Kolaborasi sejumlah pihak telah membawa BBM Satu Harga menjangkau pelosok Pulau Sumba. Berbagai tantangan seperti joki BBM perlu dicarikan jalan keluar agar keadilan energi benar-benar dirasakan masyarakat.
Oleh
FRANSISKUS PATI HERIN
·6 menit baca
Rabu (23/8/2023) siang, sepeda motor yang dikendarai Daud Horo (45) keluar dari stasiun pengisian bahan bakar untuk umum (SPBU) di Desa Anakaka, Kecamatan Kodi, Kabupaten Sumba Barat Daya, Nusa Tenggara Timur. Ia baru saja membeli 4 liter pertalite dengan harga Rp 40.000. Harga tersebut seperti yang berlaku di Jakarta, ibu kota negara, sekitar 1.500 kilometer arah barat Anakaka.
Cukup empat liter, tangki sepeda motor standar pabrikan itu terisi penuh. Daud kembali menggunakan tangki standar setelah ia mencopot tangki hasil modifikasi dengan daya tampung hingga 20 liter bahan bakar minyak (BBM). ”Karena sekarang SPBU sudah dekat,” ujarnya.
Daud dan banyak pengendara pernah memodifikasi tangki kendaraan menjadi lebih besar agar bisa menampung BBM untuk dijadikan stok. Kala itu, untuk mendapatkan BBM, mereka harus pergi ke SPBU di Tambolaka, ibu kota Kabupaten Sumba Barat Daya. Waktu tempuh hingga 2 jam.
Tak hanya itu, mereka harus tidur di emperan toko atau kios dekat SPBU agar bisa masuk antrean bagian depan ketika SPBU dibuka pukul 08.00 waktu setempat. Mereka berebut BBM di SPBU yang stoknya terbatas.
Jika terdesak kebutuhan, mereka membeli BBM eceran di sekitar SPBU dengan harga hingga dua kali lipat dari harga standar. ”Kami rugi waktu, rugi tenaga, dan rugi uang,” kata Daud, mengenang. Padahal, harga eceran di kota masih lebih murah dibandingkan dengan di pedalaman yang mencapai lima kali lipat dari harga standar.
Bahan bakar minyak (BBM) satu harga di stasiun pengisian bahan bakar untuk umum (SPBU) di Desa Anakaka, Kecamatan Kodi, Kabupaten Sumba Barat Daya, Nusa Tenggara Timur, pada Rabu (23/8/2023). Harga pertalite Rp 10.000 per liter.
Kini, tujuh bulan sudah, SPBU di Desa Anakaka hadir menerapkan BBM Satu Harga. Program tersebut merupakan kebijakan pemerintah pusat untuk menyamakan harga BBM di seluruh Tanah Air. Kebijakan itu berangkat dari mahalnya harga BBM di banyak daerah lantaran tingginya ongkos pengangkutan. BBM Satu Harga dimulai dari Papua pada 2017.
Keberadaan SPBU di Anakaka memberi manfaat bagi sekitar 10.000 jiwa yang tersebar di 15 kampung. Ekonomi di pelosok itu bergairah ditandai dengan usaha penggilingan jagung dan padi yang mulai tumbuh di sisi jalan. Juga ojek yang beroperasi hingga tengah malam.
Marselo (19) memutuskan jadi tukang ojek. Dengan modal Rp 1 juta, ia mengajukan kredit sepeda motor. Pendapatan per hari mencapai Rp 100.000 sudah cukup untuk makan dan membayar angsuran. ”Sebelumnya saya menganggur,” ujarnya. Penggerak usaha itu tak lain adalah BBM.
Berdasarkan data PT Pertamina Patra Niaga, selaku pelaksana program BBM Satu Harga, hingga akhir Agustus 2023, SPBU yang menerapkan BBM Satu Harga terus dibangun. Kini, di Kabupaten Sumba Barat Daya sebanyak 4 lokasi, di Provinsi NTT 32 lokasi, dan keseluruhan di Indonesia sebanyak 451 titik. Total kuota BBM Satu Harga yang telah disalurkan mencapai 1,4 juta kiloliter.
Rahman Pramono Wibowo, Vice President Retail Fuel Sales PT Pertamina Patra Niaga, mengatakan, sesuai rencana, SPBU BBM Satu Harga akan terus ditambah hingga 2024. Targetnya 573 unit. ”Agar akses dan keadilan energi dapat dirasakan oleh seluruh masyarakat Indonesia termasuk di pedalaman Sumba,” katanya.
Pembangunan SPBU BBM Satu Harga dimulai dari penetapan lokasi oleh pemerintah daerah, studi kelayakan oleh Pertamina, pelelangan kepada pihak swasta, pembangunan fisik, dan operasional. Proses itu membutuhkan waktu hingga satu tahun.
