Warna-warni Batik Papua di Jantung Kota Jayapura
Kota Jayapura menjadi sentra penjualan batik dengan motif Papua. Dalam satu dekade terakhir, lahir industri kecil menengah yang memasarkan aneka produk batik tulis hingga ”printing” dengan kualitas baik.
Selama 30 tahun terakhir, batik yang merupakan kebudayaan dari Pulau Jawa telah berakulturasi dengan kebudayaan masyarakat Papua. Seperti di Kota Jayapura, lahir banyak sanggar yang menjual aneka produk batik dengan motif yang menjadi ciri khas kearifan lokal setempat.
Suasana Sanggar Batik Ameldi di daerah Dok IV, Distrik (kecamatan) Jayapura Utara, tampak sunyi pada 23 Agustus 2023. Ternyata John Wona, selaku pendiri Sanggar Ameldi, bersama tiga pekerjanya sedang sibuk mengerjakan beberapa potong kain batik tulis.
Dengan memegang canting, tangan John menari di atas kain katun berwarna putih sepanjang 3 meter. Telaten, pria berusia 39 tahun ini menggambar di atas kain dengan motif bahari dari wilayah pesisir utara Papua, yakni rumput laut dan gurita di ruang tamu rumahnya yang berukuran 2 meter x 3 meter.
Di halaman sebuah rumah yang berhadapan dengan rumah John, tampak tiga pekerja lainnya sibuk menggambar motif dan warna dasar di kain. John menyewa rumah tersebut dengan biaya per bulan mencapai Rp 1 juta karena keterbatasan tempat untuk kegiatan pembuatan batik oleh Sanggar Ameldi.
Mereka sedang berburu dengan waktu untuk menuntaskan pengerjaan batik tulis pesanan pelanggan. Pada awal dibuka pada 2018 lalu, Sanggar Ameldi memiliki 16 pekerja. Saat ini hanya John dan sembilan pekerja yang aktif bekerja sebagai perajin batik tulis, batik cap, dan batik printing.
Baca juga: Liukan Canting Mama-mama Papua
Mayoritas para pekerja Sanggar Ameldi adalah kerabat dan tetangga di kompleks perumahan John. Biasanya mereka bekerja di sanggar setiap hari Rabu. Apabila mendapat banyak pesanan kain batik, mereka akan bekerja dari Senin hingga Sabtu.
Biasanya, pengerjaan satu potong kain batik tulis bisa memakan waktu satu hingga dua minggu. Untuk pembuatan batik yang menggunakan cap atau stempel untuk motifnya memakan waktu seminggu, sedangkan pembuatan batik printing yang motifnya dicetak pada kain menggunakan alat biasanya menghabiskan waktu selama lima hari.
Sanggar Ameldi memiliki sejumlah motif otentik buatan mereka, yakni dua burung cenderawasih jantan, bahari seperti rumput laut dan ikan-ikan dan biota laut, yakni gurita dan bunga karang. John telah mendaftarkan motif cenderawasih dan biota laut buatnya ke Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan HAM Papua untuk mendapatkan sertifikat hak kekayaan intelektual (HKI).
”Biasanya untuk mencanting batik tulis hanya dilakukan oleh saya. Sementara pekerja lainnya yang melakukan tahapan menggambar motif dan warna dasar kain. Saya juga mendampingi mereka dalam pembuatan batik cap dan printing,” ujar ayah tiga anak ini.
John mengaku, pelaku industri kecil menengah (IKM) dengan komoditi batik di Kota Jayapura terus meningkat. Sanggar Ameldi saja bisa menjual rata-rata 10 potong kain batik per bulan. Apabila ada momen tertentu seperti perayaan hari ulang tahun kemerdekaan atau festival kebudayaan, pesanan batik bisa meningkat lebih dari 10 potong kain.
Harga produk kain batik tulis dari Sanggar Ameldi berkisar dari Rp 250.000-Rp 300.000 per meter, sedangkan harga batik cap mencapai Rp 200.000 per meter. Harga kain batik printing senilai Rp 125.000 per meter.
Puji Tuhan, saya bisa memenuhi kebutuhan hidup keluarga dan biaya pendidikan anak dari usaha penjualan batik. Semua ini berkat dukungan istri, para pekerja, dan Pemerintah Kota Jayapura. (John Wona)
Dalam sebulan, Sanggar Ameldi memiliki omzet penjualan rata-rata Rp 3 juta. Penjualan batik mencapai hingga Rp 5 juta per bulan apabila pesanan meningkat pada momen tertentu. Misalnya ketika pelaksanaan ajang Pekan Olahraga Nasional XXI di Papua, John mendapatkan pesanan 30 potong kain batik tulis.
”Puji Tuhan, saya bisa memenuhi kebutuhan hidup keluarga dan biaya pendidikan anak dari usaha penjualan batik. Semua ini berkat dukungan istri, para pekerja dan Pemerintah Kota Jayapura,” tutur suami dari Elfrita Bonai ini.
Ia berharap adanya bantuan dari pemerintah daerah setempat untuk menyiapkan fasilitas bahan baku bagi perajin di Kota Jayapura. Sebab, mayoritas bahan baku untuk industri batik di Jayapura seperti lilin malam, kain, dan pewarna masih didatangkan dari Pulau Jawa.
Diketahui Sanggar Ameldi biasanya memesan kain primisima hingga 33 meter, 20 kilogram lilin malam yang berwarna coklat dan putih serta pewarna dari salah satu distributor di Yogyakarta. Pengiriman bahan baku ini menggunakan kapal yang memakan waktu selama enam minggu.
