Gaung Angklung dari Bandung Getarkan Semesta
Angklung, alat musik tradisional Nusantara asal tanah Pasundan, belum akan berhenti bergetar. Alunan suaranya kian nyaring membanggakan bangsa.
Perjalanan angklung menjelajahi Eropa pada pertengahan tahun 2016 selama sebulan dirangkum dalam 75 menit lewat film dokumenter. Sejumlah perjalanan yang terus dilakukan hingga tahun 2022 juga menunggu untuk diabadikan. Semua karya itu diharapkan menjadi pengingat dan penyemangat untuk terus bangga bersama budaya bangsa.
Bunyi bilah bambu yang beradu dalam puluhan set angklung menggema di teater bioskop Cinepolis, Istana Plaza Bandung, Jawa Barat, Minggu (10/9/2023). Irama harmonis yang dimainkan 35 anak muda Kota Bandung ini membawa rasa kagum di seantero ruangan.
Alunan angklung ini adalah rangkaian kenangan dari puluhan anak muda yang membangun mimpi dengan menjelajahi Eropa di tahun 2016. Semua kerja keras hingga dinamika perjalanannya terangkum dalam film dokumenter berjudul The Journey: Angklung Goes to Europe.
Baca juga: 33 Hari Angklung Taklukkan Eropa
Film berdurasi 75 menit ini menceritakan perjalanan 35 anggota Tim Muhibah Angklung yang mendapatkan kesempatan untuk ikut festival kebudayaan di Eropa. Mereka melintasi sejumlah kota besar di ”Benua Biru” dari 28 Juli hingga 28 Agustus 2016.
Dalam perjalanannya, tim ini tampil di empat festival budaya tradisional tahunan di Eropa, yakni kota Aberdeen di Skotlandia, Westerlo (Belgia), Cerveny Kostelec (Ceko), dan Zakopane (Polandia). Mereka juga diundang untuk bermain di sejumlah kedutaan besar dan konsulat jenderal RI, bahkan di pinggir jalan dari kota-kota yang disinggahi seperti Paris (Perancis), Hamburg (Jerman), dan Praha (Ceko).
Suara angklung menggema di setiap kota yang mereka lintasi menarik perhatian pejalan kaki, penonton festival, hingga tamu undangan dari setiap acara yang diikuti. Antusiasme tergambar dari wajah para bule yang menyadari kekayaan budaya bangsa yang berada ribuan kilometer dari tempat mereka berasal.
Wahid (63), penonton asal Bandung, tidak bisa menahan haru. Matanya berkaca-kaca melihat bunyi angklung disambut apresiasi dari masyarakat di belahan bumi lain. Sebagai penikmat angklung, rasa bangga bergemuruh di dadanya saat alat musik itu menggema di berbagai festival rakyat di tanah Eropa.
Kesedihan dan kelelahan dari para peserta yang berlatih sebelum menjelajahi Benua Biru itu membuat Wahid terenyuh. Dia sangat berterima kasih dengan perjuangan generasi muda yang merawat budaya tradisional.
Apalagi, dalam film itu, kearifan para leluhur di Nusantara ini bersanding setara dengan budaya-budaya tradisional di berbagai belahan bumi. Mereka mengorbankan waktu luangnya untuk berlatih agar bisa memberikan yang terbaik dalam memperkenalkan budaya bangsa.
”Kata luar biasa itu tidak cukup untuk menggambarkan perjalanan ini. Tidak mudah bagi anak-anak muda, apalagi usia sekolah untuk melakukan perjalanan, bahkan mengenalkan budaya ke tempat yang jauh,” ujarnya.
Baca juga: Tim Muhibah Angklung Juara Umum di Bulgaria
Perjalanan perdana
Ketua Tim Muhibah Angklung Maulana M Syuhada menyebut, film dokumenter ini merekam langkah awal kelompok yang bertujuan membumikan angklung di berbagai penjuru dunia. Perjalanan perdana ini diharapkan menjadi inspirasi dan menjaga semangat mereka untuk terus memperkenalkan angklung.
”Sayang sekali kalau angklung tidak diperkenalkan ke seluruh dunia. Itu yang saya rasakan sehingga membentuk tim yang awalnya untuk membuat film fiksi,” ujarnya.
Film fiksi ini, kata Maulana, diambil dari buku bertajuk 40 Days in Europe yang dia tulis sendiri dan terbit pada tahun 2007. Novel itu bercerita tentang sekelompok anak muda yang ingin menjelajahi Eropa untuk memperkenalkan angklung.
Seleksi pemeran film dilakukan sejak tahun 2015 dan 35 anak-anak muda, usia SMA dan perguruan tinggi, yang ada di seantero Bandung terpilih di sana. Mereka latihan angklung dari nol bersama-sama sambil mendalami peran. Sementara itu, Maulana dan rekan-rekannya mencari sponsor untuk membuat film.
Namun, setelah hampir setahun mencari, tim ini tidak kunjung mendapatkan dana. Maulana pun memutar otak agar usaha dan latihan anak-anak ini tidak berujung hampa.
”Bayangkan saja, sudah lebih dari setahun latihan, tetapi hasilnya sia-sia karena tidak ada sponsor,” ujarnya.
Akhirnya ide untuk membuat film dokumenter muncul di benak Maulana. Dia pun merancang perjalanan untuk mengikuti sejumlah festival rakyat di Eropa.
Maulana mengontak rekan-rekannya di sana untuk mencari tahu bagaimana cara mengikuti acara-acara tersebut. Tujuannya tetap satu, yakni membawa angklung keliling Eropa.
