Korupsi dan Pertaruhan Marwah Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Aceh
Terbongkarnya kasus dugaan korupsi SPPD fiktif di lembaga KKR Aceh mengejutkan publik. Lembaga yang dimandatkan menyelesaikan kasus-kasus kekerasan masa lalu, justru tersandung kasus korupsi.
Oleh
ZULKARNAINI
·5 menit baca
Setelah kasus dugaan korupsi surat perintah perjalanan dinas atau SPPD fiktif di Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) Aceh mencuat para pihak mendesak agar para komisioner mundur. Publik juga mendesak kepolisian agar melanjutkan proses hukum. Kini marwah Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Aceh dalam pertaruhan.
Terbongkarnya kasus dugaan korupsi SPPD fiktif di lembaga KKR Aceh mengejutkan publik. Lembaga yang dimandatkan menyelesaikan kasus-kasus kekerasan masa lalu, justru tersandung kasus korupsi.
Kasus korupsi di KKR Aceh mulai ditangani oleh Polisi Resor Kota Banda Aceh pada Februari 2023. Korupsi tersebut dilakukan berjamaah oleh komisioner dan staf KKR Aceh. Totalnya ada 58 orang yang diduga terlibat dalam kasus korupsi tersebut.
Modusnya dengan cara membuat laporan penginapan hotel fiktif, penggelembungan harga, dan honor harian yang tidak sesuai aturan. Anggaran yang disalahgunakan itu bersumber dari Anggaran Pendapatan Belanja Aceh tahun anggaran 2022.
Hasil audit investigasi oleh Inspektorat Aceh nilai kerugian negara mencapai Rp 258 juta. Setelah melalui serangkaian pemeriksaan pada Kamis (7/9/2023) Ketua KKR Aceh, komisioner, dan staf mengembalikan kerugian negara Rp 258 juta kepada penyidik untuk disetor ke kas daerah. Pengembalian kerugian negara menjadi alasan kepolisian menghentikan penyidikan.
Penghentian penyidikan itu memicu tujuh lembaga swadaya masyarakat (LSM) di Aceh mendesak agar kasus itu tetap diproses hukum dan para komisioner mundur dari jabatan. Tujuh LSM tersebut adalah Masyarakat Transparansi Aceh, Koalisi NGO HAM Aceh, Lembaga Bantuan Hukum Banda Aceh, Kontras Aceh, Flower Aceh, Katahati Institute, dan Aceh Civil Society Task Force (ACSTF).
“Laporan fiktif adalah korupsi paling tidak bermoral. Sementara penghentian proses hukum menjadi preseden buruk dalam melawan korupsi,” kata Koordinator Masyarakat Transparansi Aceh, Alfian kepada wartawan dalam konferensi pers, Senin (18/9/2023) di Banda Aceh.
Koordinator Masyarakat Transparansi Aceh, Alfian menyampaikan pandangan terkait dugaan korupsi di Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) Aceh, dalam konferensi pers, Senin (18/9/2023) di Banda Aceh,
Alfian mengatakan, dalam kasus korupsi pengembalian kerugian negara tidak menghilangkan tindak pidana. “Jika mengembalikan kerugian menghapus pidana, akan banyak pelaku korupsi melakukan hal serupa,” kata Alfian.
Alfian mengatakan, alasan polisi menghentikan kasus dugaan korupsi perjalanan dinas KKR Aceh melalui mekanisme restorative justice dengan alasan telah dikembalikan kerugian negara/daerah, tidak masuk akal dan bertentangan dengan UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Alfian menambahkan modus korupsi laporan fiktif jamak terjadi dalam pengelolaan keuangan daerah. Alfian mendorong Pemprov Aceh untuk mengaudit biaya perjalanan dinas pada dinas/lembaga lain yang mengelola uang daerah
Sebelumnya Kepala Satuan Reserse Kriminal Polresta Banda Aceh Komisaris Polisi Aditiya Pratama menuturkan dalam kasus SPPD fiktif itu pihaknya telah memeriksa sejumlah saksi. Berdasarkan hasil audit pihaknya juga telah menyepakati bersama untuk dilakukan pengembalian oleh KKR dengan batas waktu dari Inspektorat selama 60 hari.
