Kekerasan Seksual di Pondok Pesantren Masih Terjadi di Jateng
Sejumlah pesantren di Jateng masih belum bebas dari kekerasan seksual. Di Kota Semarang dan Karanganyar, misalnya, sejumlah santriwati diperkosa oleh pimpinan pondok pesantren.
Oleh
KRISTI DWI UTAMI
·4 menit baca
SEMARANG, KOMPAS — Kekerasan seksual masih terus terjadi di sejumlah pondok pesantren di Jawa Tengah. Yang terbaru, kekerasan seksual terhadap sebagian santriwati dilakukan oleh pemimpin pondok pesantren di Kota Semarang. Kasus serupa terjadi di Karanganyar.
Di Kota Semarang, kasus kekerasan seksual terhadap santriwati diduga dilakukan oleh BAA (46), pemimpin Pondok Pesantren Hidayatul Hikmah Al Kahfi di Kelurahan Lempongsari, Kecamatan Gajahmungkur. Kasus itu terungkap pada 8 Agustus 2022 saat FA, salah satu santriwati yang menjadi korban, mengadu ke Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DP3A) Kota Semarang.
”Setelah melakukan pendalaman selama satu tahun terakhir, kami menemukan sedikitnya lima korban lain. Dari enam korban kekerasan seksual tersebut, ada satu yang berusia 15 tahun. Kemungkinan, jumlah korban lebih banyak. Hanya saja, banyak yang menolak berbicara karena takut,” kata Iis Amalia, petugas dari Unit Pelaksana Teknis Daerah Perlindungan Perempuan dan Anal DP3A Kota Semarang, dalam sebuah konferensi pers di Aliansi Jurnalis Independen Kota Semarang, Rabu (6/9/2023).
Menurut Iis, bentuk kekerasan seksual yang dilakukan BAA terhadap para santriwati ialah pemerkosaan. Berdasarkan asesmen psikologi yang dilakukan di Rumah Sakit Umum Daerah Tugurejo, korban mengalami kecemasan, depresi, dan somatisasi akibat kekerasan seksual tersebut.
Iis menyebut, para korban dititipkan oleh orangtuanya di pondok pesantren yang dikelola BAA karena dijanjikan bakal dibantu untuk masuk ke sebuah pondok pesantren di Malang. Para orangtua tersebut merupakan jemaah pengajian yang dipimpin BAA.
”Modus yang digunakan oleh pelaku adalah dengan mengatakan bahwa dia adalah orangtua dan guru yang harus dipatuhi para korban. Kalau tidak manut (patuh), mereka dianggap berdosa,” ujarnya.
Selain itu, BAA juga disebut memperdaya korban dengan modus mujahadat. Kepada para korban, BAA mengatakan bahwa untuk menyelesaikan setiap persoalan harus bermujahadat dengan cara bersetubuh dengan BAA. Perbuatan bejat tersebut dilakukan kepada korban di pondok pesantren ataupun di hotel.
Kasus itu dikawal oleh Legal Resource Centre untuk Keadilan Jender dan Hak Asasi Manusia (LRC-KJHAM) dan telah dilaporkan ke Kepolisian Resor Kota Besar Semarang. Kepala Operasional LRC-KJHAM Nihayatul Mukaromah mengatakan, penyidik Polrestabes Semarang telah dua kali memanggil BAA sejak 16 Mei 2023. Kendati demikian, BAA mangkir dalam dua pemanggilan tersebut.
”Setelah dicari, ternyata posisi pelaku tidak di Kota Semarang. Pelaku dikabarkan tertangkap di Bekasi, Jawa Barat, pada 1 September dan langsung dibawa ke Kota Semarang,” ucap Nihayatul.
Dikonfirmasi terpisah, Kepala Satuan Reserse Kriminal Polrestabes Semarang Ajun Komisaris Besar Donny Sardo Lumbantoruan enggan merinci terkait kasus tersebut. Ia mengatakan, penjelasan detail terkait kasus tersebut akan disampaikan dalam konferensi pers, Jumat (8/9/2023). ”Besok tunggu rilisnya, ya,” tuturnya, Kamis malam.
Tidak berizin
Kepala Kantor Kementerian Agama Kota Semarang Ahmad Farid menyebut, Pondok Pesantren Hidayatul Hikmah Al Kahfi yang dikelola BAA tidak berizin. Farid juga menolak tempat itu disebut sebagai pesantren.
”Kalau dikatakan pondok pesantren, saya tidak setuju karena (tempet itu) tidak seperti pesantren. Kurikulum dan standarnya tidak memenuhi syarat pesantren. Itu seperti lembaga penyalur pendidikan,” kata Farid.
Farid menambahkan, pihaknya sudah mengajukan permohonan ke Satuan Polisi Pamong Praja Kota Semarang untuk menutup tempat tersebut. Penutupan tidak bisa dilakukan Kemenag Kota Semarang karena tempat tersebut tidak berada di bawah naungan mereka.
”Kami akan ke lokasi untuk turut melakukan klarifikasi. Selain itu, kami juga akan memberi dukungan moral kepada para korban,” ujar Farid.
Kasus kekerasan seksual di lingkungan pondok pesantren juga terjadi di Kecamatan Jatipuro, Karanganyar. Dalam kasus tersebut, sebanyak enam santriwati menjadi korban kekerasan seksual yang dilakukan oleh BN (49), pimpinan sebuah pondok pesantren di Jatipuro. Kasus itu terungkap setelah salah satu korban bercerita kepada guru bimbingan konseling.
Kasus itu lantas dilaporkan ke kepolisian dan kini tengah ditangani oleh Polda Jateng. Kepala Bidang Humas Polda Jateng Komisaris Besar Stefanus Satake Bayu Setianto mengatakan, pihaknya telah memeriksa belasan saksi dalam kasus tersebut.
”Setelah memeriksa saksi, melakukan olah tempat kejadian perkara, dan gelar perkara, kami menetapkan BN sebagai tersangka. Yang bersangkutan ditahan di Rumah Tahanan Polda Jateng,” ujar Satake.