Menjaga Keluarga berkat Warisan Dunia dari Papua
Noken adalah warisan dunia tak benda dari Papua yang menjadi sumber penghidupan para perajin di Kota Jayapura. Usaha penjualan noken telah bertahan selama tiga dekade terakhir.
Noken adalah tas rajutan dari kulit kayu khas Papua yang telah ditetapkan sebagai warisan dunia tak benda oleh lembaga UNSECO 11 tahun lalu. Noken adalah simbol kebudayaan tujuh wilayah adat di Papua sejak ratusan tahun lalu dan menjadi sumber penghidupan bagi masyarakat setempat.
Sekitar pukul 12.00 WIT, hujan mengguyur Distrik (kecamatan) Abepura, Kota Jayapura, lebih kurang sejam pada akhir bulan lalu, tepatnya 28 Agustus 2023. Akibatnya, warga yang sedang beraktivitas di luar ruangan menghentikan kegiatannya dan mencari tempat berlindung.
Tak terkecuali Maria Ukago, salah satu perajin tas noken yang berjualan di samping pusat perbelanjaan Saga Abepura. Ia dan rekan-rekannya untuk sementara berhenti berjualan dan menyimpan noken mereka ke dalam karung.
Setelah hujan reda, Maria bersama para perajin kembali berjualan noken sekitar pukul 15.00 WIT. Saat itu kondisi lantai telah mengering, Maria dan para perajin kembali menggelar terpal untuk berjualan noken di lokasi tersebut.
Maria adalah Ketua Kelompok Noken Kreatif yang berpusat di Distrik Abepura. Terdapat 25 orang perajin yang tergabung dalam kelompok tersebut. Mayoritas anggota kelompok tersebut berjualan di emperan jalan dan depan pusat perbelanjaan di Distrik Abepura.
”Saya yang pertama kali berjualan di noken di Distrik Abepura sejak tahun 2005. Banyak perempuan dari daerah yang sama tertarik menjadi perajin ketika melihat noken buatan saya banyak yang laku terjual. Sebelumnya mereka hanya berjualan sayur demi memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari,” tutur wanita berusia 55 tahun ini saat ditemui.
Baca juga: Noken, Warisan Budaya Papua untuk Dunia
Maria dan para anggota kelompoknya biasa berjualan dari pukul 10.00 hingga pukul 21.00 WIT. Aktivitas mereka berjualan akan berlangsung lebih cepat atau tak berjualan sama sekali apabila hujan seharian mengguyur ibu kota Papua ini.
Sambil menunggu pembeli, Maria dan para perajin lainnya akan merajut noken dari benang dan serat kulit kayu. Terdapat tiga jenis noken yang dijual Maria dan anggota kelompoknya, antara lain noken dari serat kulit kayu dan noken berbahan dari akar bunga anggrek.
Noken adalah tas rajutan khas Papua berbahan serat kulit kayu dari pohon genemo (melinjo), mahkota dewa, daun pandan, atau batang anggrek. Serat-serat itu kemudian diproses menjadi benang lalu dirajut atau dianyam menjadi tas. Diperlukan waktu dua minggu hingga sebulan untuk menyelesaikan sebuah noken.
Harga noken anggrek mahal karena bahan baku sulit didapatkan. Pembuatan noken anggrek berasal dari sejumlah kabupaten, seperti Paniai, Dogiyai, dan Deiyai.
Dalam perkembangannya, rajutan noken juga menggunakan bahan dari benang wol. Uniknya hanya di noken dari bahan benang dapat dibuat berbagai motif gambar dan tulisan dengan nama daerah atau bisa dipesan sesuai dengan nama pembeli.
Bahan serat kayu biasanya didatangkan para perajin di Jayapura dari sejumlah daerah lain, seperti Wamena, Nabire, dan Yahukimo, yang hanya terhubung dengan moda pesawat. Selain dari serat kayu, noken juga bisa dibuat dari benang nilon. Harga benang nilon jauh lebih murah dari kulit kayu. Minimal dibutuhkan Rp 5 juta untuk mendapatkan satu karung berisi gulungan kulit kayu dari wilayah Paniai hingga Dogiyai.