Melkianus Lubalu, pemilik tiga unit SPBU BBM Satu Harga di Kabupaten Sumba Barat Daya, menuturkan, investasi yang dikeluarkan untuk satu unit SPBU mencapai Rp 4 miliar. Salah satunya SPBU di Anakaka. Dalam kalkulasi Melkianus, bisnis BBM Satu Harga tidak menjanjikan untuk jangka pendek.
Namun, bagi dia, kolaborasi bersama Pertamina dalam program BBM Satu Harga adalah bagian dari semangat gotong royong demi terwujudnya keadilan energi bagi masyarakat di pelosok. ”Kalau pertimbangan untung dan rugi, saya tidak berani investasi di sini,” ujarnya.
SPBU BBM Satu Harga di Anakaka, yang hadir memberi solusi, rupanya masih menyimpan pekerjaan rumah yang mendesak diselesaikan. Di balik tembok pagar SPBU itu, belasan orang berjejer menyedot BBM dari dalam tangki kendaraan lalu dimasukan ke jeriken. Setelah itu, mereka kembali mengantre di SPBU. Mereka melakukan itu berulang sepanjang jam operasional SPBU. Ada yang menyebut dirinya sebagai joki BBM.
Asis (40), joki, mengaku dimodali seorang pengepul BBM dari wilayah pedalaman, sekitar 1 jam perjalanan dari Anakaka. Setiap hari ia mengumpulkan hingga 200 liter pertalite yang dibeli dengan harga Rp 2 juta. Selanjutnya, pertalite itu dijual di pedalaman dengan keuntungan hingga Rp 500.000. Jasa joki yang didapat Asis sebesar Rp 150.000.
”Ini sudah jadi pekerjaan saya,” ujarnya.
Menurut dia, dengan menjadi joki, ia membantu distribusi BBM ke pedalaman.
Proses penyedotan bahan bakar minyak (BBM) di balik tembok stasiun pengisian bahan bakar untuk umum (SPBU) di Desa Anakaka, Kecamatan Kodi, Kabupaten Sumba Barat Daya, Nusa Tenggara Timur, pada Rabu (23/8/2023). Para joki beralasan, hal itu dilakukan demi membantu masyarakat di pedalaman.
Sementara itu, Dwi Hayati Rambu Madik, pengelola SPBU Anakaka, mengatakan, kendati mengetahui adanya praktik joki tersebut, pihaknya tidak bisa berbuat banyak lantaran terjadi di luar areal SPBU. Petugas SPBU juga tidak bisa melarang warga yang ketahuan mengantre beberapa kali dalam sehari. Alasannya, untuk pertalite, tidak ada pembatasan kuota seperti pada solar.
Menanggapi hal tersebut, Taufiq Kurniawan, Section Head Communication Relation PT Pertamina Patra Niaga Jawa Timur-Bali-Nusa Tenggara, menambahkan, praktik perjokian tersebut sudah di luar tanggung jawab Pertamina. Dalam penyaluran BBM, tanggung jawab Pertamina hanya sampai ke SPBU.
Menurut Taufiq, pembatasan kuota pertalite bisa menjadi solusi untuk mengatasi praktik perjokian tersebut. Seperti pada solar, setiap pembeli harus terdaftar, dan melakukan scan barcode setiap kali membeli solar di SPBU.
Kuota solar untuk kendaraan pribadi maksimum 60 liter per hari, angkutan umum orang atau barang roda empat 80 liter per hari, dan angkutan umum roda enam paling banyak 200 liter per hari. ”Untuk pertalite, belum ada regulasinya,” kata Taufiq. Regulasi pembatasan merupakan kewenangan Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas Bumi.
Secara terpisah, Saleh Abdurrahman, anggota Komite Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas Bumi, menilai, praktik pemindahan pertalite dari tangki kendaraan ke jeriken dengan tujuan mencari keuntungan merupakan bentuk penyalahgunaan BBM Satu Harga. Ia setuju dengan solusi pembatasan kuota pertalite seperti yang berlaku pada solar. ”Segara akan diatur,” ujarnya.
Sambil menunggu regulasi pembatasan, Bupati Sumba Barat Daya Kornelius Kodi Mete berjanji akan menggandeng aparat keamanan untuk menertibkan penyalahgunaan BBM Satu Harga. Ia pun menyarankan agar SPBU BBM Satu Harga untuk daerah itu agar ditambah lagi minimal di dua titik.
Kolaborasi berbagai pihak telah membawa BBM Satu Harga menjangkau pelosok Kabupaten Sumba Barat Daya di Pulau Sumba. Sejumlah tantangan seperti joki BBM perlu dicarikan jalan keluar agar keadilan energi benar-benar dirasakan masyarakat yang membutuhkan.