Rusa Timor yang Nyaris Punah di Cagar Alam Mutis-Timau
Rusa timor termasuk hewan endemik di Pulau Timor. Sebarannya di Pulau Jawa, Sulawesi, Kalimantan, dan Papua. Ironisnya, keberadaan rusa itu di Pulau Timor terancam punah, termasuk di Cagar Alam Mutis-Timau.
Keberadaan rusa timor (Cervus timorensis) begitu populer pada era kolonial Belanda hingga tahun 1980-an di daratan Pulau Timor, Nusa Tenggara Timur. Kini, rusa itu sulit ditemukan, termasuk di habitat aslinya di Cagar Alam Mutis-Timau. Padahal, Mutis-Timau diklaim sebagai ”ibu” dari seluruh kehidupan fauna dan flora di Pulau Timor.
Neli Quin (12), siswa kelas VI SD Liliba Kota Kupang, Rabu (6/9/2023), sontak bertanya kepada ibu guru saat pembahasan jenis-jenis binatang di Pulau Timor. ”Ibu guru di mana rusa timor yang selalu orang sebut-sebut itu. Masih adakah?” katanya.
Pertanyaan itu membuat ibu Mery kesulitan menjawab. Sontak ibu guru itu mengatakan, ”Kalau mau lihat, kita harus pergi ke tempat penangkaran rusa di Kelurahan Fatukoa.”
Pertanyaan Neli memantik ingatan para guru dan masyarakat Timor. Nama rusa timor sangat populer dalam literatur binatang endemik di NTT. Bahkan, rusa timor itu sempat berkembang biak di sejumlah provinsi oleh pemerintahan Belanda.
Baca juga: Mengenal Rusa Timor, Jenis Rusa di Indonesia yang Rentan Punah
Ketika Belanda menginjakkan kaki di Pulau Timor tahun 1860-an, daging rusa timor sangat digandrungi penjajah asal Eropa tersebut saat itu, selain tanduknya untuk hiasan dan bahan aksesori.Mereka pun berupaya menyebarkan rusa jenis itu ke sejumlah pulau di Indonesia, seperti di Jawa, Sulawesi,Kalimantan, dan Sumatera.
Meski tenar pada saat itu, Cervus timorensis semakin sulit ditemukan di daratan Pulau Timor saat ini. Kebakaran hutan, pembukaan lahan, permukiman penduduk, dan aktivitas masyarakat yang terus menggerogoti padang-padang sabana menyebabkan populasi rusa timor terancam.
Kawasan Cagar Alam Mutis-Timau, yang diklaim sebagai ”ibu” kehidupan fauna-flora Timor, rusa jenis itu pun sulit ditemukan. Aksi perburuan liar yang berlangsung bertahun-tahun seakan memusnahkan rusa itu dari Pulau Timor.
Mestinya dikoordinasikan dengan masyarakat setempat, yang setiap hari menjaga dan merawat hutan. (Aleta Baun)
Sejauh ini ada tempat penangkaran rusa timor di Fatukoa, sekitar 30 kilometer pinggiran Kota Kupang. Belakangan, tempat itu dilarang dikunjungi, apalagi memotret. Sebelumnya, warga diperkenankan melihat dan memotret rusa-rusa yang berjumlah lebih dari 30 ekor pada tahun 2017.
Tinggal nama
Adolf Nisnoni, (72) salah satu tokoh masyarakat Timor yang berdomisili di Soe, mengatakan, rusa timor tinggal nama saja. Binatang itu mungkin saja sudah punah di pulau itu.
”Sangat disayangkan. Cagar Alam Mutis-Timau mestinya menjadi andalan kehidupan seluruh fauna dan flora di Pulau Timor, tetapi kurang dijaga. Semua orang bebas masuk-keluar kawasan. Berburu, mengambil kayu, menebang, menangkap burung. Mungkin juga menangkap rusa kalau masih ada di sana,” kata Nisnoni.
Baca juga: 4.600 Hektar Sabana Terbakar di Pulau Timor
Ketua Aliansi Masyarakat Adat Timor Aleta Baun mengatakan, hasil pantauan masyarakat adat, masih ada rusa tetapi jumlahnya tidak lebih dari 20 ekor. Kemungkinan rusa itu hasil penangkaran Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) di Fatukoa, Kota Kupang. Biasanya mencapai usia tertentu, rusa hasil penangkaran itu dilepasliarkan di hutan.
