Kiai Abal-abal Pemerkosa Santriwati di Semarang Diancam 15 Tahun Penjara
Kiai abal-abal yang memerkosa santriwatinya ditetapkan sebagai tersangka dan diancam hukuman 15 tahun penjara. Orangtua diminta jeli memilih pesantren untuk anak-anaknya.
Oleh
KRISTI DWI UTAMI
·4 menit baca
SEMARANG, KOMPAS — Muh Anwar alias Bayu Aji Anwari (45), pimpinan pondok pesantren ilegal di Kelurahan Lempongsari, Kecamatan Gajahmungkur, Kota Semarang, Jawa Tengah, menjadi tersangka kasus kekerasan seksual kepada santriwatinya. Pria yang mengklaim sebagai kiai itu terancam 15 tahun penjara.
Kasus ini dibongkar MJ (17), warga Kabupaten Demak. Dia adalah salah satu korban sejak tahun 2020. Namun, MJ baru berani mengadu kepada orangtuanya dua tahun kemudian.
Orangtua MJ lantas melaporkan kasus ini ke Polrestabes Semarang. Polisi lantas dua kali berusaha memanggil Anwar. Namun, Anwar selalu mangkir.
Hingga akhirnya, Anwar, pemimpin Pondok Pesantren Hidayatul Hikmah Al Kahfi di Kelurahan Lempongsari, ditangkap di Kabupaten Bekasi, Jawa Barat, Jumat (1/9/2023).
Kepada polisi, Anwar mengaku korbannya berjumlah tiga orang. Satu masih anak-anak dan dua lainnya sudah dewasa.
Selama ini, pria yang merupakan warga Kelurahan Rejosari, Kecamatan Semarang Timur, itu melakukan kekerasan seksual di Ponpes Hidayatul Hikmah Al Kahfi dan di sebuah hotel di kawasan Banyumanik, Kota Semarang.
Sebelum menyetubuhi, Anwar memaksa dan memanipulasi korban supaya menuruti perkataannya. ”Saya memberikan doktrin (kepada korban), harus manut (menurut). Kalau tidak (menurut saya bilang) durhaka,” kata Anwar dalam konferensi pers di Polrestabes Semarang, Jumat (8/9/2023).
Sementara itu, Kepala Satuan Reserse Kriminal Polrestabes Semarang Ajun Komisaris Besar Donny Sardo Lumbantoruan mengatakan masih akan terus mengembangkan kasus tersebut. Salah satu hal yang didalami adalah menyelidiki ada atau tidaknya tindak pidana lain. Alasannya, polisi sempat mendapatkan informasi terkait dugaan penggelapan dana pendidikan para santri.
”Pelaku telah ditetapkan sebagai tersangka. Dia melanggar Pasal 76D Pasal 81 Undang-Undang RI Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak. Ancaman hukumannya maksimal 15 tahun penjara dan denda paling banyak Rp 5 miliar,” ucap Donny.
Kepala Operasional Legal Resource Centre untuk Keadilan Jender dan Hak Asasi Manusia (LRC-KJHAM) Nihayatul Mukaromah mendorong agar hukuman berat bisa dijatuhkan bagi Anwar. Hal itu penting untuk menimbulkan efek jera dan memberikan keadilan bagi para korban.
”Karena pelakunya adalah kiai, yang seharusnya bisa mengayomi, perlu diterapkan ancaman tambahan, sepertiga masa tahanan. Dengan begitu, hukuman (bagi tersangka) bisa (mencapai) 20 tahun penjara,” ujar Nihayatul.
Terkait korban yang trauma, mereka tengah menjalani pemulihan. Pendampingannya dilakukan Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DP3A) Kota Semarang.
Beasiswa
Para korban dalam kasus ini merupakan anak-anak dari jemaah di kelompok pengajian yang dipimpin Anwar. Para jemaah tertarik menitipkan anak-anak mereka ke Ponpes Hidayatul Hikmah Al Kahfi karena dijanjikan beasiswa pendidikan.
Modus Anwar memang menjaring jemaahnya dengan cara ikut pengajian-pengajian. Di setiap pengajian, Anwar selalu meminta jemaah tampil membacakan puisi-puisi keagamaan.
Seiring waktu, aksi Anwar menarik simpati. Jemaah lantas tergiur mendalami agama dari Anwar.
Momentum tersebut dimanfaatkan Anwar. Setelah memimpin pengajian selama beberapa bulan, Anwar meminta jemaah membayar uang sumbangan.
Uang itu disebut bakal dipakai untuk membangun ponpes. Hasilnya, adalah Ponpes Hidayatul Hikmah Al Kahfi.
Ponpes yang dikelola Anwar terletak di sebuah gang sempit di Lempongsari. Tidak ada papan nama. Namun, di aplikasi Google Maps, lokasi itu ditandai sebagai lokasi Ponpes Hidayatul Hikmah Al Kahfi.
"Warga tidak ada yang tahu kalau di situ ponpes karena fisik bangunannya seperti rumah biasa. Memang, di situ beberapa kali ada pengajian, tapi dianggap pengajian biasa oleh warga. Sejak awal, (Anwar) juga tidak pernah memberitahu atau izin ke kami untuk mendirikan ponpes," tutur Lurah Lempongsari, Dilinov Kamarullah.
Pada Jumat, sejumlah petugas dari Kantor Kementerian Agama Kota Semarang meninjau ponpes tersebut. Menurut Kepala Seksi Pendidikan Diniyah dan Ponpes Kemenag Kota Semarang Tantowi Jauhari, tidak pernah ada permohonan pendirian ponpes dengan nama Hidayatul Hikmah Al Kahfi. Artinya, tempat itu ilegal atau tanpa izin.
"(Tempat) ini sangat tidak layak. Untuk ponpes, minimal ada tempat untuk mengaji, kitab kuning, dan tempat beribadah seperti musala atau masjid. Selain itu, juga harus ada kiai. Kiai ini juga harus jelas, dia belajar di pondok mana, sama kiai siapa, kitab yang dipelajari apa saja. Tidak bisa asal klaim diri sebagai kiai," kata Tantowi.
Tantowi menyebut, di Kota Semarang ada 273 ponpes yang resmi dan diawasi Kemenag. Selama ini, pengawasan terus dilakukan. Dalam beberapa kesempatan, Kemenag mengundang para pengasuh, pimpinan, dan pengajarnya untuk sosialisasi pencegahan kekerasan seksual di lingkungan ponpes.
Ketua Forum Komunikasi Pondok Pesantren (FKPP) Kota Semarang Ahmad Samsudin mengimbau, masyarakat berhati-hati memilih ponpes. Sebelum memutuskan memasukkan anak-anaknya, orangtua harus mencari tahu informasi sebanyak-banyaknya.
”Jangan mudah terkecoh dengan namanya. Yang paling penting, harus tahu ponpes itu berizin atau tidak, termasuk kiainya itu siapa dan bagaimana latar belakangnya," ucap Samsudin.