Harga noken yang dijual bervariasi karena ditentukan jenis bahan bakunya dan ukuran. Harga satu noken berbahan benang berkisar Rp 100.000 hingga Rp 500.000. Harga satu noken berbahan serat kulit kayu berkisar Rp 100.000 hingga Rp 1 juta.
Noken berbahan akar anggrek merupakan noken dengan harga yang paling termahal. Harga satu noken anggrek berkisar Rp 2 juta hingga menyentuh angka Rp 10 juta. ”Harga noken anggrek mahal karena bahan baku sulit didapatkan. Pembuatan noken anggrek berasal dari sejumlah kabupaten, seperti Paniai, Dogiyai, dan Deiyai,” kata Maria.
Sangat bermanfaat
Rasa bangga terpancar dari wajah Maria ketika menceritakan tentang noken. Ia mengaku momen yang tak dilupakan dirinya dan seluruh perajin di tanah Papua ketika noken ditetapkan sebagai warisan dunia tak benda oleh UNESCO, badan di bawah Perserikatan Bangsa-Bangsa yang mengurusi pendidikan, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan, pada 4 Desember 2012.
Bagi Maria, menjual noken tak hanya untuk mempertahankan kebudayaan yang menemani masyarakat Papua sejak berabad-abad lalu. Dari noken, Maria dapat memenuhi kebutuhan hidup keluarga hingga menyekolahkan anaknya ke jenjang pendidikan tertinggi.
Biasanya ketika sepi pembeli, Maria dan anggotanya mendapatkan Rp 100.000 hingga Rp 300.000 per hari. Namun, ada hari tertentu, noken jualan mereka laris manis hingga mendulang jutaan rupiah. Misalnya, Maria pernah mendapatkan hingga Rp 6 juta per hari ketika noken kulit kayu dan noken anggrek dibeli wisatawan dari luar Papua.
”Berkat noken, saya mampu menyekolahkan kedua anak saya hingga perguruan tinggi di Makassar dan membangun rumah dua lantai. Salah satu anak saya bernama Julianus Pekei mampu meraih gelar master dan kini telah bekerja sebagai pegawai negeri sipil,” tutur ibu dari empat anak ini.
Geliat mama-mama Papua yang menjual noken tak hanya di Distrik Abepura, tetapi juga terlihat di Distrik Jayapura Utara. Salah satunya adalah Kelompok Noken Matopai yang berjumlah 12 orang ini. Anggota Kelompok Noken Matopai berjualan di empat lokasi.
Ketua Kelompok Noken Matopai Kristina Degei menjual noken di rumahnya dan sebuah pondok di Kelurahan Trikora selama empat tahun terakhir. Pondok tempat jualan wanita berusia 30 tahun ini berada dekat Katedral Jayapura.
Di pondok selebar 2 meter dan panjang 1 meter, Kristin memasarkan sekitar 50 noken beraneka jenis dan ukuran, seperti noken kulit kayu, noken dari rajutan benang, dan noken anggrek. Ia dan anggota kelompoknya secara langsung mendatangkan bahan baku serat kulit kayu dan anggrek dari sejumlah kabupaten di Papua Tengah, seperti Deiyai.
Dari penjualan noken, Kristina turut membantu suaminya memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari keluarga dan menyekolahkan ketiga anaknya dari jenjang SD hingga SMA. Kristina pun telah memperbaiki rumahnya setelah meraup keuntungan Rp 10 juta dari hasil penjualan noken saat penyelenggaraan ajang Pekan Olahraga Nasional XXI di Jayapura tahun 2021.
”Saya berharap pemerintah dapat menyelenggarakan banyak ajang tingkat daerah dan nasional di Jayapura yang melibatkan para perajin noken. Dari kegiatan seperti itu sangat berdampak untuk penghasilan kami,” ucap Kristina.