Lihat saja. Kayu untuk bahan bangunan yang dijual di beberapa titik sisi jalan di Kota Kupang diambil dari hutan di Pulau Timor. Kemungkinan juga dari Cagar Alam Mutis-Timau. Kawasan yang begitu luas, siapa yang bisa memantau. (Aleta Baun)
Pemenang penghargaan Goldman Environmental Prize 2013 ini mengatakan, masyarakat juga kurang peduli terhadap Cagar Alam Mutis-Timau. Sejak 2021, kawasan cagar alam yang harus dilindungi berubah status menjadi hutan wisata atas usulan Pemprov NTT. Semua orang bebas masuk-keluar.
”Lihat saja. Kayu untuk bahan bangunan yang dijual di beberapa titik sisi jalan di Kota Kupang diambil dari hutan di Pulau Timor. Kemungkinan juga dari Cagar Alam Mutis-Timau. Kawasan yang begitu luas, siapa yang bisa memantau,” ujar Aleta.
Ia menyesalkan, beberapa anggota DPR bersama DPRD Timor Tengah Selatan (TTS) dan Dinas Kehutanan setempat melepasliarkan belasan ular kobradi dalam kawasan cagar alam Mutis-Timau, Juli 2023. Ular-ular itu dibawa dari luar NTT. Titik pelepasan itu di Kecamatan Molo Utara, Molo Selatan, dan Kecamatan Molo. Masyarakat setempat resah atas tindakan itu.
Baca juga: Aleta Baun Pejuang Lingkungan dari NTT Meraih Yap Thiam Hien Award 2017
Padang penggembalaan
Ular kobra, menurut Aleta, tidak familiar bagi masyarakat lokal. Mereka tidak mengenal sifat dan perilaku ular jenis itu. Lagi pula, sebagian kawasan hutan di daratan Timor menjadi padang penggembalaan ternak. Aktivitas masyarakat di dalam kawasan hutan bakal terganggu dengan keberadaan ular jenis itu.
”Mestinya dikoordinasikan dengan masyarakat setempat yang setiap hari menjaga dan merawat hutan. Tindakan seperti itu membuat masyarakat marah. Pada ujungnya mereka melampiaskan kemarahan dengan cara merusak hutan, seperti membakar. Itu yang dikhawatirkan,” kata Aleta.
Cagar Alam Mutis-Timau yang memiliki luas 12.000 hektar dihuni cukup banyak flora dan fauna. Salah satu yang paling menonjol dan mudah ditemukan yakni kuskus dan burung paruh bengkok khas Pulau Timor. Fauna-fauna ini jenis hewan dilindungi. Mutis juga menyimpan sabana yang sang luas dan menarik.
Mutis-Timau sebagai ”ibu” di Pulau Timor yang memberi manfaat langsung kepada masyarakat, yakni ekosistem jasa lingkungan seperti air dan udara yang sejuk dan segar. ”Pohon-pohon masih sangat baik dan terjaga. Memberikan oksigen yang baik bagi masyarakat sekitar. Sejumlah sumber mata air pun memberi kehidupan bagi masyarakat Timor. Karena itu, semua pihak perlu merawat sehingga terus memberi manfaat bagi seluruh kehidupan di Timor,” kata Aleta.
Baca juga: Mengantar Senja di Gunung Mutis
Sampai hari ini belum ada literatur atau dokumen yang menjelaskan keanekaragaman hayati di dalam Cagar Alam Mutis-Timau. Sesuai pengamatan di lapangan, keanekaragaman fauna dan flora cukup banyak, tetapi belum terpublikasi dan disosialisasikan.
Ia mengakui, ada ekspedisi dari BKSDA NTT bersama sejumlah perguruan tinggi ke Cagar Alam Mutis-Timau pada Agustus 2023. Kegiatan serupa juga sudah dilakukan sejumlah dosen dan mahasiswa, hampir setiap tahun di dalam Cagar Alam Mutis-Timau. Beragam upaya itu ditujukan untuk melestarikan flora dan fauna endemik di Mutis-Timau.