”Saya berharap pemda bisa memfasilitasi adanya tempat penjualan bahan baku batik di Kota Jayapura. Dengan bahan baku yang mudah terjangkau bisa menekan harga produk pelaku IKM batik lebih murah. Kami tak perlu menantikan pengiriman bahan baku dari Pulau Jawa hingga berminggu-minggu,” harap John.
Lapangan pekerjaan
Geliat industri batik juga terasa di Sanggar Batik Phokouw Faa yang didirikan Blandina Ongge sejak 18 September 2009. Sanggar Phokouw Faa yang berarti anak mata air terletak di daerah Kampwolker, Distrik Heram.
Wanita yang biasa dipanggil Mama Blandina ini memiliki enam pekerja sebagai perajin batik di Sanggar Phokouw Faa. Sejumlah pekerjanya merupakan lulusan Jurusan Kriya Institut Seni Budaya Indonesia (ISBI) Tanah Papua.
Saat ditemui di rumahnya pada Kamis (24/8/2023) lalu, Blandina tengah mendampingi dua pekerjanya yang sedang membuat produk batik tulis. Wanita berusia 58 tahun ini dengan sabar mengawasi salah seorang pekerjanya mencanting salah satu motif di kain.
Sebelum merintis Sanggar Phokouw Faa 14 tahun yang lalu, Blandina merupakan karyawan di salah satu perusahaan batik pertama di Jayapura, yakni Irian Jaya Joint Development Foundation yang merupakan kolaborasi lembaga UNDP dan Pemprov Papua. Ia bekerja sejak tahun 1990 hingga perusahaan berhenti produksi pada 1999.
Adapun Sanggar Phokouw Faa fokus pada penjualan produk kain batik tulis dan batik cap. Terdapat 11 motif Sanggar Phokouw Faa yang telah mendapatkan sertifikat HKI dari Kanwil Kemenkumham Papua, antara lain motif udang, sirih pinang, yoniki atau ekor ikan, siput dan kura-kura.
Harga produk batik tulis Phokouw Faa senilai Rp 500.000 per meter dan batik cap Rp 400.000 per meter. Biasanya pelanggan Phokouw Faa membeli kain batik tulis dan batik cap minimal 3 meter.
”Produk batik Phokouw Faa dengan harga seperti ini karena motif yang ditampilkan memiliki makna dan cerita di baliknya. Misalnya motif tujuh sirih dan tujuh pinang yang bermakna tujuh wilayah adat di tanah Papua,” kata Blandina.
Blandina menilai, IKM batik memiliki masa depan yang cerah dan menjadi lapangan pekerjaan yang bisa dimanfaatkan generasi muda Papua. Hal ini terbukti dengan pendapatan bersih yang diraih Sanggar Phokouw Faa mencapai 25-30 juta per bulan.
Sanggar Phokouw Faa pun telah menerima siswa magang dari sejumlah sekolah di Kota Jayapura selama beberapa tahun terakhir. Selain itu, sudah dua angkatan mahasiswa Jurusan Kriya Institut Seni Budaya Indonesia Tanah Papua yang melaksanakan praktik di Sanggar Phokouw Faa.
”Saya memberikan pelatihan secara sukarela bagi anak muda yang ingin belajar menjadi seorang perajin batik. Hal ini yang telah saya lakukan dengan menerima para mahasiswa ISBI Papua yang melaksanakan praktik di Phokouw Faa,” ucap ibu dua anak ini.
Ia berharap pemda setempat bisa melibatkan perajin batik di Kota Jayapura dalam setiap kegiatan yang bisa mendatangkan banyak pembeli. Upaya ini, misalnya, menyiapkan stan khusus bagi perajin menjual karyanya dalam kegiatan festival kebudayaan dan kegiatan untuk memperingati hari ulang tahun Kota Jayapura.
”Mudah-mudahan bisa tersedia tempat yang menjual bahan baku yang mendukung IKM pembuatan batik di Jayapura. Sebab, banyak warga yang ingin menjadi perajin batik, tetapi terkendala akses dan biaya untuk mendapatkan bahan baku,” ujar Blandina.
Ishak Osbabor, salah seorang lulusan Jurusan Kriya ISBI Papua yang bekerja di Sanggar Phokouw Faa, mengungkapkan, dirinya tidak hanya mendapatkan pemasukan dari usaha IKM batik. Pemuda berusia 27 tahun ini mengaku juga mendapatkan banyak pengetahuan tentang cara pembuatan batik tulis dan batik cap yang berkualitas.
”Saya telah bergabung bersama Mama Blandina di Sanggar Phokouw Faa sejak tahun 2015. Saya juga memiliki impian suatu saat bisa memiliki sanggar batik yang menampilkan motif-motif budaya dari Tanah Papua,” kata Ishak.
Kepala Seksi Pengembangan Sistem Informasi Industri Dinas Perindustrian, Perdagangan dan Koperasi (Perindagkop) Kota Jayapura Ahmad Saichul mengatakan, IKM batik menjadi salah satu sektor lapangan kerja di Kota Jayapura. Pemkot Jayapura juga mendukung para pelaku IKM di ibu kota Papua dengan bantuan bahan baku dan tenaga pendamping.
Baca juga: Mariana Ibo Pulanda Menghidupkan Batik Papua
Ia memaparkan, total terdapat enam kelompok IKM yang menjadi binaan Dinas Perindagkop Kota Jayapura. Enam kelompok ini tersebar di sejumlah distrik/kecamatan, antara lain Jayapura Utara, Abepura, hingga Heram. Setiap kelompok terdiri dari 5 hingga 15 orang.
”Kami telah menggelar pelatihan membatik dengan mendatangkan instruktur dari Yogyakarta pada tahun 2015. Tren penjualan batik milik IKM binaan kami juga terus menggeliat sejak dua tahun terakhir,” kata Ahmad.