyak beredar lebih banyak sintesis atau berbasis minyak.
Bahkan, lem-lem sintesis itu juga kerap disalahgunakan. Selama beberapa tahun terakhir, misalnya, marak fenomena ngelem di kalangan anak muda. Hal itu karena kandungan senyawa pada jenis lem tersebut yang dapat memicu halusinasi.
”Jika bicara pendekatan kimia hijau atau green chemistry, orang-orang menghindari bahan-bahan beracun. Harapannya, penelitian ini bisa mendukung hal tersebut,” kata Sudirman.
Sekitar 0,42 miligram nanopartikel kitin tersebut mampu menahan beban hingga 21 kilogram.
Oleh karena itu, Sudirman menambahkan, selain mengembangkan penggunaan perekat pada komponen selain kaca, mereka juga mencari solusi bagi kelemahan perekat kaca ramah lingkungan ini.
”Kalau lem sintetis, lebih praktis karena tinggal oles dan tempel. Sementara dari nanopartikel kitin cangkang kepiting ini berbasis air sehingga harus menunggu lama karena lebih susah keringnya,” ujar Sudirman.