Kisah Orang Darat Tersisih di Tengah Pembangunan Pulau Rempang
Tinggal segelintir penduduk suku asli Orang Darat yang tersisa di Pulau Rempang. Rencana pembangunan besar-besaran mengancam mereka semakin dekat ke ambang kepunahan.
Orang-orang terakhir komunitas suku Orang Darat kian tersisih oleh rencana pembangunan besar-besaran di Pulau Rempang, Kota Batam, Kepulauan Riau. Pernah disingkirkan dari hutan di Pulau Batam, suku asli Batam yang nyaris punah ini sekali lagi terancam terbuang dari Pulau Rempang.
Lamat (65) duduk lesu di bangku halaman rumah. Kekhawatirannya terlihat jelas di balik pakaian dan topinya lusuh, serta kulitnya yang legam dan jenggot memutih.
Lamat merupakan segelintir Orang Darat yang tersisa di Pulau Rempang. Warga lainnya menyebut sebagai ”orang asli”. Ada juga yang menyebut ”orang hutan”. Mereka bermukim di Kampung Sungai Sadap, Kelurahan Rempang Cate, Kecamatan Galang.
Lamat baru saja kembali dari hutan bakau di dekat sungai yang berjarak 200 meter dari rumah. Tak satu pun kepiting diperolehnya. Beberapa waktu belakangan hewan artropoda itu makin sulit didapatkan.
Baca juga: Orang Darat Terakhir, Sinyal Punahnya Suku Asli di Pulau Batam
Namun, bukan persoalan kepiting sulit didapat yang membuat Lamat gundah akhir-akhir ini, melainkan soal rumah dan kebunnya yang terancam hilang oleh Proyek Strategis Nasional (PSN) Rempang Eco City di Pulau Rempang.
Proyek itu ditargetkan bisa menarik investasi hingga Rp 381 triliun pada 2080. Konsekuensinya, Pulau Rempang mesti dikosongkan. Ada 16 kampung tua di pulau itu yang akan terdampak relokasi, termasuk Kampung Sungai Sadap.
”Pening mikirkan. Entah di mana dipindah nanti. Kalau di Batam, tak mampu saya cari makan. Kita jalan pun tak pandai kalau di kota,” kata Lamat pelan dan terbata-bata di rumah beton bantuan pemerintah yang dihuni adik perempuan dan para keponakannya, Sabtu (16/9/2023).
Lamat sendiri tinggal di rumah kayu, tak jauh dari rumah adiknya. Istrinya yang mengalami kebutaan meninggal setahun lalu. Mereka tak punya keturunan. Tak jauh dari rumah Lamat ada rumah bantuan lainnya yang dihuni sang mertua.
Ketiga rumah itu berada di tengah kebun yang digarap Lamat dan keluarga besar. Lokasi ini terpisah jauh dari permukiman lainnya di Kelurahan Rempang Cate. Aliran listrik belum menjangkau ke sana. Mereka menggunakan pelita dan lampu panel surya bantuan untuk membantu penerangan.
Baca juga: Sifat Lugu Orang Darat, Sasaran Para Pemodal di Pulau Rempang
Jarak kebun Lamat dari Jalan Trans Barelang di kelurahan tersebut sekitar 1 km. Akses ke lokasi masih berupa tanah merah. Dari pusat Kota Batam, jaraknya sekitar 40 km.
Suku Orang Darat punya karakter pemalu. Mereka tidak terbiasa dengan orang luar, apalagi yang baru dikenal. Saat dikunjungi, Orang Darat biasanya memilih lari ke hutan. Kompas dapat berbincang dengan Lamat karena didampingi warga yang sudah mereka percaya.
Di kebun garapan keluarga Lamat seluas 3 hektar itu terdapat beragam jenis tanaman, seperti kelapa, mangga, petai, cempedak, pinang, dan rambutan. Sebagian pohon telah ditanam puluhan tahun silam oleh ayahnya. Lamat dan keluarga juga menanam singkong dan pisang serta memelihara ayam kampung.
Hasil kebun itulah yang menjadi tumpuan hidup Lamat dan keluarga besar, selain dari hasil memelihara ayam dan menangkap kepiting. Hasil kebun yang rutin mereka jual adalah daun singkong seharga Rp 2.000 per kilogram dengan hasil panen sekitar 20 kilogram sekali sepekan.