Eklesia Waromi selaku tenaga pendamping dari Dinas Perindustrian, Perdagangan, dan Koperasi Kota Jayapura memaparkan, terdapat 17 kelompok perajin noken yang didampinginya di Distrik Jayapura Utara. Jumlah anggota kelompok dari 4-18 orang dan omzet penjualan setiap perajin mencapai Rp 500.000 hingga Rp 1 juta per minggu.
”Saya mendampingi setiap kelompok dengan mempromosikan noken buatan mereka di media sosial dan memberikan informasi terkait kegiatan pemerintah yang bisa dimanfaatkan untuk penjualan noken. Tugas saya juga untuk menyuarakan aspirasi para perajin yang membutuhkan bantuan alat dan bahan baku,” ujar Eklesia.
Makna noken
Titus Pekei selaku pencetus noken untuk didaftarkan sebagai warisan dunia tak benda ke UNESCO mengatakan, noken telah ada sejak kehadiran manusia pertama di Pulau Papua. Noken berperan penting dalam kehidupan masyarakat Papua, khususnya di pedalaman.
Titus mengungkapkan, noken bagaikan sahabat yang menemani berbagai kegiatan sehari-hari. Selain digunakan sebagai tempat menyimpan bekal makanan, seperti ubi, noken juga digunakan untuk membawa bayi sejak lahir. Karena itu, noken juga sering disebut rahim kedua orang Papua.
Noken bukan saja benda tradisional yang sangat membantu masyarakat dalam kehidupan sehari-hari, melainkan juga warisan kemanusiaan. Dalam noken terkandung nilai gotong royong dan saling menghormati antara sesama manusia sebagai ciptaan Tuhan.
Titus, yang juga pendiri Yayasan Ekologi Papua telah meneliti tentang noken tahun 2008 hingga 2010. Titus menemukan noken digunakan oleh 250 suku yang tersebar di tujuh wilayah adat di Papua dan Papua Barat, yakni Domberay, Bomberay, Meepago, Saerari, Mamta, La Pago, dan Anim Ha. Penggunaannya telah dikenal sejak sebelum masa pendudukan pemerintah kolonial Belanda pada abad ke-18.
Tiap suku memiliki sebutan masing-masing untuk noken. Misalnya, suku Moy di Sorong, Papua Barat Daya, menyebut tas noken sebagai kwok, sedangkan di Papua Tengah seperti suku Kamoro di Mimika menyebut eta serta suku Mee di Paniai dan Deiyai memberi sebutan agiya.
Masyarakat di Biak menyebut noken dengan nama inokson dan suku Sentani di Kabupaten Jayapura memberi istilah holoboi. Di Papua Pegunungan, masyarakat Nduga menyebut noken dengan nama singanik dan masyarakat Asmat di Papua Selatan menyebutnya efe.
”Dari hasil penelitian terakhir, terdapat 175 sanggar kelompok di wilayah Papua hingga tahun ini. Sebanyak 40 persen dari 175 sanggar ini berada di Jayapura. Kini noken tak hanya menjadi simbol kebudayaan masyarakat Papua, tetapi juga pemasukan bagi para perajin,” kata Titus yang dijuluki para perajin sebagai presiden noken ini.
Guru Besar Sosiologi Universitas Cenderawasih, Jayapura, Avelinus Lefaan menilai, noken bermakna sebagai media untuk memanusiakan manusia. Selain dapat dimanfaatkan sebagai alat bantu, noken juga mengandung nilai kemanusiaan, seperti saling menghargai antara warga setempat dan warga non-suku Papua.
Baca juga: Melihat Pameran Peringatan Satu Dekade Hari Noken Sedunia
Avelinus juga berpendapat, simpul yang membentuk noken melambangkan jaringan struktur sosial yang dinamis. Artinya, masyarakat Papua bisa menjalin hubungan dengan siapa saja. Meskipun bentuk dan nama noken beragam, tetap menjadi representasi kultural orang Papua.
”Noken bukan hanya benda tradisional yang sangat membantu masyarakat dalam kehidupan sehari-hari, melainkan juga warisan kemanusiaan. Dalam noken terkandung nilai gotong royong dan saling menghormati antara sesama manusia sebagai ciptaan Tuhan,” kata Avelinus.