"Artinya jika memang dalam 60 hari tidak dikembalikan bisa jadi itu kita tindaklanjuti penyelidikannya. Namun pada hari ini Alhamdulillah dari pihak KKR telah mengembalikan seluruh dana yang diduga menjadi kerugian anggaran daerah," kata Fadillah.
Fadillah menjelaskan, akibat penyimpangan, perjalanan dinas fiktif itu bertentangan dengan Bab I Huruf G Angka 5, Huruf H Angka 5, Bab V Huruf A, dan Huruf L serta Bab XI Lampiran Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) Nomor 77 Tahun 2020 tentang Pedoman Teknis Pengelolaan Keuangan Daerah. Perjalanan dinas fiktif itu juga bertentangan dengan Pasal 2, Pasal 30, serta Pasal 34 Ayat (1) dan (2) Peraturan Gubernur Aceh Nomor 3 Tahun 2016 tentang Perjalanan Dinas, Lampiran I Huruf C Peraturan Gubernur Aceh Nomor 56 Tahun 2021 tentang Standar Harga Satuan Pemerintah Aceh Tahun Anggaran 2022 juga Diktum Keenam Belas Keputusan Gubernur Aceh Nomor 090/54/2016 tentang Satuan Biaya Perjalanan Dinas.
“Oleh karena itu, akibat dari penyimpangan dengan ketentuan yang berlaku maka dilakukan penyelidikan dan penyidikan serta audit oleh inspektorat,” kata Fadillah.
Fadillah mengatakan, dengan dikembalikannya uang negara maka penanganan kasus tersebut dilakukan penghentian penyidikan.
Mengkhianati publik
Direktur Koalisi NGO Hak Asasi Manusia - Aceh, Khairil Arista menuturkan KKR Aceh dibentuk untuk menyelesaikan kekerasan yang terjadi pada masa konflik. Pembentukan lembaga ini bagian dari perjuangan bersama terutama LSM yang bergerak di isu kemanusiaan.
KKR Aceh adalah lembaga independen yang dibentuk untuk mengungkapkan kebenaran, pola dan motif atas pelanggaran HAM dalam konflik bersenjata di Aceh.
Infografik Kasus Korupsi di Aceh yang Sudah Penetapan Tersangka
KKR Aceh dibentuk pada 2013 melalui qanun/perda. Komisioner KKR Aceh dipilih oleh Dewan Perwakilan Rakyat Aceh melalui serangkaian tes. Komisioner memiliki masa jabatan lima tahun. Saat ini, KKR Aceh telah mengumpulkan keterangan 5.000 korban konflik. Namun, belum ada tindak lanjut dari fakta-fakta yang dikumpulkan tersebut.
Khairil menyebutkan, pemenuhan hak korban konflik masih jauh dari harapan. Saat kinerja KKR Aceh belum berdampak pada korban, justru yang terjadi korupsi berjamaah.
Menurut Khairil, perilaku tersebut itu sama halnya mengkhianati publik, khususnya para korban konflik. “Para komisioner tidak memiliki integritas. Kami mendesak mereka untuk mundur,” kata Khairil.
Khairil menambahkan, korupsi adalah pengingkaran terhadap integritas dan dapat menurunkan kepercayaan publik. Khairil menuturkan karena korupsi dilakukan berjamaah maka secara kelembagaan KKR Aceh perlu dibenahi.
Dihubungi terpisah Ketua KKR Aceh Masthur Yahya mengatakan, pihaknya belum bersedia untuk memberikan keterangan terkait kasus dugaan korupsi dan desakan untuk mundur. “Tidak ada komentar,” kata Masthur.
Pasca kasus dugaan korupsi muncul ke publik, kini kinerja KKR Aceh dalam pertaruhan, antara membangun kembali kepercayaan publik dan menuntaskan pemenuhan hak korban konflik.