Baca juga: Pulau Rempang, antara Kepentingan Bisnis dan Merawat Sejarah
Uang digunakan Lamat membeli beras dan makanan ayam peliharaannya serta kebutuhan lainnya. Jika tidak punya uang, ia makan dengan merebus hasil kebun, seperti singkong.
”Kami tak mau dipindah. Tak mau tinggal di rusun. Susah cari makan di tempat baru. Di sini, mau ambil apa saja sudah tahu di mana tempatnya. Di rumah, bisa masak dengan api kayu. Kayu tinggal ambil di kebun,” kata Lamat.
Kegelisahan serupa diungkapkan Tongku (37), keponakan Lamat. Sehari-hari, Tongku beserta istri (perempuan Sunda), anak-anak, ibu, dan adiknya menggantungkan hidup dari hasil kebun dan mencari kepiting serta lokan.
”Dapat berapa hasil kebun, saya bagi dua sama Cik Lamat. Di kota, mau kerja apa? Juga perlu banyak uang. Di sini, meskipun uang sedikit, kami tak perlu mikirkan beli gas, bensin, bayar listrik, dan lainnya. Kami pun sehari-hari takut keluar dari kebun,” ujar Tongku.
Riset etnografi
Peneliti asal Jerman bernama Hans Kahler pernah membahas tentang Orang Darat dalam riset etnografi dan linguistik. Kahler meneliti di Pulau Batam dan Pulau Rempang pada Juli-September 1939. Saat itu ia menemui 13 Orang Darat di Pulau Batam dan 17 Orang Darat di Pulau Rempang (Kompas, 31/3/2023).
Menurut Kahler, suku Orang Darat merupakan pemburu ulung. Kebanyakan memelihara anjing dan memiliki senjata sumpit serta tombak. Mereka mengonsumsi hampir semua jenis hewan di hutan, kecuali ular berbisa.
Sebelum menetap di Kampung Sungai Sadap, suku Orang Darat hidup nomaden di dalam hutan. Saat hutan di Pulau Rempang masih luas, mereka hidup berpindah-pindah sesuai ketersediaan pangan di sekitarnya.
Saat kecil, Lamat sempat mengembara di hutan bersama keluarganya. Mereka tidur di pondok beratap daun dan beralas kayu-kayu kecil, tanpa dinding. ”Paling lama dua bulan, pindah lagi ke tempat lain. Merata di Pulau Rempang ini,” katanya.
Peneliti di Pusat Riset Kewilayahan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Dedi Arman, Jumat (15/9/2023), mengatakan, pada mulanya suku Orang Darat tinggal di sejumlah titik di Kota Batam, baik di Pulau Batam maupun Pulau Rempang.
Namun, saat Pulau Batam dikembangkan oleh Otorita Batam (sekarang BP Batam) untuk pembangunan tahun 1973, mereka dipindahkan ke Pulau Rempang, bersama dengan suku lainnya di pulau itu.
Melalui program pemukiman kembali (resettlement) oleh Departemen Sosial itu, suku Orang Darat disediakan rumah, sekolah, dan fasilitas lainnya. Namun, tak berapa lama dimukimkan, mereka kembali masuk ke hutan karena mengalami gegar budaya.
”Setelah sekian lama, hutan habis untuk permukiman, mereka menetap di Kampung (Sungai) Sadap. Mereka tidak bisa berdampingan dengan warga lain. Karakter Orang Darat, cenderung tinggal di hutan, sedangkan orang Melayu di pesisir,” kata Dedi, penulis buku Orang Darat di Pulau Rempang: Tersisih Dampak Pembangunan Kota Batam (2023).
Terancam punah
Populasi Orang Darat kian menyusut dari tahun ke tahun dan sekarang terancam punah. Daya hidup mereka surut seiring dengan hilangnya hutan tempat mereka tinggal dan mencari makan.
Pada awal program pemukiman kembali tahun 1974, ada 20 jiwa Orang Darat dengan tiga keluarga di kampung itu. Tiga puluh tahun kemudian menyusut menjadi 13 jiwa dengan empat keluarga (Kompas, 18/7/2005).
Mundur lebih jauh, jumlah komunitas Orang Darat di Batam dan pulau-pulau sekitarnya mencapai 402 jiwa tahun 1926. Jumlahnya berkurang drastis hanya 57 jiwa tahun 1962.
Dedi mengatakan, komunitas Orang Darat di Pulau Rempang yang relatif murni hanya tersisa di Kampung Sungai Sadap. Jumlah mereka saat Dedi melakukan penelitian tahun 2021 tersisa 12 orang.