”Akhirnya ada sponsor yang mau memberikan dana untuk mengikuti festival dan membiayai perjalanan anak-anak. Mereka kembali bersemangat untuk berlatih dan memberikan yang terbaik,” kata Maulana.
Perjuangan anak-anak tersebut, mulai dari seleksi hingga berlatih di sela-sela waktu, berlanjut ke perjalanan mereka berkeliling Eropa. Semuanya direkam Maulana dan timnya sebagai bahan untuk membuat film dokumenter.
”Jadi kami merekam semua perjalanan, jumlahnya bisa sampai 4 terabyte. Bahkan, di awal-awal, film ini berdurasi tiga jam. Namun, para mentor film dokumenter mengingatkan, siapa yang mau menonton film dokumenter selama itu,” ujarnya sambil tertawa.
Lihat juga: Angklung Pemikat Dewi Kesuburan
Kebanggaan
Dalam perjalanan perdana ini, Tim Muhibah Angklung mendapatkan sejumlah prestasi, seperti peringkat kedua dalam 62nd International Folklore Festival di Cerveny Kostelec. Mereka membayangi tim dari Amerika Serikat yang mendapatkan dukungan tertinggi dari penonton festival.
”Kalau di Cerveny, sistem penilaiannya dari penonton. Jadi, kita menjadi yang terbanyak kedua setelah Amerika Serikat. Tim itu memang bagus, tetapi kita menampilkan yang terbaik,” ujarnya.
Mereka juga berupaya tampil maksimal di 48th International Festival of Highland Folklore di Zakopane, Polandia. Menurut Maulana, festival tersebut sangat bergengsi karena menjadi tempat pertunjukan budaya dataran tinggi yang ada di seluruh penjuru dunia.
”Di sana kami tidak mendapatkan yang terbaik. Namun, kami tidak berkecil hati karena sudah berusaha semaksimal mungkin. Penonton pun memberikan standing applause, sesuatu yang jarang terjadi saat peserta selesai tampil,” ujarnya.
Kebanggaan ini membuat Maulana ingin melangkah lebih jauh lagi. Perjalanan mereka tidak hanya selesai di Eropa. Di tahun-tahun berikutnya, Tim Muhibah Angklung kembali melakukan perjalanan ke belahan bumi lainnya.
Pada tahun 2018, tim ini kembali melakukan perjalanan ke Eropa Timur. Sementara di tahun 2022, mereka menyeberang ke Benua Amerika dan menggaungkan angklung di sejumlah wilayah Amerika Serikat, seperti New York, Washington DC, Chicago, Boise, Burley, dan Utah.
Tim Muhibah Angklung tampil di Magic Valley Folk Festival di Burley (Idaho) dan World Folkfest di Springfield (Utah). Dua festival ini termasuk acara budaya tradisional bergengsi di dunia. Di sana, angklung kembali memukau para peserta dan menjadi satu-satunya wakil dari Benua Asia.
Kelebihan film ini adalah genuine, tulus. Kalau dari segi teknik, masih perlu banyak perbaikan.
Edukasi budaya
Menurut Maulana, perjalanan Tim Muhibah Angklung lainnya juga akan dirangkum dan disajikan dalam film dokumenter. Dia berharap, film-film tersebut mampu menjadi pengingat untuk melestarikan angklung sebagai budaya Nusantara yang diakui dunia.
”Perjalanan ini juga memberikan arti bagi anak-anak. Ada yang mendapatkan cita-cita baru atau kembali bersemangat untuk sekolah lebih tinggi. Jadi, perjalanan ini menjadi pintu untuk membuka kesempatan-kesempatan lainnya,” ujar Maulana.
Sineas nasional, Amelia Hapsari, mengapresiasi peluncuran film dokumenter The Journey: Angklung Goes to Europe. Dia berujar, film ini memberikan refleksi terhadap keberagaman yang mampu membuat masyarakat dunia terpukau.
Usai menonton film tersebut bersama peserta lainnya, Amelia menangkap ketulusan dari film ini. Meskipun dengan peralatan yang seadanya, Tim Muhibah Angklung mampu menyampaikan pesan-pesan perjuangan dari peserta tim kepada penonton.
”Bagi saya, kelebihan film ini adalah genuine, tulus. Kalau dari segi teknik, masih perlu banyak perbaikan. Pengambilan gambar saja menggunakan kamera yang berbeda-beda lalu menggunakan teknik suara yang tidak direka ulang,” ujar Amelia yang memiliki pengalaman sebagai salah satu juri Oscar di tahun 2022.
Cerita yang menggugah dan edukatif, kata Amelia, menutupi kekurangan-kekurangan yang ada. Bahkan, dia merekomendasikan film ini menjadi materi pendidikan karena memiliki pesan penyemangat bagi generasi muda untuk mencintai budaya.
”Saat ini saya melihat ada permasalahan copyright (hak cipta) karena mereka memainkan lagu-lagu terkenal dengan angklung. Namun, jika untuk media edukasi, saya rasa tidak masalah. Bahkan, lebih baik lagi kalau ada yang mensponsori untuk membeli lisensi sehingga film ini bisa ditampilkan di mana saja,” ujarnya.
Film dokumenter masih menjadi salah satu cara jitu untuk menyampaikan pesan kepada masyarakat. Perjuangan para pemuda Bandung saat menggaungkan angklung ke Benua Eropa tersebut bisa menjadi pemicu semangat bagi generasi muda negeri ini untuk mencintai budaya sendiri.
Baca juga: Pergelaran Angklung dan Asa Mencipta Rekor Global