Mendesak, Pemulihan dan Pemenuhan Hak Korban Konflik Aceh
Sejauh ini negara hanya mengakui tiga peristiwa pelanggaran HAM berat di Aceh. Nama-nama korban yang akan mendapatkan pemulihan dan hak reparasi juga tidak dibuka untuk publik.
BANDA ACEH, KOMPAS — Pasca-perdamaian, Provinsi Aceh mengalami banyak kemajuan, terutama pembangunan fisik dan ekonomi. Namun, pemulihan dan pemenuhan hak korban kekerasan masih jauh dari harapan.
Pada Jumat (19/5/2023), bertepatan dengan 20 tahun penerapan darurat militer di Aceh, Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) Aceh, mahasiswa, dan komunitas korban konflik mengadakan diskusi publik dengan tema ”Refleksi 20 Tahun Darurat Militer di Aceh, Tantangan Pemulihan bagi Korban HAM Masa Lalu”.
Koordinator Kontras Aceh Azharul Husna mengatakan, perjanjian damai antara Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dan Pemerintah RI pada 15 Agustus 2005 harus disyukuri. Pascadamai laju pembangunan Aceh berjalan lebih cepat.
Baca juga: Pelanggaran HAM Berat Harus Diselesaikan
Dana otonomi khusus banyak digunakan untuk pembangunan fisik, seperti bangunan kantor pemerintahan, jalan, dan jembatan. Namun, Azharul menilai, justru pemulihan dan pemenuhan hak korban kekerasan terabaikan. ”Sampai hari ini korban belum dipulihkan, mereka masih trauma. Negara hanya memberikan harapan-harapan,” kata Azharul.
Negara tidak boleh memaafkan pelaku sebab itu adalah hak korban.
Azharul mengatakan, pada akhir 2022, negara mengakui terjadi pelanggaran HAM berat di Aceh, tetapi hanya pada tiga peristiwa, yakni kekerasan di Rumoh Geudong dan Pos Satuan Taktis dan Strategis di Pidie (1998), penembakan di Simpang KKA Aceh Utara (1999), dan kekerasan di Jambo Keupok Aceh Selatan (2003). Rangkaian kekerasan berat itu terjadi saat Aceh dalam masa pemberlakuan operasi militer.
Padahal, peristiwa pelanggaran HAM di Aceh saat itu terjadi di banyak tempat di Aceh seperti pembunuhan di Sungai Arakundo (Aceh Timur), penembakan di Dayah Tgk Bantaqiah Beutong Ateuh (Nagan Raya), penyiksaan di gedung KNPI (Lhokseumawe), dan penghilangan paksa di Timang Gajah (Bener Meriah).
Azharul mengatakan, pelanggaran HAM berat harus diselesaikan secara adil dengan memperhatikan suara para korban. Penegakan hukum dapat memberikan efek jera terhadap pelaku. ”Pelanggaran HAM berpotensi terus terjadi karena memang tak pernah ada pelanggaran berat HAM yang diselesaikan dengan tuntas,” kata Azharul.
Ketua Forum Komunikasi Korban dan Keluarga Korban Tragedi Simpang KKA Murtala mengatakan, semua korban menanti keadilan tidak hanya pemulihan trauma dan ekonomi, tetapi juga peradilan. ”Pertemukan pelaku dengan keluarga korban. Negara tidak boleh memaafkan pelaku sebab itu adalah hak korban,” kata Murtala.
Masa-masa penerapan darurat militer pada Mei 2003 hingga Mei 2004 adalah masa paling kelam di ”Tanah Rencong”. Pemerintahan sipil lumpuh dan pemerintahan dikendalikan oleh penguasa darurat militer, yakni Panglima Kodam Iskandar Muda. Selama darurat militer banyak peristiwa pelanggaran HAM terjadi.
Komisioner Komisi Nasional Perempuan periode 2015-2019, Azriana Manalu, mengatakan semua korban memiliki hak yang sama. Negara harus memastikan semua korban mendapatkan haknya.
Baca juga : Pendataan Korban Pelanggaran HAM Berat Masih Terkendala
Sejauh ini negara hanya mengakui tiga peristiwa pelanggaran HAM berat di Aceh. Nama-nama korban yang akan mendapatkan pemulihan dan hak reparasi juga tidak dibuka untuk publik.
”Jangan sampai para korban mendapatkan diskriminasi karena tidak semua mendapatkan hak,” kata Azriana.
Azriana mendorong lembaga masyarakat sipil di Aceh untuk mengawal proses pemulihan dan pemenuhan hak korban pelanggaran HAM.
Dalam perjanjian damai antara GAM dan Pemerintah RI, proses hukum pelanggaran menjadi salah satu poin yang disepakati. Namun, peradilan HAM tidak kunjung dibentuk. Penyelesaian nonyudisial kini diharapkan pada Komisi Kebenaran Rekonsiliasi (KKR) Aceh.
KKR diamanahkan untuk menyelesaikan persoalan konflik Aceh melalui nonyudisial. KKR telah bekerja keras mengumpulkan keterangan para korban konflik dengan pendekatan wawancara, kajian dokumen, dan investigasi.
Sementara itu, Ketua KKR Aceh Mastur Yahya mengatakan, mereka telah mengumpulkan data sebanyak 5.000 korban. KKR telah mengajukan data tersebut agar masuk dalam rencana penerima reparasi dari negara, tetapi data yang diajukan oleh KKR Aceh tidak diterima.
Mastur mengatakan, sebagian korban yang didata oleh KKR Aceh merupakan korban pelanggaran HAM berat yang diakui oleh negara. Mastur berharap korban yang telah mereka data masuk dalam daftar penerima reparasi dari negara. Dia khawatir jika data dari KKR berbeda dengan data Komnas HAM justru akan menimbulkan kecemburuan sosial antar korban dan menurunkan kepercayaan korban pada negara.
Baca juga : 5.000 Korban Konflik Aceh Diajukan Mendapat Reparasi Pelanggaran HAM Berat