Selain penyakit, populasi Orang Darat menyusut karena kecenderungan bermigrasi setelah menikah dengan suku lain, termasuk suku Melayu. ”Mereka kemudian dianggap orang Melayu biasa,” kata Dedi.
Dari kunjungan Kompas ke Kampung Sungai Sadap, Jumat (22/9/2023), komunitas Orang Darat di kampung itu tinggal Lamat dan keluarga besarnya. Sedikitnya jumlah mereka yang menetap di sana sepuluh jiwa. Anggota keluarga lainnya tinggal di kampung lain atau merantau serta sudah berbaur dengan masyarakat luas.
Selain Lamat, di Kampung Sungai Sadap ada mertuanya, Mak Iyang; adik laki-lakinya, Opo (tidak menikah); adik perempuannya, Yang Adik; keponakannya, Tongku dan Baru (anak Yang Adik); serta empat anak Tongku dari pernikahan dengan perempuan Sunda.
Terakhir kali ada Orang Darat dari kelompok lain, kata Lamat, sekitar dua tahun lalu. Namanya Cong, seorang pria. Namun, Cong tidak menikah dan tidak punya keturunan. ”Cong hidup sendiri. Meninggal dua tahun lalu,” ujarnya.
Selama ini yang mereka (Orang Darat) takutkan adalah lahan mereka diambil orang.
Jangan direlokasi
Menteri Investasi Bahlil Lahadalia sebelumnya memastikan bahwa warga yang akan direlokasi akan diberikan hak-haknya. Pertama, ada tanah 500 meter langsung dengan alas hak. Kedua, rumah tipe 45 seharga Rp 120 juta. Ketiga, uang tunggu transisi sampai rumah selesai dibangun, per kepala Rp 1,2 juta dan Rp 1,2 juta untuk sewa rumah per keluarga.
Kemudian, kuburan para leluhur tidak akan dibongkar dan warga bebas berziarah kapan pun. Bahlil juga berjanji membuat museum untuk mengingat sejarah kampung tua terdampak proyek investasi.
Namun, menurut Dedi, relokasi bakal membawa ancaman lebih besar pada kepunahan Orang Darat. Selama ini, komunitas Orang Darat sudah tersisihkan di tengah pembangunan. Apalagi di antara mereka ada yang tidak punya keturunan atau tidak menikah. Tak bisa dibayangkan secepat apa ancaman kepunahan itu terjadi dengan adanya rencana relokasi warga Pulau Rempang.
”Selama ini yang mereka (Orang Darat) takutkan adalah lahan mereka diambil orang. Kebun mereka dikepung perkebunan dan peternakan ayam warga. Justru sekarang badai yang datang lebih kuat lagi (Rempang Eco City),” ujarnya.
Dedi menyarankan agar Orang Darat di Pulau Rempang tidak direlokasi. Suku Orang Darat adalah salah satu ikon Pulau Rempang dan menjadi kerugian besar bila eksistensi mereka hilang.
Jika dipindah ke hutan di pulau lain, kata Dedi, Orang Darat akan kesulitan beradaptasi karena kebiasaan hidup mereka telah bergeser. Sebaliknya, merelokasi ke permukiman lainnya juga bukan perkara mudah dengan karakter pemalu suku Orang Darat.
Selain itu, keberadaan warga kampung-kampung tua di Pulau Rempang bisa jadi penyangga eksistensi Orang Darat. Meskipun tidak hidup berdekatan, Orang Darat butuh warga lain yang membeli hasil kebun dan hasil tangkapan mereka.
”Kalau masih bisa berdampingan dengan Rempang Eco City, kan lebih bagus. Katanya, ada kluster cagar budaya (dalam PSN ini). Saya pikir akan cocok Orang Darat dan warga kampung-kampung tua di kluster itu. Bisa jadi daya jual juga,” katanya.
Kompas berupaya meminta tanggapan Kepala Biro Humas, Promosi, dan Protokol Badan Pengusahaan (BP) Batam Ariastuty Sirait terkait nasib suku Orang Darat yang terimbas PSN Rempang Eco City. Walakin, ia tak merespons pertanyaan yang diajukan meski sebelumnya ia sempat membalas pesan pembuka yang dikirimkan.
Pembangunan Rempang Eco City mestinya tak mengabaikan hak-hak dan keberadaan Orang Darat dan warga kampung tua. Hilangnya eksistensi mereka tidak hanya kerugian bagi bangsa Indonesia, tetapi juga bagi masyarakat dunia.