70 Tahun SLB Karya Murni Menjunjung Kehidupan Disabilitas
Spritualitas Venerate Vitam, Hormatilah Kehidupan, menghidupi 70 tahun perjalanan Yayasan Karya Murni menyelenggarakan sekolah luar biasa. Dari masa ke masa menempanya memperjuangkan masa depan cerah anak disabilitas.
Spritualitas Venerate Vitam, Hormatilah Kehidupan, menghidupi 70 tahun perjalanan Yayasan Karya Murni menyelenggarakan pendidikan dan pengasuhan anak disabilitas. Perjalanan dari masa ke masa menempa Karya Murni menjadi pendidik anak-anak tunanetra, tunarungu, tunadaksa, hingga autis. Mereka gigih memperjuangkan masa depan yang lebih cerah untuk anak disabilitas.
Tangisan bayi terdengar sahut-menyahut dari atas panggung. Neruti, seorang ibu tunanetra dan daksa, memulai lakon sendratari dengan memasuki pentas menggunakan kursi roda. Anak-anaknya yang juga penyandang disabilitas mengikutinya.
Tokoh Neruti menjadi simbol Yayasan Karya Murni yang menjadi ibu bagi anak-anak disabilitas. Neruti akronim dari netra, rungu, daksa, dan autis. Perjalanan 70 tahun Karya Murni dikemas dalam pertunjukan sendratari bertajuk ”Neruti, Terbang Bersama Garuda #3” yang disutradarai oleh Thompson HS, di Medan International Convention Center, Sumatera Utara, Jumat (1/9/2023) malam.
Pementasan itu menggambarkan sulitnya kehidupan yang dihadapi anak disabilitas mulai dari lahir, bersekolah, bekerja, berkeluarga, hingga membangun hubungan sosial di masyarakat. Malam itu, sebanyak 180 anak disabilitas tampil dalam satu panggung sendratari.
Neruti berbincang dengan anak-anaknya tentang cita-cita mereka. Traen, anak tunanetra, bersedih karena lingkungan sosial yang tidak adil yang menganggap tunanetra hanya cocok menjadi tukang pijat. Lakon lalu dilanjutkan 20 anak tunanetra menyanyikan lagu Aceh Bungong Jeumpa.
Anak tunarungu tentu tidak mendengar nyanyian itu. Namun, mereka dapat bergerak mengikuti irama lagu. Lima orang anak tunarungu lalu menceritakan kisah hidup mereka dengan pantomim, drama tanpa kata. Malam itu, anak-anak disabilitas menembus keterbatasan dan melawan stigma dengan karya yang mengagumkan sekaligus mengharukan.
Baca Juga: Pendidik Luar Biasa di Sekolah Luar Biasa
Ketua Yayasan Karya Murni Suster Desideria Saragih KSSY menuturkan, pentas sendratari itu menjadi rangkuman kisah perjalanan panjang Yayasan Karya Murni. Yayasan bermula saat Suster Ildefonsa menerima seorang gadis kecil yang buta total, Martha Ponikem (13), dari seorang serdadu Belanda pada 1950. Gadis itu ditemukan di sebuah jalan di Kabupaten Langkat.
Suster berkebangsaan Belanda itu menghadapi kendala mendidik Martha yang tidak bisa membaca dan menulis. Saat cuti dan pulang ke Belanda, suster mengunjungi institusi pendidikan khusus anak buta di Kota Grave. Di sana, ia bertemu Trees Kim Lan Bong, warga Pulau Bangka yang punya kemampuan mengajar anak tunanetra.
Trees lalu diajak pulang ke Tanah Air dan menjadi guru pertama untuk Martha. Karena semakin banyak anak buta yang datang untuk mendapat pendidikan di sana, Ildefonsa menggagas pendirian badan pendidikan anak buta, yakni Sint Oda Stichting pada 26 Agustus 1953.
Badan itu menjadi cikal bakal Yayasan Karya Murni. Mereka awalnya mengasuh dan mendidik anak-anak di kantor Kongregasi Suster Santo Yosef (KSSY) di Jalan Hayam Wuruk, Medan. Setelah semakin banyak siswanya, SLB-A (sekolah untuk tunanetra) dibuka di Jalan Karya Wisata dan SLB-B (untuk tunarungu) dibuka di Jalan HM Joni.
Desideria mengatakan, sejak awal didirikan, Karya Murni hidup dengan moto Hormatilah Kehidupan yang diturunkan dari spiritualitas KSSY, yakni kesecitraan manusia dengan Allah. ”Hormatilah kehidupan mulai dari kehidupan sendiri, kehidupan orang lain, dan lebih jauh lagi kehidupan alam semesta. Kehidupan anak-anak disabilitas adalah kehidupan yang sangat berharga,” kata Desideria.
Baca Juga: Perlindungan Penyandang Disabilitas Korban Kekerasan Seksual Belum Optimal
Di sepanjang perjalanannya, Karya Murni tentu tidak lepas dari berbagai tantangan. Tantangan pertama mereka adalah keterbatasan pendanaan. Biaya penyelenggaraan pendidikan dan asrama di SLB sangat tinggi.
Anak disabilitas tunarungu, tunanetra, tunadaksa, dan autis menggelar pertunjukan seni drama dan tari di Medan, Sumatera Utara, Jumat (1/9/2023).
