Akibat asap, udara di Palembang, Sumatera Selatan, dalam empat hari terakhir masuk dalam kategori tidak sehat. Penyebabnya adalah kebakaran lahan yang terjadi di Ogan Ilir dan Ogan Komering Ilir.
Oleh
RHAMA PURNA JATI
·4 menit baca
PALEMBANG, KOMPAS — Sudah empat hari terakhir udara di Palembang, Sumatera Selatan, dalam kategori tidak sehat. Kebakaran lahan masih terjadi terutama di dua daerah, yakni Kabupaten Ogan Ilir dan Ogan Komering Ilir. Masyarakat diimbau untuk mengenakan masker saat keluar rumah.
Kepala Seksi Pengendalian Pencemaran Dinas Lingkungan Hidup Provinsi Sumatera Selatan Rezawahya, Senin (4/9/2023), di Palembang, mengatakan, berdasarkan pantauan Indeks Standar Pencemar Udara (ISPU), kualitas udara di Palembang masih dalam kondisi tidak sehat dengan konsentrasi partikulat (PM 2,5) mencapai 114. Hal serupa terjadi di Kabupaten Ogan Ilir. Kualitas udara di sana tidak sehat dengan poin PM 2,5 sebesar 103.
Kualitas udara tidak sehat di Palembang dan Ogan Ilir yang sudah berlangsung empat hari itu puncaknya terjadi pada Sabtu (2/9/2023). Saat itu PM 2,5 pernah di atas angka 150. ”Kondisi hari ini sudah mulai membaik. Harapannya, dalam beberapa hari ke depan, tingkat ISPU sudah berada di bawah 100,” ujar Rezawahya.
Kualitas udara di Palembang dan Ogan Ilir tidak sehat itu merupakan akibat masifnya kebakaran lahan di Sumsel akhir-akhir ini. ”Jika terjadi kebakaran di Ogan Ilir dan Ogan Komering Ilir, asapnya pasti akan mengarah ke Palembang. Berbeda jika kebakaran terjadi di Musi Banyuasin dan Banyuasin, asapnya akan mengarah ke Jambi,” kata Rezawahya.
Biasanya, dua sampai tiga jam setelah kebakaran terjadi, asapnya akan langsung terasa di Palembang.
Atas kondisi ini, Rezawahya mengimbau masyarakat untuk mengurangi aktivitas di luar rumah. Kalaupun harus keluar, mereka diimbau untuk menggunakan masker. ”Kualitas udara yang tidak baik ini bisa menimbulkan berbagai penyakit, seperti gangguan pernapasan bahkan sampai ke risiko kanker paru-paru,” jelasnya.
Namun, dampak asap yang terjadi tahun ini tidak separah tahun 2019. Kala itu, ISPU di Palembang pernah menyentuh 300, yang berarti kualitas udara sudah dalam kategori berbahaya. Asap juga mengganggu aktivitas penerbangan di Bandara Sultan Mahmud Badaruddin II, Palembang.
Kepala Balai Pengendalian Perubahan Iklim dan Kebakaran Hutan dan Lahan Wilayah Sumatera Ferdian Kristianto menuturkan, saat ini kebakaran masih terjadi setidaknya di dua wilayah, yakni di Kabupaten Ogan Ilir yang menghanguskan lahan semak belukar di kawasan Rambutan, Kecamatan Indralaya Utara, dan di Kecamatan Pampangan dan Pangkalan Lampam yang menghanguskan lahan gambut.
”Kawasan yang terbakar masih satu hamparan. Luas kebakaran di sana diperkirakan 150 hektar,” ungkap Ferdian.
Sampai saat ini, petugas masih berjibaku memadamkan api di tengah keterbatasan air dan sulitnya akses jalan. Apalagi, kawasan yang terbakar adalah area gambut dalam yang sulit untuk dipadamkan. ”Jika melihat kondisinya, hanya hujan deras yang bisa memadamkan api di sana,” ujar Ferdian.
Dari hasil pemantauan di lapangan, kebanyakan kawasan yang terbakar berada di lahan milik masyarakat atau lahan desa yang kemudian digunakan untuk bertani atau menanam komoditas perkebunan tertentu. Di kawasan Ibul, Kecamatan Pemulutan, misalnya, setelah terbakar beberapa hari kemudian area itu ditanami cabai.
Kebakaran lahan di Pangkalan Lampam, Ogan Komering Ilir, juga dekat dengan lahan perkebunan milik masyarakat. Diduga motif di balik kebakaran itu adalah untuk memperluas kebun.
Manajer Riset dan Kampanye Hutan Kita Institut Adios Syafri berpendapat, kebakaran lahan yang terus berulang di Sumsel setiap tahunnya menandakan intervensi yang dilakukan oleh pemerintah dan pihak terkait belum menyentuh akar persoalan. ”Regulasi yang dibuat belum cukup kuat untuk menyelesaikan masalah dasar, yakni kebutuhan ekonomi masyarakat,” jelasnya.
Seandainya warga dibantu untuk membuka lahan tanpa bakar, tentu kebakaran tidak akan terjadi. Sampai saat ini, banyak warga Sumsel yang masih berpendapat cara paling ekonomis membuka lahan, yakni dengan membakar.
”Sampai sekarang pemerintah hanya membuat larangan untuk membakar lahan tanpa membantu warga dalam membuka lahan,” ujarnya.
Jika regulasi untuk membantu warga dalam membuka lahan belum diterbitkan, Adios meyakini kebakaran lahan masih akan terus terjadi. Harus ada regulasi yang mengatur secara ketat bagaimana bantuan itu bisa sampai pada mereka yang membutuhkan.
Misalnya mewajibkan pemerintah daerah dari tingkat provinsi sampai tingkat desa termasuk perusahaan menyediakan alat berat yang dibutuhkan untuk membuka lahan. Sementara operasionalnya bisa menggunakan dana desa.
Penerapan perhutanan sosial di daerah yang rawan terbakar terutama yang bersentuhan dengan kawasan hutan juga bisa menjadi solusi. Tujuannya agar masyarakat yang tinggal di sekitar kawasan hutan memiliki tanggung jawab untuk menjaga lingkungannya.
Di samping itu, perlu ada penegakan hukum yang kuat bagi pelaku pembakar lahan untuk memberikan efek jera. ”Masih ada kasus kebakaran lahan di Sumsel membuktikan sanksi yang diberikan kurang memberikan efek jera,” ujar Adios.