Untuk membayar gaji guru, pengasuh, dan pegawai di SLB-B saja, yayasan harus menyiapkan sekitar Rp 90 juta per bulan. Belum lagi biaya makan di asrama. Anak-anak makan tiga kali sehari dan diselingi kudapan dua kali sehari.
SLB memang menerima uang sekolah dan uang asrama, tetapi hanya dari sebagian kecil siswa yang mampu. ”Namun, sebagian besar anak-anak yang diasuh di Karya Murni berasal dari keluarga tidak mampu. Banyak anak yang tidak membayar apa pun di SLB ini,” kata Desideria.
Pembiayaan Yayasan Karya Murni sebagian besar ditopang oleh donatur. Karena itu, keuangan yayasan sempat terpuruk selama pandemi Covid-19 karena banyak donatur mengurangi atau menghentikan donasi untuk sementara karena krisis keuangan. Suatu pagi ketika pandemi, pegawai melapor ke Suster Desideria kalau mereka kehabisan beras.
”Kami tidak bisa membayangkan kalau anak-anak sampai tidak makan. Kami berdoa meminta pertolongan Tuhan. Beberapa saat kemudian, donatur datang membawa beberapa karung beras. Kami percaya Karya Murni bisa berdiri selama 70 tahun atas penyelenggaraan Ilahi,” kata Desideria.
Anak-anak disabilitas menerima bahan pangan dari donatur di asrama Sekolah Luar Biasa-B Yayasan Karya Murni di Jalan HM Joni, Medan, Sumatera Utara, Rabu (30/8/2023).
Kesulitan lain yang dihadapi anak-anak disabilitas adalah bagaimana mereka bisa diterima di masyarakat secara inklusif. Kesulitan terbesar mendidik anak disabilitas adalah membangun semangat dan motivasi hidup mereka.
Mereka selalu dibayangi ketakutan tidak diterima bekerja meskipun sudah sekolah tinggi-tinggi. Karena itu, Karya Murni juga membuat tempat mereka berkarya, yakni pertukangan lemari, meja, kursi, membuat lilin, dan kerajinan lainnya.
Kami percaya Karya Murni bisa berdiri selama 70 tahun atas penyelenggaraan Ilahi. (Desideria Saragih, KSSY)
Stigma sulit diterima bekerja dilawan anak-anak disabilitas setiap hari. Banyak di antara mereka yang bersekolah hingga sarjana. Setelah tamat dari SLB-A, Agustinus Purba (22) dengan penuh percaya diri melanjutkan kuliah di program studi Etnomusikologi Universitas Sumatera Utara. ”Ada stigma yang menyebut orang tunanetra itu hanya cocok sebagai tukang pijat. Ini tidak adil dan kami akan membuktikan stigma itu salah,” kata Agustinus yang bercita-cita menjadi musisi.
Tantangan lain yang dihadapi SLB adalah sulitnya mencari tenaga pendidik untuk SLB, khususnya lulusan program studi Pendidikan Luar Biasa. SLB-B Karya Murni berbeda dengan SLB-B lain yang umumnya hanya mengajarkan bahasa isyarat.
Karya Murni mengajarkan juga bahasa verbal atau lisan. Karena itu, murid-murid SLB-B Karya Murni bisa berbahasa lisan dan memahami bahasa lisan orang lain meskipun dengan jumlah kosakata terbatas.
Saat berkunjung ke SLB-B Karya Murni, Suster Desideria meminta Nathalie, murid SLB-B, mengambil air cuci tangan dengan bahasa lisan. Segera Nathalie mengambil air dalam mangkuk sembari menyebut, ”Ini air, Suster”.
Mengajarkan bahasa lisan kepada anak tunarungu adalah bagian tersulit karena mereka harus berbicara tanpa mendengar apa yang mereka ucapkan dan lawan bicara ucapkan. Untuk mengajarkan satu huruf saja butuh waktu lama dan kesabaran lebih. Untuk mengajarkan huruf R, guru meletakkan tangan mereka di leher sehingga merasakan getaran di tangan.
Mengajarkan perbedaan pengucapan huruf P dan B juga sangat sulit karena gerak bibirnya hampir sama. ”Sejak awal didirikan, kami mempertahankan bahasa lisan agar anak-anak lebih mudah berkomunikasi dan diterima masyarakat,” kata Desideria.
Kepala Sekolah SLB-B Karya Murni Suster Octavia Samosir KSSY menuturkan, saat ini mereka mendidik 151 murid dan 72 di antaranya tinggal di asrama. Sementara, di SLB-A jumlah murid mereka 20 orang.
Jumlah ini menurun karena jumlah anak tunanetra terus menurun. Namun, anak autis meningkat dan sebagian besar berasal dari kelas menengah ke atas. Anak-anak di Karya Murni juga berasal dari semua latar belakang agama.
Lihat Juga: Dari Atas Kursi Roda Terpancar Spirit ”Basket untuk Semua”
Pelayanan Yayasan Karya Murni pun kini meluas ke berbagai daerah mulai dari Ruteng (Nusa Tenggara Timur), Jakarta, hingga Tanjung Selor (Kalimantan Utara). Di atas panggung, Neruti yang sudah berusia 70 tahun menyampaikan harapan agar anak-anaknya diterima di lingkungan masyarakat yang inklusif.
Lagu Vina Panduwinata berjudul ”Anakku” menutup pentas dengan penuh haru, ”tumbuhlah anakku… raihlah cita-citamu…”.